“Kreeek ....” Terdengar suara daun pintu dibuka. Muncullah sosok laki-laki yang sudah mendekati lansia. Laki-laki tengik yang telah memupuskan mimpinya.
“Halo, gadis manis.” Sapanya ke Marhamah. Disentilnya hidung bak huruf alif itu yang dengan tangkas ditepis oleh Marhamah.
“Laki-laki busuk!” Marhamah geram.
“Tak usah munafik, Hamah. Emakmu itu pasti akan menerima lamaranku. Sejak bapakmu meninggal, emakmu mencabang hutang. Akulah jalan keluarnya, Hamah. Akan kulunasi hutang emakmu di mana-mana.” Diangkatnya dagu Marhamah. Tatapnya tajam mengancam.
“Aku tak sudi menjadi selirmu. Walau harus mati di hadapanmu.” Diraihnya besi panjang berukuran duapuluh centi meter dengan ujung tajam. Harso sigap menahan tangan Marhamah yang hampir saja menusuk perutnya dengan besi di tangannya.
“Aku tak ingin engkau menyakiti dirimu sendiri, Hamah. Akulah malaikat yang akan mengentaskanmu dari kemiskinan. Aku mencintaimu.”
“Tengik! Cih ....” Diludahinya wajah yang mulai terukir keriput.
“Munafik kau, Marhamah. Orang miskin sepertimu apa yang dibutuhkan selain uang, uang, dan uang. Aku punya segalanya, Hamah. Bahkan aku bisa membeli desa Batuah itu.” Ucapnya lantang dan congkak.
“Ketulusan cintaku tak semurah rupiah yang kau tawarkan, Harso. Jangan nafsumu kau atas namakan cinta! Aku tak tertarik sedikit pun dengan iming-imingmu. Aku lebih baik miskin dari pada harus menjadi selirmu.”
“Ok. Kita buktikan keputusan emakmu berpihak padaku atau padamu, gadis manis.”
Hening. Tatapan tajam Harso di balas dengan mata Marhamah yang penuh amarah. Hidungnya mendengus. Geriginya bergemeretak. Dikepalnya tanganya. Sejurus ditinjunya wajah keriput di hadapannya dengan kekuatan yang telah ia kumpulkan dari kemarin sore. Harso meringis. Mengucur darah seegar dari hidungnya.