“Mas yang berbeda.” Kata singkat dengan cemberut.
“Berbeda gimana, Dik?” menimpaliku dengan santai.
Aku hanya bisa memndam semua rasa sakit hatiku, rasa emosiku, dan kekesalanku. Aku hanya mampu mengelus dada dan tak henti-hentinya kupanjatkan doa memohon pada Sang Kuasa agar senantiasa menjaga hati Mas Firman.
*****
“Bu, jangan marah, ya!” ucap Eko siang itu. Dia merupakan keponakan Mas Firman yang juga salah satu muridku. Ia menyodorkan hpnya padaku. Kulihat di layarnya terpampang sebuah foto laki-laki sedang merangkul pundak wanita berbaju seksi. Gunung api kesabaranku meletus memandangi foto itu. Laki-laki itu adalah Mas Firman. Ya, Robb! Bukti apa lagi ini? Hatiku tersayat sembilu. Luka yang menganga itu terasa semakin perih, bagai tersiram air garam. Kutinggalkan Eko yang masih duduk di teras. Kurebahkan tubuhku di tempat tidur. Aku menangis sejadinya di balik bantal, berharap Eko tak mendengar tangisanku.
Kujalani hari-hariku tanpa sinar kebahagiaan. Di mataku, sosok Mas Firman bukan lagi laki-laki idamanku. Pandanganku berubah seratus delapanpuluh derajat. Satu hal yang membuatku bertahan dalam pernikahan ini adalah jabang bayi yang ada di kandunganku. Ini minggu ke lima ia ada di rahimku. Dialah yang membuat semangatku kembali pulih untuk menjalani hari-hariku. Aku sengaja tidak memberi tahu Mas Firman tentang kehamilanku. Untuk apa? Toh dia tidak peduli dengan perasaanku.
*****
Kukumpulkan kepingan sabar yang sempat berhamburan. Kurangkai dan kusirami agar aku tidak mudah emosi semua demi bayi yang ada di rahimku. Kusibukkan hari-hariku agar tidak mengingat kelakuan Mas Firman. Kuhabiskan waktu berlama-lama di kantor. Bagiku rumah bukan lagi tempat yang nyaman untukku, tapi salah satu tempat yang amat tidak aku sukai.
“Kay!” Airin lagi-lagi mengejutkan saat kududuk termangu di ruang tamu. “Melamun lagi? Ada apa?” sambungnya.
“Nggak kok, Rin. Nih, ada yang aku kerjakan,” jawabku sambil menunjuk arah laptop. Walau sebenarnya pikiranku sedang kacau.
“Kay, aku mengenalmu lebih dari Mas Firman mengenalmu. Aku hapal betul kebiasaanmu. Matamu memang ke arah laptop, tapi tidak dengan pikiranmu. Cerita dong, Kay.” Airin memang sahabat sejatiku. Dia mengenalku sampai hapal semua kebiasaanku. Kutarik nafas panjang yang terasa berat dan menyesakkan dada.