Terdengar suara ketukan di pintu kayu yang mulai banyak lubang karena usianya yang tak belia lagi.
“Assalamu’alaikum. Aisyah ...!”
“Wa’alaikumsalam,” dengan sedikit terburu-buru kubuka pintu.
“Ibu. Bapak.” Kusambut mereka dengan mencium tangannya. “Aku bahagia, Ibu dan Bapak benar-benar ke sini,” sambungku.
“Ibu mengkhawatirkanmu, Syah.” Ibu memelukku erat dan tangannya mengelus perutku yang bak gunung hampir meletus.
Kehadiran ibu dan bapak mertua sangat memberikan dampak postif bagi psikisku. Aku semakin siap dalam menghadapi persalinanku.
***
Kumenanti hari yang membahagiakan itu dengan menikmati setiap tendangan-tendangan jabang bayiku. Tak lama lagi, aku akan menjadi seorang ibu seutuhnya dan semua akan terasa lengkap saat buah cintaku dengan Mas Fatih lahir ke dunia. Aku semakin tak sabar menanti kehadirannya.
Kutatap lekat foto Mas Fatih dan kususuri di lekuk wajahnya yang tergambar di sana. Senyum manis dan tatap teduh matanya terasa ada di depan mata. Seolah-olah ia hadir dan menemaniku. Sejurus, tendangan di perutku pun kian aktif. Apa mungkin jabang bayiku juga merasakan hal yang sama? Sebuah kerinduan yang menggila pada laki-laki yang kunikahi setahun yang lalu.
“Tok .... Tok .... Tok ....”
“Assalamu’alaikum. Bu Aisyah ...!” terdengar suara Bu Erna yang sudah kuhafal cirinya. “Bu, Bu Aisyah,” sambungnya seakan tak sabar.