***
Hari persalinanku tinggal hitungan jari dan ini semakin membuatku cemas. Hidup di asrama tanpa sanak famili sedikit mengguncang psikisku. Kedua orang tuaku tinggal di pulau jawa, sedang mertua tinggal di Tenggarong.
“Pulang saja ke jawa, Nak. Biar Ibu yang menemanimu selama kehamilan dan persalinanmu nanti.” Ucap ibuku tiga bulan lalu yang langsung kutolak secara halus dan ibu mengerti keadaanku. Aku tak akan meninggalkan asrama selama Mas Fatih bertugas, karena memang itulah tugasku sebagai istri prajurit.
“Kamu belum mengajukan cuti?” Suara cemas ibu mertuaku terdengar di ujung telepon.
“Sudah, Bu. Tapi masa cutinya nanti, seminggu lagi.”
“Jadi, kamu masih mengajar? Bagaimana dengan kandunganmu?”
“Iya, Bu. Aku baik, Bu. Aku hanya membutuhkan doa ibu dan bapak di sana.”
“Nanti Ibu usahakan untuk ke Batulicin dengan bapak.” Ucapan terakhir ibu sedikit memberikan angin segar di hatiku.
***
Tujuh hari menjelang hari bersejarah itu, kusiapkan segala perlengkapannya sendiri. Semua baju untuk ganti kumasukkan dalam tas. Tak ketinggalan, foto Mas Fatih yang terbingkai kayu jati berukuran kecil itu pun kusiapkan. Foto itu memberikan kekuatan dalam persalinanku. Setelah semuanya beres, aku berusaha menelpon Mas Fatih. Tapi, tetap saja dia sulit untuk dihubungi.
“Tok .... Tok .... Tok ....”