Mohon tunggu...
Fauzan Ravif
Fauzan Ravif Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Mahasiswa Hukum

Fauzan Ravif, Mahasiswa Fakultas Hukum UMJ angkatan 2019

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Polemik Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP terhadap Efektivitas Demokrasi

2 Juli 2022   03:26 Diperbarui: 2 Juli 2022   03:47 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                       KUHP di negara lain tidak diatur khusus terkait penghinaan terhadap Kepala negara (raja atau presiden), namun di Indonesia tetap diberlakukan karena pada Pasal 1 aturan Peralihan UUD NKRI menyatakan bahwa : "segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini". Kemudian KUHP Indonesia berasal dari Het Wetboek Van Strafrecht voor Nederlandsch Indie yang mengadopsi khusus penghinaan kepada Raja, yang kemudian di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 menjadi penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden. Pada awal masa kemerdekaan, martabat presiden memang sangat diagungkan karena mereka adalah proklamator. Kemudian pada masa zaman Orde Lama, Presiden Soekarno mengangkat diri sendiri menjadi "Pemimpin Besar Revolusi", martabat presiden sangat dijaga dan penghinaan terhadap presiden diterapkan secara sangat ketat. Di negara Jepang, pada Pasal 232 KUHP Jepang, dalam delik penghinaan dalam KUHP dijadikan penghinaan kepada kaisar, pewaris tahta, permaisuri, menjadikan delik penghinaan sebagai delik biasa dan menjadi delik aduan. Namun, yang berhak mengadu bukanlah sang Kaisar, akan tetapi Perdana Menteri atas nama Kaisar.

                        Menyoal Pasal Penghinaan terhadap Presiden, mungkin kita dapat melihat situasi kebelakang pada tahun 2003, seorang Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Merdeka berinisial S, dijerat pada Pasal 137 ayat (1) yang dimana menyebarkan tulisan atau lukisan yang dianggap menghina Presiden Megawati, sehingga didakwakan 6 bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan. Tak hanya itu, mahasiswa berinisial FR alias P selaku mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dijerat pada Pasal 134 bersama Pasal 136 bis KUHP. P divonis 3 bulan 23 hari oleh Pengadilan Jakarta Selatan karena menyinggung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya pada 22 Juni 2016 di kawasan Salemba.

                          Penghinaan merupakan suatu perbuatan yang bersifat menyerang nama baik seseorang, sifat objektif tersebut ketika dimana nama baik orang tersebut dimata khalayak ramai menurun akibat dari perbuatan penghinaan. Penghinaan yang bersifat menyerang kehormatan dan nama baik seseorang baik dengan tidak memuat suatu tuduhan melakukan perbuatan tertentu atau tidak ditujukan untuk menyiarkan kepada publik dapat dihukum, akan tetapi terbatas pada cara yang dilakukan tertentu, yaitu :

a. di muka umum dengan lisan,

b. di muka umum dengan surat,

c. di muka orang itu sendiri dengan lisan,

d. di muka orang tersebut (orang yang ingin atau akan dihina),

e. dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepada orang tersebut.

                        Delik penghinaan bukan hanya diatur di dalam Bab XVI KUHP saja. Delik penghinaan yang lain diatur dalam Bab VIII (Tindak Pidana terhadap Kekuasaan Umum), yaitu Pasal 207 KUHP, dan ada juga pada Bab II (Kejahatan terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden), yaitu Pasal 134 KUHP (Penghinaan kepada Presiden di Muka Umum). Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No.013/022/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa Pasal penghinaan terhadap Presiden yakni Pasal 134 KUHP, Pasal 136 bis KUHP, dan Pasal 137 KUHP tidak mempunyai kekuatan mengikat (inkonstitusional). Pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yaitu :

" Mahkamah berpendapat, Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD NRI 1945, tidak relevan lagi jika dalam KUHPnya masih memuat pasal-pasal seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum. Lalu, dalam RUU KUHP yang merupakan upaya pembaharuan KUHP warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama/mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP. Terlebih lagi, ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 134 paling lama enam tahun penjara dapat dipergunakan untuk menghambat proses demokrasi khususnya akses bagi jabatan-jabatan publik yang mensyaratkan seseorang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih "

           Dalam konteks negara demokrasi, sudah sejatinya ada beberapa alasan sehingga sudah sepatutnya terkait pasal penghinaan presiden tidak diadakan, yaitu 

a. Pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden merupakan peninggalan kolonial Belanda, dimana kata Koning of der Koningin (raja atau ratu) diganti dengan Presiden atau Wakil Presiden

b. Pasal 310-321 KUHP sudah cukup sebagai sudah cukup sebagai aturan terkait penghinaan sebagai penjaga kehormatan seseorang, dan didalam Pasal 28 J telah dijelaskan pembatasan akan hak asasi manusia bisa dilakukan demi menjamin pengakuan seta penghormatan atas kebebasan orang lain

c. Indonesia merupakan negara yang dimana kedaulatan berada ditangan rakyat. Hal ini telah termaktub didalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar NKRI yang menyatakan bahwa "Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD". Sejatinya Presiden dan Wakil presiden dipilih oleh rakyat, maka Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diberikan hak istimewa (privilege) karna akan menyebabkan deskriminatif sebagaimana rakyat sebagai kekuasaan tertinggi. Otoritas Presiden dan Wakil Presiden hanya diberikan dalam konteks hak priorigatif, gaji tinggi, dan hak didahulukannya dari orang atau warga negara lain, karena pada hakikatnya Indonesia menerapkan prinsip semua orang memiliki kedudukan hukum yang sama (equalty before the law)

d. Akan sangat rentan terjadi kriminalisasi terhadap delik penghinaan, hal ini disebabkan karna tidak ada tolak ukur terkait delik penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden itu sendiri. Mengingat kebebasan mengemukakan pendapat baik secara lisan maupun tulisan serta ekspresi telah diatur dalam pasal 28, 28E ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar NKRI 1945. Delik penghinaan terhadap presiden ini dapat menyebabkan krisisnya kritikan dikarenakan akan menimbulkan ketakukan ketika akan mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah. Negara Indonesia adalah negara demokrasi, maka sudah sepatut dan sewajarnya negara Indonesia ini tidak boleh mati akan kritikan. Kebebasan berpendapat dan berekspresi pun telah diatur juga didalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM) dan Internasional Convenant on Civil and Politic Right. Namun kebebasan mengemukakan pendapat dan berekspresi didalam Pasal 19 Internasional Convenant on Civil and Politic Right bersifat reskriptif, dimana dapat dilakukan berdasarkan undang-undang untuk menghormati hak, reputasi orang lain, dan untuk melindungi keamanan nasional.

e. Proses berdemokrasi dalam rangka menyampaikan pendapat dimuka umum merupakan penyampaian aspirasi yang sah-sah, hal ini pun digunakan sebagai chek and balances dalam mengontrol guna mengevaluasi agar kebijakan pemerintah dalam berlahan lebih optimal.

f. Sesuai dengan putusan MK dengan pidana selama 6 tahun akan berdampak pada terhambatnya proses demokrasi, hal ini dikarenakan akan muncul dogma-dogma negatif dari masyarakat itu sendiri sehingga masyarakat akan menganggap tidak perlu menjadi partisipan publik, sehingga sulitnya tercipta tatanan masyarakat yang membangun.

                       Pasal Penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dalam RKUHP termaktub pada Pasal 218, 219 dan 220 RKUHP 2019. Pasal 218 RKUHP 2019 yaitu : (1) Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau dipidana paling banyak kategori IV, (2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

                      Dalam penjelasan RKUHP 2019, frasa "menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri" berarti penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden berupa penyerangan nama baik ataupun harga diri di muka umum, termasuk juga menista, memfitnah, serta menghina dengan tujuan memfitnah". Sedangkan frasa "dilakukan untuk kepentingan umum" dalam RKUHP 2019, berarti melindungi kepentingan banyak yang diutarakan melalui kebebasan berekspresi maupun berdemokrasi. Konsepsi menyampaikan pendapat dan berdemorasi dalam Hak Asasi Manusia, merupakan cakupan Hak Asasi Manusia Kontemporer. Kebebasan menyampaikan pendapat dan berdemokrasi harus dapat dinikmati "tanpa batas", baik secara verbal maupun tertulis di berbagai medium. Namun, kebebasan menyampaikan pendapat dan berdemokrasi bukanlah tidak ada batasan, tetapi juga perlu memastikan agar tidak terjadi kerugian hak dan kebebasan orang lain. Jadi, menurut penulis UU tentang Penghinaan terhadap presiden ini sah, karena berusaha menjaga dan melindungi hak dan reputasi dari Presiden dan Wakil Presiden itu sendiri. 

             Pasal 219 RKUHP 2019 :

           "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV".

                Pasal 220 RKUHP 2019 :

(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan, (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.

                  Pasal penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden menurut penulis masih sangat relevan, hal ini dikarenakan hak kebebasan berpendapat bukan merupakan suatu hak yang absolut atau mutlak. Memang sudah sejatinya kebebasan berpendapat sudah dijamin oleh konstitusi dalam Pasal 28 E ayat (3) dan Pasal 28 F UUD NKRI 1944, serta Pasal 19 Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Namun perlu diingat dalam Pasal 29 ayat (2) DUHAM menyatakan : " Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis ". Hak menyampaikan pendapat dan kebebasan berekspresi merupakan hak yang sangat fundamental di negara yang mengakui suatu hak asasi, akan tetapi perlu kita ingat bahwa negara Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi 'kemanusiaan yang adil dan beradab', dalam hal ini maka sudah sepatutnya warga negara Indonesia merupakan warga negara yang berakhlak sopan dan santun, serta berakhlak dan berbudi pekerti yang luhur.

                           Perihal pembatalan Pasal 134 KUHP, Pasal 136 bis KUHP, dan Pasal 137 KUHP yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No.013/022/PUU-IV/2006 memiliki konsepsi yang berbeda dengan RKUHP 2019. Perbedaan yang mendasar adalah bahwa pasal yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan delik biasa (gewone delicten), sedangkan dalam Pasal RKUHP 2019 merupakan suatu delik aduan (Klacht delicten). Delik aduan ini merupakan suatu delik yang hanya bisa diproses ketika ada aduan atau laporan dari korban tindak pidana. Selain itu, urgensi perlindungan secara khusus mengenai kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden melihat 4 (empat) fungsi presiden dalam UUD NRI, yaitu :

a. Presiden dan Wakil Presiden adalah kepala negara NKRI,

b. Presiden dan Wakil Presiden adalah kepala pemerintahan (Pasal 4 ayat 1 UUD NRI),

c. Presiden dan Wakil Presiden adalah panglima tertinggi angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara (Pasal 10 UUD NRI), dan

d. Presiden dan Wakil Presiden adalah kepala diplomat (Pasal 11 ayat 1 UUD NRI).

             Pasal penghinaan untuk menjaga kehormatan dan harkat dan martabat Presiden juga ada di dalam KUHP negara Lebanon, Korea, Thailand, Jepang, Jerman, hingga Polandia. Presiden dalam UUD NRI menjadi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sebagai simbol bangsa Indonesia dan Presiden bertugas sebagai diplomat sebagai solusi bahwa Presiden memiliki kedaulatan sebagai representasi simbol negara yang berdaulat. Maka dari itu, Presiden sebagai simbol negara perlu dijaga kehormatan beserta harkat dan martabatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun