KUHP di negara lain tidak diatur khusus terkait penghinaan terhadap Kepala negara (raja atau presiden), namun di Indonesia tetap diberlakukan karena pada Pasal 1 aturan Peralihan UUD NKRI menyatakan bahwa : "segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini". Kemudian KUHP Indonesia berasal dari Het Wetboek Van Strafrecht voor Nederlandsch Indie yang mengadopsi khusus penghinaan kepada Raja, yang kemudian di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 menjadi penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden. Pada awal masa kemerdekaan, martabat presiden memang sangat diagungkan karena mereka adalah proklamator. Kemudian pada masa zaman Orde Lama, Presiden Soekarno mengangkat diri sendiri menjadi "Pemimpin Besar Revolusi", martabat presiden sangat dijaga dan penghinaan terhadap presiden diterapkan secara sangat ketat. Di negara Jepang, pada Pasal 232 KUHP Jepang, dalam delik penghinaan dalam KUHP dijadikan penghinaan kepada kaisar, pewaris tahta, permaisuri, menjadikan delik penghinaan sebagai delik biasa dan menjadi delik aduan. Namun, yang berhak mengadu bukanlah sang Kaisar, akan tetapi Perdana Menteri atas nama Kaisar.
            Menyoal Pasal Penghinaan terhadap Presiden, mungkin kita dapat melihat situasi kebelakang pada tahun 2003, seorang Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Merdeka berinisial S, dijerat pada Pasal 137 ayat (1) yang dimana menyebarkan tulisan atau lukisan yang dianggap menghina Presiden Megawati, sehingga didakwakan 6 bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan. Tak hanya itu, mahasiswa berinisial FR alias P selaku mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dijerat pada Pasal 134 bersama Pasal 136 bis KUHP. P divonis 3 bulan 23 hari oleh Pengadilan Jakarta Selatan karena menyinggung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya pada 22 Juni 2016 di kawasan Salemba.
             Penghinaan merupakan suatu perbuatan yang bersifat menyerang nama baik seseorang, sifat objektif tersebut ketika dimana nama baik orang tersebut dimata khalayak ramai menurun akibat dari perbuatan penghinaan. Penghinaan yang bersifat menyerang kehormatan dan nama baik seseorang baik dengan tidak memuat suatu tuduhan melakukan perbuatan tertentu atau tidak ditujukan untuk menyiarkan kepada publik dapat dihukum, akan tetapi terbatas pada cara yang dilakukan tertentu, yaitu :
a. di muka umum dengan lisan,
b. di muka umum dengan surat,
c. di muka orang itu sendiri dengan lisan,
d. di muka orang tersebut (orang yang ingin atau akan dihina),
e. dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepada orang tersebut.
            Delik penghinaan bukan hanya diatur di dalam Bab XVI KUHP saja. Delik penghinaan yang lain diatur dalam Bab VIII (Tindak Pidana terhadap Kekuasaan Umum), yaitu Pasal 207 KUHP, dan ada juga pada Bab II (Kejahatan terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden), yaitu Pasal 134 KUHP (Penghinaan kepada Presiden di Muka Umum). Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No.013/022/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa Pasal penghinaan terhadap Presiden yakni Pasal 134 KUHP, Pasal 136 bis KUHP, dan Pasal 137 KUHP tidak mempunyai kekuatan mengikat (inkonstitusional). Pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yaitu :
" Mahkamah berpendapat, Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD NRI 1945, tidak relevan lagi jika dalam KUHPnya masih memuat pasal-pasal seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum. Lalu, dalam RUU KUHP yang merupakan upaya pembaharuan KUHP warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama/mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP. Terlebih lagi, ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 134 paling lama enam tahun penjara dapat dipergunakan untuk menghambat proses demokrasi khususnya akses bagi jabatan-jabatan publik yang mensyaratkan seseorang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih "
      Dalam konteks negara demokrasi, sudah sejatinya ada beberapa alasan sehingga sudah sepatutnya terkait pasal penghinaan presiden tidak diadakan, yaituÂ