Dalam aturan ini, negara menjamin atas pengelolaan sumber daya alam baik hak individu maupun kolektif didasarkan pada fundamental untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Kelahiran Hak Ulayat terjadi ketika tercipta hubungan masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya, begitupun kelahiran hak-hak peroranganÂ
atas tanah terjadi ketika hubungan antara perorangan dengan tanah. Idealnya hubungan tentang penguasaan tanah oleh negara, hak Ulayat maupun hak perorangan atas tanah seharusnya seimbang sehingga mempunyai kedudukan dan kekuatan yang sama dan tidak ada kerugian untuk siapapun.Â
Pengakuan Hak Ulayat telah ditetapkan dalam Pasal 18 B UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur di dalam undang-undang.
 Konsepsi terkait tanah Ulayat telah disebutkan dalam Pasal 4 ayat 1 bahwa atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupunÂ
bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Terkait penyelesaian masalah hak Ulayat masyarakat hukum adat telah diatur dalam Pasal 1Peraturan Menteri Agraria No. 5 Tahun 1999 bahwa tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat,Â
sedangkan masyarakat hukum adat sendiri adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Dalam Pasal 6 UUPA berbunyi :"Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial". Dalam hal kewenangan pemerintah, Pasal 6 UUPA ini harus tunduk pada peraturan-peraturan yang didasarkan pada hak menguasai dari negara atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. memang mengatur bahwaÂ
hak atas tanah warga dapat dicabut atau diambil alih guna pemenuhan kebutuhan atas tanah yang diperuntukkan bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum. Hal ini membuat bahwa negara berhak mengambil alih menggunakan pengelolaan atas tanah baik privat ataupun kolektif guna terciptanya kesejahteraan umum guna terciptanya fungsi sosial. Namun dalam prakteknya, seperti pada kasus baik Semen Indonesia,Â
Wadas, maupun Ibu Kota Negara, negara lebih cenderung menggunakan kekuasaannya sebagai tameng dalam hegemoni kesejahteraan umum. Padahal seharusnya negara tidak dapat melanggar prinsip pengambilalihan tanah yang universal yaitu : "no private property shall be taken for public use without just and fair compensation", yang berarti proses pengambilalihan tanah dilakukan dengan kompensasi yang jujur dan adil.
 Secara fundamental, hak-hak masyarakat hukum adat telah diakui pada Pasal 56 UUPA bahwa Problematika ini terjadi dikarenakan belum ada undang-undang yang mengatur tentang hak milik pelaksanaan hak-hak adat mengalami kendala, hal ini dapat terjadi permasalahan yang dapat melecehkan masyarakat hukum adat itu sendiri. Hal ini menandakan bahwa penjaminan keberadaan Hak Ulayat dalam perundang-undangan masih sangat lemah.
Dalam perspektif Hak Asasi Manusia, hak Ulayat berlaku terhadap doktrin umum tentang kewajiban negara untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfill) hak Ulayat masyakarat adat itu sendiri. Dalam kaitan Hukum dan HAM Internasional tentang hak-hak sosial,Â