Mohon tunggu...
Fauzan Ravif
Fauzan Ravif Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Mahasiswa Hukum

Fauzan Ravif, Mahasiswa Fakultas Hukum UMJ angkatan 2019

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penegakan atas Hak Konstitusional Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang Terderogasi di Era Pandemi

11 Juni 2022   02:41 Diperbarui: 11 Juni 2022   02:48 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebuah ungkapan "Ubi Societas Ibi Ius" dicetuskan oleh Marcus Tullius Cicero seorang filsuf di Roma Italia pada 106-43 SM. Ubi Societas Ibi Ius berarti dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Dalam konstruksi paradigma ini, hukum berguna atau bermanfaat sebagai upaya melindungi masyarakat ataupun memberi 

ancaman kepada masyarakat apabila ada suatu perbuatan kesalahan yang melawan hukum pada suatu masyarakat tersebut. Begitupun guna keberadaan hukum pada kaidah hukum progresif yang dicetuskan oleh Prof. Satjipto Rahardjo bahwa hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. 

Hal ini berarti baik dalam keadaan filosofis maupun sosiologis, hukum sebagai ideal peruntukkan penolong manusia. Hukum saat dibentuk atau tidak dibentuk dan ditegakkan sebagai perwujudan kesejahteraan manusia.

 Di dalam penegakan suatu aturan hukum, terkadang mengalami kesulitan ketika suatu aturan digunakan untuk mendukung perubahan global yang sangat signifikan. Hukum selalu berusaha mengikuti perkembangan zaman, agar suatu aturan hukum dapat menjadi modernisasi dan secara afirmasi dapat melekat untuk perwujudan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. 

Slogan yang di cetuskan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja yang diadopsi dari Roscoue Pound, bahwa "Law is a tools of Social engineering", hal ini berarti hukum sebagai pembaharuan dimasyarakat. Akan tetapi terkadang menimbulkan suatu kontroversi dalam suatu tatanan masyarakat hukum adat itu sendiri, khususnya hak Ulayat masyarakat hukum adat yang berwenang atas pengelolaan wilayah daerah masyarakat tersebut.

  Pada tahun 2013 hingga saat ini, kisruh pendirian pabrik semen oleh Semen Indonesia yang tak kunjung selesai di daerah Rembang setelah kekalahan Semen Gresik oleh Masyarakat Pati di Mahkamah Agung. Problematika ini membuat fungsi ekologis daerah tersebut tidak berfungsi dan sangat merugikan masyarakat Rembang hingga tidak 

mematuhi aturan AMDAL yang telah ditetapkan. Selain itu, di era Pandemi ini, banyak kisruh tentang hak Ulayat masyarakat adat mulai terderogasi, hal ini dapat dilihat baik dari persoalan Wadas maupun persoalan Suku Asli di titik 0 km menolak untuk pendirian Ibu Kota Negara dikarenakan tidak pernah diajak komunikasi oleh pemerintah. 

Dalam pendirian Ibu Kota Negara, adapun Koalisi Kaltim menolak untuk didirikan Ibu Kota Negara dikarenakan akan berpotensi menggusur lahan adat.

  Di dalam Deklarasi PBB pada 29 Juni 2006, telah disepakati Hak-Hak Masyarakat Asli/Masyarakat Adat. Deklarasi PBB ini berguna terhadap hak individu maupun hak kolektif masyarakat adat yang bersifat progresif dikarenakan mengkakui perlindungan, pengakuan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. 

Deklarasi ini mengakui terhadap hak atas budaya, pendidikan, kesehatan, bahasa, maupun hak masyarakat adat untuk menentukan nasibnya sendiri (self-determination) beserta pengakuan terhadap hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam dan partisipasi dalam pembangunan.

 Dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia, konsep dasar penguasaan dan pengelolaan tanah telah diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi : "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." 

Dalam aturan ini, negara menjamin atas pengelolaan sumber daya alam baik hak individu maupun kolektif didasarkan pada fundamental untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Kelahiran Hak Ulayat terjadi ketika tercipta hubungan masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya, begitupun kelahiran hak-hak perorangan 

atas tanah terjadi ketika hubungan antara perorangan dengan tanah. Idealnya hubungan tentang penguasaan tanah oleh negara, hak Ulayat maupun hak perorangan atas tanah seharusnya seimbang sehingga mempunyai kedudukan dan kekuatan yang sama dan tidak ada kerugian untuk siapapun. 

Pengakuan Hak Ulayat telah ditetapkan dalam Pasal 18 B UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur di dalam undang-undang.

 Konsepsi terkait tanah Ulayat telah disebutkan dalam Pasal 4 ayat 1 bahwa atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun 

bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Terkait penyelesaian masalah hak Ulayat masyarakat hukum adat telah diatur dalam Pasal 1Peraturan Menteri Agraria No. 5 Tahun 1999 bahwa tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat, 

sedangkan masyarakat hukum adat sendiri adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

Dalam Pasal 6 UUPA berbunyi :"Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial". Dalam hal kewenangan pemerintah, Pasal 6 UUPA ini harus tunduk pada peraturan-peraturan yang didasarkan pada hak menguasai dari negara atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. memang mengatur bahwa 

hak atas tanah warga dapat dicabut atau diambil alih guna pemenuhan kebutuhan atas tanah yang diperuntukkan bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum. Hal ini membuat bahwa negara berhak mengambil alih menggunakan pengelolaan atas tanah baik privat ataupun kolektif guna terciptanya kesejahteraan umum guna terciptanya fungsi sosial. Namun dalam prakteknya, seperti pada kasus baik Semen Indonesia, 

Wadas, maupun Ibu Kota Negara, negara lebih cenderung menggunakan kekuasaannya sebagai tameng dalam hegemoni kesejahteraan umum. Padahal seharusnya negara tidak dapat melanggar prinsip pengambilalihan tanah yang universal yaitu : "no private property shall be taken for public use without just and fair compensation", yang berarti proses pengambilalihan tanah dilakukan dengan kompensasi yang jujur dan adil.

 Secara fundamental, hak-hak masyarakat hukum adat telah diakui pada Pasal 56 UUPA bahwa Problematika ini terjadi dikarenakan belum ada undang-undang yang mengatur tentang hak milik pelaksanaan hak-hak adat mengalami kendala, hal ini dapat terjadi permasalahan yang dapat melecehkan masyarakat hukum adat itu sendiri. Hal ini menandakan bahwa penjaminan keberadaan Hak Ulayat dalam perundang-undangan masih sangat lemah.

Dalam perspektif Hak Asasi Manusia, hak Ulayat berlaku terhadap doktrin umum tentang kewajiban negara untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfill) hak Ulayat masyakarat adat itu sendiri. Dalam kaitan Hukum dan HAM Internasional tentang hak-hak sosial, 

budaya dan ekonomi yang berkaitan dengan hak ulayat, maka pemerintah harus menghormati, melindungi dan memenuhi hak Ulayat dan melakukan penegakan hukum bagi yang melakukan pelanggaran terhadap hak Ulayat tersebut.

Untuk menjamin Hak Ulayat masyarakat hukum adat, maka dapat mengacu pada konstruksi paradigma Eegene Ehrlich dalam konsepsi living law yang menyatakan bahwa setiap masyarakat terdapat aturan-aturan hukum yang hidup. Hukum yang terlahir dari daerah tersebut dapat dianggap sebagai 

hukum sosial yang dapat diberlakukan, dalam artian bahwa hubungan hukum ditandai baik faktor sosial maupun faktor ekonomi. Faktor sosial ini dapat melahirkan hukum yang termasuk didalam dunia pengalaman manusia yang dapat dijadikan sebagai ide normative atau hukum yang dapat diberlakukan. 

Kenyataan dalam keberadaan faktor sosial dapat juga dilihat dari aspek ekonomi yang dimana ekonomi menjadi basis kehidupan manusia, sehingga ekonomi dapat menentukan aturan kehidupan. 

\Unsur solusi yang harus dibangun pemerintah guna menjamin keberlakuan Hak Ulayat masyarakat hukum adat, dalam pengelolaan hak atas tanah seharusnya diatur lebih lanjut dalam perundang-undangan. Dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h menyatakan bahwa hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut 

diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA. Interpretasi tersirat dalam aturan tersebut, maka sudah selayaknya pengaturan mengenai hak Ulayat beserta penjelasannya harus setingkat dengan undang-undang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun