Marlina menepok jidat, melihat ke goblokan suaminya dan kawannya, lalu masuk ke dalam, tak tahan dengan perutnya yang memberat. Tatam lalu menyusulnya. Sebelum Tatam lenyap ke dalam rumah, Gogom memanggil Tatam, "Minta mencesnya, Tam." Tatam melemparkannya. Gogom menangkap. Kemudian melangkah menuju pohon rambutan di halaman rumah Tatam.
Rokok yang sebatang itu segera diselipkan ke bibir Gogom yang telah menghitam karena asap rokok. Mences kemudian di dekatkan, lalu dipetik. Api menyala dan membakar ujung rokoknya. Asap pun mengepul ke udara. Begitu nikmat rokok yang sebatang. Dihisapnya dalam-dalam. Di hembuskan. Rasanya aduhau, hanya ia yang tahu. "Akan ku nikmati setiap isapannya," ujar Gogom dalam hati.
Asyik sekali Gogom menghisapnya. Ia tak perlu cemas, ia tak perlu khawatir ketahuan ayah atau ibunya. Ayah dan ibunya jarang keluar rumah, apalagi melewati jalan menuju rumah Tatam ini, sudah pasti aman. Gogom kembali melanjutkan menghisap rokok. Ia mengheningkan cipta. Ini adalah kali terakhirnya merokok. Janji tetaplah janji. Lagipula ini kebaikan buat dirinya sendiri. Tidak merokok, adalah pilihan yang bijak. Setidaknya dengan tidak merokok membuat umurnya tidak berkurang dengan sia-sia.
Mungkin sudah isapan ke dua puluh kalinya, rokok itu masih belum habis setengah. Dari kejauhan lalu lalang orang-orang kampung sana melewati rumah Tatam. Beberapa ada yang dikenalnya, beberapa ada yang tidak. Selang beberapa menit kemudian, saat rokok Gogom sudah hampir setengah, lewat lagi rombongan dua mobil pengangkut muatan kebun. Di bak belakangnya bertengger dua orang di tiap mobilnya. Ia teringat pada adik ibunya yang juga bekerja sebagai pengangkut muatan kebun. Hatinya mulai cemas. Dilihatnya dengan seksama orang-orang yang bertengger di mobil bak itu. Sepertinya tidak ada adik ibu atau pamannya.
Hatinya gelisah. Rokok kemudian tidak diisapnya lagi. Dibuangnya saja secepat kilat, lalu membalik badan, menuju rumah Tatam, masuk ke dalam dan bertanya ke Tatam.
"Tatam, kau kan juga jadi anak buah di tempat pamanku bekerja. Tadi mobil pengangkut kebunnya lewat di depan rumah. Aku khawatir di antara mereka ada pamanku."
"Sudah, jangan khawatir. Pamanmu tidak pernah ikutan naik mobil itu, kerjanya hanya di bagian kebun saja."
"Benarkah? Aku masih khawatir."
"Benar. Percayalah. Apa yang kau takutkan?"
"Tidak ada."
"Kalau begitu lanjutkan saja menghisap rokokmu."