Mohon tunggu...
Ahmad Fauzan
Ahmad Fauzan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Diam Tertindas atau Bangkit Melawan

Bila yakin, berusaha dan mencoba tak ada yang tak mungkin.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rasa Diri: Diujung Suara Hati

23 April 2022   01:49 Diperbarui: 24 April 2022   11:14 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yah, sebuah narasi hidup yang terlihat asli padahal sesungguhnya palsu, penuh drama, memakzulkan rekayasa hati dan penuh dialektika sampah yang tetap saja mampu membuat orang tertawa.

Berawal dari semua yang katanya, "Butuh", dan "Tulus" dari kedekatan dan kesamaan. Entah itu keyakinan kepada Tuhan, kebersamaan dalam kekurangan, pengurangan rasa keberdosaan, atau cita-citanya yang sama dalam perjalanan. Semuanya, saat itu, termaktub dalam satu ikatan yang utuh, dan apabila terlanggar akan menjadi irisan bahkan urusan yang menghancurkan arti ikatan kebersamaan itu.

Sejak semua itu berjalan dalam ikrar yang disematkan di hati dan pikiran masing-masing, Aku, meninggalkan istirahat malamku, membiarkan siangku terlantar dan membiarkan kehangatan buah hati serta pendamping hidup berlalu, hanya untuk mereka yang ternaung dalam kemandirian bersama. Terkadang, waktu yang terbuang percuma serta harap dan tetes air mata mereka membuatku hancur dan tak berdaya. Lagi-lagi, semuanya harus ditepiskan agar dunia tak akan meminta belas kasihan dari perbuatan yang dipahamkan.

Ternyata, satu hal yang tak pernah aku sadari, diriku bukan Nabi, atau orang mulia yang telah diberi nilai dari barokah Allah diluar nalar pribadinya.

Aku hanya manusia biasa yang hanya berjalan dengan hati dan kelurusan yang ada. Meskipun itu tak pernah sempurna.

Aku tidak sedang menyebut kebaikan yang pernah ada, menghabiskan waktu dan meninggalkan pekerjaan demi mereka yang meminta dan nestapa. Sakit dan haru menjadi lembaran kisah yang selalu aku tampung dari setiap beban yang dipertontonkan dan dimintai penyelesaian. Semuanya kini, seolah tak pernah ada, jangankan berterima kasih untuk yang terberi, kebersamaanpun telah dipungkiri, begitu juga terhadap janji yang dibiarkan berlari. Sapaku tak berarti bahkan kehadirankupun tak diperduli.

Lama sekali, hati dan pikiran ini menari-nari tiada henti, hanya untuk mencari jawaban kenapa menjadi seperti ini. Bahkan dengan lugas ditanyakan, mengapa hanya karena kedekatan yang terus terjalin terhadap orang lain, dirimu merasa menjadi hakim..?!

Lalu pertanyaan ekstrimpun terlontar dari hati yang paling dalam. "Katanya sangat dekat kepada Tuhan, tapi orang lain tak dihiraukan, tetanggapun hanya sebatas simpul senyuman seolah nampak ada yang beda.

Katanya menghamba, tapi suka mengghibah sesama tanpa rasa malu sedikitpun bahkan dari dirinya sendiri sebagai bagian keluarga tanpa ragu memberi cela.

Katanya tak boleh memaksa, tapi setiap pernyataan menjadikan orang lain takut punya pilihan bahkan cenderung kearah merendahkan.

Katanya bijaksana, tapi senantiasa mencela dan susah menerima keadaan orang yang berbeda. Katanya selalu mensucikan diri, tapi senantiasa menyanjung diri seolah suci sendiri dan yang lain terlihat risih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun