Mohon tunggu...
Ahmad Fauzan
Ahmad Fauzan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Diam Tertindas atau Bangkit Melawan

Bila yakin, berusaha dan mencoba tak ada yang tak mungkin.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rasa Diri: Diujung Suara Hati

23 April 2022   01:49 Diperbarui: 24 April 2022   11:14 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku yang membuat mereka bangkit dari keterpurukan. Tapi orang lain, yang dirangkul berjalan ke depan" -Yurmartin

Fauzanahmadud - Aku memang berdiri dalam banyak kekurangan dan kelemahan. Kesadaranku bahkan belum begitu kokoh untuk dijadikan sandaran atau contoh. Semampu yang aku punya, terajut beberapa kisah yang disana memaklumkan hilangnya senyawa dari unsur yang bermakna. Memang, mencari kebenaran diatas pembenaran bukanlah perbuatan kesatria, ia lebih dari ternoda dan terhina. Namun itu memang terjadi, bahkan telah dianggap sebagai naluri dari insan yang buta hati dan hanya menyalurkan ambisi diri.

Telah kudengar narasi keimanan yang dipertontonkan melalui wasiat dan pernyataan yang bijak. Ternyata, keterangan yang lugas dan kalimat yang tegas, bukanlah tolak ukur harus diterima sempurna di kehidupan. Apalagi yang menyangkut keimanan..?! Kekuatan keilmuan dari iman yang tertancap di dasar hati, harus disadari dari pemiliknya itu sendiri. Tuhan selalu meletakkan kebenarannya, tidak melalui satu dada orang yang terpilih dan satu orang yang kuat saja dalam hubungan keimanannya.

Kecurangan dan keculasan tidak ada pada Dia yang Maha Segalanya, Dia memberikan kesepahaman dan keseimbangan kepada banyak makhluk, terutama manusia yang mengimaninya.

Jika tidak, mustahil penciptaan kehidupan hambanya berbeda-beda dalam neraca arsy yang tiada terhingga.

Merasa lebih tahu, tidaklah salah, tapi merasa memiliki sendiri saja tentang haq-Nya, itu perlu banyak kita bertanya..?!

Atau jika ingin positif berpikirnya, mungkin, buah itu jatuh sebelum waktunya atau memang karena telah merasa jumawa karena sesuatu dari dirinya telah terlihat berbeda.

Menurutku, Ini mungkin sebuah arus balik dalam perspektif kekinian. Karena dengan mudahnya akses media dan orang-orang terkenal yang terpampang kamera membuat cara pandang semakin membahana. Sehingga banyak hal dapat dijadikan rujukan, (terlepas dari bernilai atau tidak) tanpa memperhatikan sisi urgen yang menjadi alur kepunyaan pemiliknya.

Saat ini, diri sendiri saja, masih meraba-raba dalam pandangan dan langkah untuk menyimpulkan tujuan  atas apa yang telah berlaku dan berlalu dalam hidup. Terutama terhadap kesempatan untuk memperoleh kebutuhan yang humanis dan ekonomis, serta mereka yang dalam kepentingan hidupnya berjibaku diantara dua jalan utama, yakni kemanusiaan dan ketuhanannya.

Susah memang, ketika kita berada pada posisi itu. Sedangkan rasa kemanusiaan meminta kita membantu atau memberi perlakuan yang sama agar selalu terikat teguh satu dengan yang lain.

Sekelumit cerita ada padaku, lalu menjadi bagian yang sedikit terganggu, namun lama kelamaan menjadi lucu, selucu anak kecil yang meminta perhatian dari jajanan dan mainan, selucu anak ABG yang kesensem karena asmara buta dan cinta sebelah mata, dan selucu orang dewasa yang meminta perhatian histeris penontonnya seperti komedian acara "Lapor Pak". Belum cerita-cerita lain yang apabila disebutkan, makin banyak lucunya.

Yah, sebuah narasi hidup yang terlihat asli padahal sesungguhnya palsu, penuh drama, memakzulkan rekayasa hati dan penuh dialektika sampah yang tetap saja mampu membuat orang tertawa.

Berawal dari semua yang katanya, "Butuh", dan "Tulus" dari kedekatan dan kesamaan. Entah itu keyakinan kepada Tuhan, kebersamaan dalam kekurangan, pengurangan rasa keberdosaan, atau cita-citanya yang sama dalam perjalanan. Semuanya, saat itu, termaktub dalam satu ikatan yang utuh, dan apabila terlanggar akan menjadi irisan bahkan urusan yang menghancurkan arti ikatan kebersamaan itu.

Sejak semua itu berjalan dalam ikrar yang disematkan di hati dan pikiran masing-masing, Aku, meninggalkan istirahat malamku, membiarkan siangku terlantar dan membiarkan kehangatan buah hati serta pendamping hidup berlalu, hanya untuk mereka yang ternaung dalam kemandirian bersama. Terkadang, waktu yang terbuang percuma serta harap dan tetes air mata mereka membuatku hancur dan tak berdaya. Lagi-lagi, semuanya harus ditepiskan agar dunia tak akan meminta belas kasihan dari perbuatan yang dipahamkan.

Ternyata, satu hal yang tak pernah aku sadari, diriku bukan Nabi, atau orang mulia yang telah diberi nilai dari barokah Allah diluar nalar pribadinya.

Aku hanya manusia biasa yang hanya berjalan dengan hati dan kelurusan yang ada. Meskipun itu tak pernah sempurna.

Aku tidak sedang menyebut kebaikan yang pernah ada, menghabiskan waktu dan meninggalkan pekerjaan demi mereka yang meminta dan nestapa. Sakit dan haru menjadi lembaran kisah yang selalu aku tampung dari setiap beban yang dipertontonkan dan dimintai penyelesaian. Semuanya kini, seolah tak pernah ada, jangankan berterima kasih untuk yang terberi, kebersamaanpun telah dipungkiri, begitu juga terhadap janji yang dibiarkan berlari. Sapaku tak berarti bahkan kehadirankupun tak diperduli.

Lama sekali, hati dan pikiran ini menari-nari tiada henti, hanya untuk mencari jawaban kenapa menjadi seperti ini. Bahkan dengan lugas ditanyakan, mengapa hanya karena kedekatan yang terus terjalin terhadap orang lain, dirimu merasa menjadi hakim..?!

Lalu pertanyaan ekstrimpun terlontar dari hati yang paling dalam. "Katanya sangat dekat kepada Tuhan, tapi orang lain tak dihiraukan, tetanggapun hanya sebatas simpul senyuman seolah nampak ada yang beda.

Katanya menghamba, tapi suka mengghibah sesama tanpa rasa malu sedikitpun bahkan dari dirinya sendiri sebagai bagian keluarga tanpa ragu memberi cela.

Katanya tak boleh memaksa, tapi setiap pernyataan menjadikan orang lain takut punya pilihan bahkan cenderung kearah merendahkan.

Katanya bijaksana, tapi senantiasa mencela dan susah menerima keadaan orang yang berbeda. Katanya selalu mensucikan diri, tapi senantiasa menyanjung diri seolah suci sendiri dan yang lain terlihat risih.

Katanya luas dan lapang, tapi selalu mengikat kebebasan orang, selalu saja ingin bersamanya tanpa menghiraukan kepentingan orang lain yang berbeda dalam hidup. Katanya bersama dalam keimanan, tapi selau menghujat dibelakang, hadir dan tidak hadirnya orang lain dianggap belum kuat kebersamaan dalam beriman. Katanya sangat berilmu, tapi selalu memburu nafsu, dengan diam-diam mencuri ilmu dan wawasan dari orang. Katanya jangan memanfaatkan, tapi selalu meminta bantuan orang atas nama Tuhan dan seolah-olah ini murni hubungan kehambaan.

Lalu, Tuhan yang katamu Maha, ada dimana..?! Padamu saja, golongan dan komunitas mana, dari langit atau dari bumi..?! Atau orang yang seperti dirimu lakukan saat ini, yakni yang memenangkan diri sendiri dan seleranya saja...?!"

Dari kelurusan hati dan akal pikir, serta memperhatikan dampak dalam kebiasaan hidup, ternyata, cara halus, tegas dan bijaksana yang menurutmu bersahaja adalah cara gila yang membutakan manusia kepada Rabbnya.

Hal yang seperti ini telah memberi dogma (tekanan untuk kepatutan), bukan pencerahan hidup dalam beragama apalagi penguatan terhadap Tuhan. Akibatnya, kebaikan yang telah dibuat dan dirasakan bersama sebelumnya yang tidak merusak kebaikan yang lebih besar, harus hilang begitu saja hanya karena adanya sesuatu yang lebih indah dipandang mata dan membuat sahwat terbuka.

Akhirnya, klimaks hati bersuara dalam nada yang membungkam mulutnya yang berbisa. Kuhujamkan kata, "Karena inginnya terlihat bijak, dihempaskanlah kebaikan yang nampak. Kau berdiri dengan pongahnya dalam rasa tak berdosa, seolah diri tak pernah salah.

Dari situ aku menjadi tahu, selain akalmu, kesehatan jiwamupun sudah terganggu".

Seketika hati dan pikiranku menghadirkan tanya, maka sapaku tak dijawab, kataku tak digubris, pandanganku tak dilihat dan langkahku tak dipantau.

Dari sana, teranglah sudah bahwa, kesepahaman dalam ikatan kebersamaan tidak berlaku apabila terdapat perbedaan yang tidak menunjang kreator atau induk semangnya.

Aku tentunya punya salah, punya bagian yang lemah dan punya sisi hidup yang tak berdaya. Tapi aku telah menjalankan fungsiku atas sesama dan sebelumnya aku telah rela dalam menjalankannya, bahkan sebagian besar dari perbuatan itu adalah permintaan yang katanya dari ketulusan.

Jika dari semua yang tertulis ini dianggap meminta balas budi atau bagian dari menyatakan keangkuhan diri sendiri dan menjadikan orang lain menjauh, maka tegas aku katakan tidak..!! Karena bagiku, "Tak ada yang menyuruhmu datang padaku, kamulah yang selalu meminta hadir. Ketika rasa bersalah harus orang lain yang menanggung, maka sesungguhnya, harga dirimu terlalu rendah dan imanmu terlalu murah".

Semua ini hanya kaca pembesar bagiku untuk lebih mampu belajar dari semua orang agar hidupku tak lagi tergerus waktu dan perkataan dari setiap sisi yang menggoda dan setiap sudut yang terlihat seperti apa adanya. Disamping itu, sadar atau tidak, manusia pasti berubah ketika dia menemukan sesuatu yang baru dan memikat hatinya. Meninggalkan atau ditinggalkan adalah hukum yang baku, waktu hanya kendaraan untuk pergi tanpa beban.

Namun dosa tetap akan bersemayam, sebelum manusia itu kembali ke pangkalan atau fitrah diri yang diadakan.

Sementara untuk diriku sendiri, "Aku berdiri dan melangkah mencapai cita, hanya karena pandangan yang sederhana, itu saja".

Sebaiknya, jangan terlalu sibuk dengan bertuahnya kata orang yang bijaksana. Meskipun sudah ternama dan tidak diragukan kelurusannya, dia tetaplah akan menjadi dirinya dengan segala pilihan dan pertanggungjawaban hidupnya.

Kita butuh menjadikan diri kita tumbuh dengan sendirinya, karena langkah dan masa depan tidaklah sama.

Keluar dan berbuatlah untuk meraih bahagia diri, dengan ilmu dan bakti yang telah terberi dan dihayati.

Apalagi kekuatan hidup telah didapati dari mereka yang tulus dan berkepribadian tinggi.

Kapanpun dan dimanapun, sebuah kesadaran haruslah dibarengi dengan kepastian. Semua itu, harus dibuktikan dengan pelangkahan atas kebaikan.

Kini, ibarat tersadar dalam lamunan dan hayalan yang ketinggian, aku harus menjauh untuk menjaga hati dan pikiranku. Karena dari halus dan kasarnya kebersamaan telah terpancar sinar yang menyilaukan dari kaki-kaki dan tangan-tangan yang mengulurkan atau yang melepaskan atau bertepuk tangan, baik berbentuk ketulusan atau kepalsuan.

Bukan karena aku benci atau mendendam tapi karena aku harus lebih seimbang dalam memberi arti sebuah kesadaran. Baik untuk diri sendiri ataupun semua orang, tentunya menjadi sinyal kuat untuk lebih membangun kepercayaan dimasa depan.

Selalu kuingat sebuah ujaran dari renunganku sendiri, "Jika permintaanmu diakui atas dasar keikhlasan, jangan merubahnya hanya karena mendengar kata seseorang yang terlihat bijaksana.

Dia bisa membenarkan ceritamu dengan keadaan yang kau mau, tapi dia tidak pernah tahu, halusnya nafsu dan muslihat yang berjalan dibenakmu.

Meski tak terlihat oleh mata dan tak terasa oleh hati, kebenaran kisahmu akan berakhir pada sakitnya sayatan takdir dari do'a orang-orang yang terluka ataupun orang-orang yang suka dalam lembaran sejarah".

Rugi bagiku jika membenci, bodoh diriku jika mendendam, karena semua itu tak akan mengembalikan keadaan apalagi memberi keuntungan.

Semuanya, kini dan nanti adalah pelajaran agar lebih peka, dewasa  dan mawas diri dalam ikatan yang katanya kebersamaan dan satu dalam perjalanan.

Salam hangat untuk semua yang pernah singgah memenuhi hari-hari dan cita-cita. Bersama kalian, hidup ini telah berkembang untuk melihat warna dan campuran busuk sebuah goresan dari adanya tujuan. Hatiku berkata, "Dengan meminta kepada langit dan menerobos pintu harapan kepada-Nya, perjalanan hidup akan menghasilkan cerita menarik dan menjadi pelajaran bagi banyak orang".

Semoga terjaga hati, pikiran dan iman kita semua dalam senyuman yang tetap terlintas dan eratnya tangan saat bersama.

Perjalanan masing-masing saat ini dan kedepannya, haruslah bersandar pada diri sendiri yang kuat dan akumulasi dari setiap persoalan yang mendera. Tetaplah dalam dasar dan tujuan yang diharapkan, meski tak lagi sama dan pelukan tak lagi sehangat semula.

Untuk kalian diluar sana, dekap dan peluklah diri kalian sendiri dengan erat, jangan mudah melepaskan tanpa alasan yang dibenarkan. Ingatlah, "Jika tak mampu mengurung gelap, maka hadirkanlah cahaya, agar terang tahu dan dapat menandainya". Selanjutnya, "Mengapa harus menitipkan kepercayaan, sedang dirimu mampu mempertahankan. Lelah tak akan membuatmu kehilangan, jika kamu berjalan dalam kebenaran".

Mintalah agar do'a diijabah, dijauhi dari yang bermuka dua dalam segala rupa, agar hidup dapat memberi makna dan menjadi bahagia.

Oleh: Y u r M a r T i n, dalam Karya, Menembus Batas Bias

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun