Pendahuluan
Dunia ini penuh dengan daya tarik yang memikat. Harta, tahta, dan pujian seolah berlomba-lomba menawarkan kebahagiaan instan. Namun, seperti serigala berbulu domba, daya tarik itu sering kali menyembunyikan jebakan yang menawan hati dan mengikat jiwa. Ketika segala hal yang bersifat duniawi menjadi tujuan utama, hati perlahan tenggelam dalam pusaran ambisi yang tak berujung.
Pertanyaannya, apakah kita hidup untuk dunia ini, atau dunia justru diciptakan untuk mendukung perjalanan kita menuju tujuan yang lebih mulia? Pemahaman tentang peran duniawi dalam hidup sering kali menjadi kabur di tengah kesibukan dan hiruk-pikuk kehidupan modern. Kita terpikat, terjebak, lalu kehilangan arah. Lalu, bagaimana menemukan kebebasan hakiki di tengah keterikatan yang membelenggu ini?
Sebagaimana Al-Ghazali pernah menjelaskan, keterikatan pada dunia bisa menggelapkan hati, mengaburkan pandangan manusia dari kebenaran ilahi. Hati yang terlalu mencintai dunia menjadi sulit menerima cahaya Tuhan. Dalam tulisan ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana dunia yang menawan bisa menjadi jebakan, bagaimana jiwa tertawan, dan langkah apa yang dapat diambil untuk mencapai kebebasan sejati. Sebuah kebebasan yang tidak hanya membebaskan hati, tetapi juga membawa kita lebih dekat pada Tuhan.
"Keterikatan pada dunia dapat menggelapkan hati, menjauhkan manusia dari kebenaran ilahi." -Â Al-GhazaliÂ
Duniawi yang Menawan
Dunia ini, dengan segala kemegahannya, sering kali menjadi daya tarik yang sulit untuk diabaikan. Harta melambangkan kemapanan, kekuasaan menawarkan kendali, dan status sosial memberikan pengakuan. Ketiganya membentuk ilusi kebahagiaan yang terus dikejar manusia sepanjang hidupnya. Namun, dalam pengejaran itu, tidak jarang manusia terjebak dalam lingkaran yang melelahkan dan tak berujung.
Di era modern, daya tarik duniawi semakin diperkuat oleh budaya konsumtif dan kehadiran media sosial. Platform seperti Instagram dan TikTok, misalnya, kerap memamerkan kemewahan hidup yang menciptakan standar kebahagiaan semu. Orang berlomba-lomba menunjukkan pencapaian, membangun citra, dan mendapatkan validasi melalui jumlah "like" atau komentar. Sayangnya, ilusi ini sering kali memicu rasa iri dan kecemasan, alih-alih memberikan kepuasan sejati.
Dalam kehidupan sehari-hari, daya tarik duniawi terlihat jelas. Seseorang yang baru membeli kendaraan mewah mungkin merasakan kebahagiaan sementara, tetapi tak lama kemudian merasa ada yang kurang karena tetangganya membeli kendaraan yang lebih mahal. Di tempat kerja, ambisi untuk mendapatkan promosi sering kali mengorbankan hubungan dengan keluarga atau waktu untuk diri sendiri. Dalam perlombaan tanpa akhir ini, manusia sering kali lupa untuk bertanya: apakah semua ini benar-benar membahagiakan?
Sebagaimana Ibn Qayyim Al-Jawziyyah mengatakan, "Dunia itu ibarat bayangan, jika engkau mengejarnya, ia akan lari darimu." Bayangan duniawi akan selalu menjauh setiap kali kita berusaha mendekat, meninggalkan perasaan kosong yang sulit diisi. Daya tarik dunia ini, jika tidak dikendalikan, dapat menjadi penghalang terbesar untuk meraih kebebasan jiwa.
Menyadari bahwa dunia hanyalah sementara adalah langkah pertama untuk tidak terjebak dalam daya tariknya. Dengan begitu, kita dapat mengarahkan perhatian pada hal-hal yang lebih esensial dan mendalam, seperti kebahagiaan batin dan kedamaian jiwa.
"Dunia itu ibarat bayangan, jika engkau mengejarnya, ia akan lari darimu." -- Ibn Qayyim Al-Jawziyyah
Jiwa yang Tertawan
Keterikatan pada duniawi memiliki dampak mendalam terhadap kesejahteraan psikologis dan spiritual seseorang. Saat fokus hidup terpusat pada mengejar harta, kekuasaan, atau pengakuan, stres dan kecemasan menjadi teman yang sulit dihindari. Ambisi yang terus-menerus menguras energi, sementara kegagalan atau kehilangan hal-hal duniawi sering kali menimbulkan rasa putus asa. Dalam jangka panjang, keterikatan ini dapat menyebabkan kehilangan makna hidup, meninggalkan jiwa yang kosong dan rapuh.
Dalam spiritualitas Islam, jiwa (ruh) dipandang sebagai entitas yang diciptakan untuk mencari Tuhan. Ruh adalah bagian paling murni dari manusia yang selalu merindukan kebenaran ilahi. Namun, ketika jiwa terlalu sibuk dengan urusan dunia, ia menjadi tertawan oleh keinginan-keinginan rendah yang menghalangi pandangan terhadap cahaya kebenaran. Seperti dijelaskan dalam tasawuf, jiwa yang tertawan dunia kehilangan kepekaan untuk merasakan kebesaran Tuhan dan hakikat hidup.
Studi menunjukkan bahwa kebahagiaan material bersifat sementara dan sering kali memudar seiring waktu. Sebagai contoh, penelitian oleh Harvard Study of Adult Development menemukan bahwa hubungan yang bermakna dan kedamaian batin adalah faktor utama kebahagiaan yang langgeng, jauh melampaui pencapaian material. Hal ini menguatkan pandangan bahwa kebahagiaan batin tidak dapat dicapai melalui keterikatan pada duniawi, melainkan melalui keseimbangan dan pemahaman akan tujuan hidup.
Sebagaimana pandangan tasawuf menyebutkan, jiwa yang tertawan duniawi sulit untuk melihat cahaya kebenaran. Hati yang penuh dengan keterikatan dunia tidak memiliki ruang untuk menerima cahaya Tuhan. Oleh karena itu, melepaskan diri dari keterikatan ini adalah langkah penting untuk membebaskan jiwa dan menemukan kedamaian sejati.
Kebebasan jiwa bukan berarti meninggalkan dunia, tetapi menempatkannya pada posisi yang tepat---hanya sebagai sarana, bukan tujuan. Dengan begitu, jiwa dapat kembali pada panggilan aslinya, yaitu mendekat kepada Tuhan dan menikmati kebebasan hakiki.
"Zuhud bukan berarti kamu tidak memiliki dunia, tetapi dunia tidak memiliki kamu."Â -- Imam Malik
Mencari Kebebasan Hakiki
Kebebasan hakiki tidak ditemukan dengan meninggalkan dunia, melainkan dengan melepaskan keterikatan terhadapnya. Dalam tradisi Islam, jalan menuju kebebasan ini dijelaskan melalui konsep zuhud, tajarud, dan penyerahan diri kepada Tuhan. Zuhud berarti hidup sederhana dan tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Sementara itu, tajarud adalah upaya melepaskan diri dari keterikatan nafsu dan ego, sehingga hati menjadi kosong dari keinginan selain kepada Tuhan. Dengan kombinasi keduanya, seseorang diajak untuk menyerahkan seluruh aspek hidupnya kepada kehendak Tuhan.
Transformasi personal sering kali menjadi titik balik dalam perjalanan menuju kebebasan hakiki. Sebagai contoh, kisah Umar bin Khattab, yang awalnya dikenal sebagai tokoh keras dan ambisius, menunjukkan bagaimana penyadaran spiritual dapat mengubah seseorang menjadi pribadi yang zuhud. Ketika menjadi khalifah, Umar menjalani kehidupan yang sangat sederhana meski memiliki kekuasaan besar. Ia tidak terpikat oleh dunia, melainkan menjadikannya alat untuk melayani masyarakat dan mendekat kepada Tuhan.
Dalam konteks modern, tekanan duniawi sering kali datang dari gaya hidup yang kompetitif dan konsumtif. Namun, kebebasan hakiki tidak berarti meninggalkan tanggung jawab atau kehidupan modern. Sebaliknya, kebebasan ini dapat diwujudkan dengan mengatur prioritas hidup. Misalnya, seseorang dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan, tetapi tidak menjadikan materi sebagai ukuran kebahagiaan. Meditasi, doa, dan refleksi juga menjadi sarana penting untuk menghadapi tekanan duniawi tanpa kehilangan arah spiritual.
Sebagaimana Hadis Nabi menyatakan, "Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya." Pengenalan diri adalah langkah awal menuju kebebasan. Dengan menyadari bahwa dunia hanya sementara dan Tuhan adalah tujuan akhir, hati menjadi lebih tenang dan jiwa terbebas dari belenggu keterikatan.
Mencari kebebasan hakiki adalah tentang menemukan keseimbangan. Dunia bukan untuk ditinggalkan, melainkan untuk dimanfaatkan sebagai jalan menuju Tuhan. Dengan melepaskan keterikatan yang tidak perlu, seseorang dapat menjalani kehidupan yang lebih bermakna, bahagia, dan sejati.
Kesimpulan
Kebebasan jiwa bukan berarti meninggalkan dunia, melainkan menemukan keseimbangan antara duniawi dan spiritualitas. Dunia dengan segala daya tariknya memang menawan, tetapi ketika hati terlalu terikat pada materi, status, atau ambisi, jiwa menjadi tertawan dan kehilangan arah. Untuk menemukan kebebasan hakiki, manusia perlu mengalihkan perhatian dari mengejar dunia menuju mencari Tuhan, melalui zuhud, tajarud, dan penyerahan diri.
Tulisan ini mengajak kita untuk merefleksikan posisi hati kita di tengah kesibukan dunia. Apakah hati kita masih tertawan oleh keinginan-keinginan duniawi? Ataukah kita sudah mulai melepaskan keterikatan untuk menemukan kebebasan sejati? Menyadari tujuan hidup yang lebih tinggi adalah langkah awal untuk membebaskan diri dari belenggu dunia dan meraih kedamaian jiwa.
Sebagaimana Rumi berkata, "Kebebasan sejati adalah ketika hatimu hanya terpaut pada Tuhan." Dengan hati yang terpaut pada Tuhan, dunia menjadi alat, bukan tujuan. Jiwa yang bebas adalah jiwa yang mampu menjalani hidup dengan tenang, penuh makna, dan senantiasa dekat dengan Sang Pencipta.
"Kebebasan sejati adalah ketika hatimu hanya terpaut pada Tuhan."Â -- Jalaluddin Rumi
Referensi:
Al-Ghazali. (2018). Ihya Ulumuddin. Translated by Muhammad Utsman. Jakarta: Pustaka Ilmu.
Ibn Qayyim Al-Jawziyyah. (2019). Al-Fawaid: A Collection of Wise Sayings. Riyadh: Darussalam.
Nasr, S. H. (2022). The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism. New York: HarperOne.
Rumi, Jalaluddin. (2020). The Essential Rumi. Translated by Coleman Barks. New York: HarperOne.
Al-Attas, S. M. N. (2021). Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.
Schumaker, J. F. (2020). The Happiness Conspiracy: What Makes Life Worth Living?. London: Bloomsbury.
Ghazali, A. (2021). Alchemy of Happiness. Kuala Lumpur: Islamic Renaissance Front.
Chittick, W. C. (2023). The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi's Metaphysics of Imagination. Albany: State University of New York Press.
Khan, H. I. (2022). The Music of Life: Sufi Teachings on Sound, Music, and Spirituality. Boston: Shambhala Publications.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H