Membuka Tabir "Brain Rot"
Bayangkan ini: Anda duduk di sofa, membuka ponsel, dan mulai menggulir. Satu video lucu lewat, diikuti dengan berita selebriti, lalu sebuah tantangan viral yang tidak masuk akal. Sebelum sadar, dua jam telah berlalu. Apakah ini hanya kebiasaan? Atau ada sesuatu yang lebih dalam terjadi pada otak Anda?
Fenomena ini sering disebut "brain rot," istilah populer yang menggambarkan degradasi kognitif akibat paparan konten digital berkualitas rendah. Dalam dunia yang serba digital, smartphone di tangan membuat kita rentan terhadap pengaruh ini. Dampaknya jauh lebih serius daripada sekadar buang-buang waktu; ini adalah ancaman nyata bagi kesehatan mental dan daya pikir kita.
Menurut laporan We Are Social 2024, rata-rata pengguna internet di Indonesia menghabiskan lebih dari 8 jam sehari untuk online, dengan media sosial mengambil porsi lebih dari 3 jam. Angka ini menunjukkan tingginya tingkat keterpaparan masyarakat terhadap informasi instan yang sering kali kurang bermutu. Lantas, bagaimana hal ini memengaruhi otak kita?
Mengapa "Brain Rot" Terjadi?
Istilah "brain rot" tidak hanya metaforis tetapi juga mencerminkan perubahan nyata pada otak. Penelitian menunjukkan bahwa konsumsi informasi yang tidak bermutu dapat menghambat kemampuan berpikir kritis dan merusak fokus. Berikut beberapa penyebab utamanya:
1. Overload Informasi
Terlalu banyak informasi membuat otak kesulitan memproses, sehingga fokus dan retensi menurun. Menurut sebuah penelitian oleh MIT, "otak manusia hanya mampu memproses sejumlah informasi secara efektif sebelum mengalami kejenuhan kognitif."
2. Konten Instan
Video pendek, meme, dan artikel cepat menciptakan kebiasaan berpikir dangkal, yang pada akhirnya mengurangi kemampuan untuk memahami informasi kompleks. Generasi muda, khususnya Gen Z, menjadi kelompok yang paling terpengaruh karena pola konsumsi digital mereka didominasi oleh konten instan.