Mohon tunggu...
Fauzan Ali Rasyid
Fauzan Ali Rasyid Mohon Tunggu... -

Peneliti, Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membangun Sistem Kepartaian yang Efektif

17 Januari 2012   06:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:47 2274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

JUMLAH

100

560

20

PDK

0,64

-

Sumber: KPU 2009

Rekruitmen dan Kualitas Partai Politik

Partai Politik merupakan kelompok anggota yang terorganisasi secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologi tertentu, dan yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang telah tersusun dalam partai. Alternatif kebijakan umum yang disusun ini merupakan hasil pemaduan berbagai kepentingan yang hidup dalam masyarakat, sedangkan cara mencari dan mempertahankan kekuasaan guna melaksanakan kebijakan umum dapat melalui pemilihan umum dan cara-cara lain yang sah.

Keberadaan partai politik di tengah masyarakat akan mendapat dukungan apabila partai politik tersebut menjalankan fungsi-fungsi partai politik. Partai politik memiliki fungsi dalam sistem politik antara lain: 1) sosialisasi politik, 2) Rekruitmen politik, 3) Partisipasi politik, 4) Pemadu kepentingan, 5) Komunikasi politik, 6) Pengendalian konflik, dan 7) Kontrol politik.[6] Fungsi-fungsi partai politik tersebut sering tidak diindahkan oleh partai politik sehingga citra partai politik di tengah masyarakat menjadi hanya sekedar alat bagi orang-orang yang haus akan kekuasaan. Walaupun itu tidak salah tetapi hendaknya partai politik dapat membangun kedewasaan politik rakyat sehingga arah dan kebijakan politik dapat dipahami rakyat. Cukup disayangkan ketika hasil beberapa survey menunjukkan rendahnya kepercayaan rakyat terhadap partai politik seperti survey yang dilakukan LSI, Kompas, Media Indonesia dll.

Faktor yang cukup signifikan untuk meningkatkan kepercayaan pada partai politik adalah rekruitmen politik. Rekruitmen dianggap penting karena partai politik adalah infrastruktur politik yang memproduk elit-elit politik. Partai politik dapat dikatakan sebagai institusi yang secara  formal melakukan proses sosial politik lahirnya elit politik. Emile Durkheim menjelaskan bahwa sebab-sebab suatu gejala sosial yang dapat menjadi proses lahirnya sebuah elit atau pemimpin terdiri atas 2 macam: (1) sebab-sebab ateseden, dalam hal ini elit harus dipelajari sebagai perluasan dari kasta penguasa, aristokrasi, dan kelas-kelas penguasa yang menurut sejarah mandahuluinya, (2) sebab yang mengiringinya kekuatan-kekuatan yang terus beroperasi dan mejalankan pengaruhnya.[7] Dalam hal ini, elit harus dipelajari dalam hubungan dengan kekuatan-kekuatan sosial yang mendorong perkembangan sosial. Indikator kedua dari durkheim tersebut menunjukkan pentingnya penguatan rekrutiemen politik oleh partai politik.

Dalam melakukan rekruitmen politik, partai politik juga perlu dilakukan secara elegan dan transfaran. Sebab di samping perkembangan politik yang semakin maju juga kekuatan-kekuatan politik masyarakat telah berkembang pesat sehingga,  partai politik dapat menampung seluruh elemen kekuatan-kekuatan strategis dimasyarakat. Suzanne Keller menjelaskan bahwa golongan elite berkembang disebabkan oleh empat proses sosial yang utama: (1) pertumbuhan penduduk, (2) pertumbuhan spesialisasi jabatan; (3) pertumbuhan organisasi formal atau birokrasi; dan (4) perkembangan keragaman moral.[8] Dengan berjalannya keempat proses itu, kaum elite pun menjadi semakin banyak, semakin beraneka ragam dan lebih bersifat otonom.

Teori Keller di atas menunjukkan bahwa kekuatan-kekuatan sosial politik masyarakat telah menyebar sedemikian rupa sehingga menuntut elit partai untuk membuka sistem kepartaian, sehingga elit-elit tersebut dapat berkiprah optimal dalam politik melalui partai politik. Tidak bisa lagi membentuk partai secara tertutup, secara ideologis atau satu lapisan masyarakat seperti yang terjadi di era sebelumnya sehingga muncul istilah politik aliran. Pada masa Orde Lama, PNI sebagai partai priyayi, Masyumi sebagai partai santri dan PKI sebagai partai wong cilik. Begitu juga pada masa orba, Golkar sebagai partai priyayi, PPP sebagai partai santri dan PDI sebagai partai wong cilik.

Di negara-negara berkembang, seperti halnya Indonesia, di mana tradisi kepartaian belum berjalan kuat, rekrutmen politik seringkali terjadi hanya dalam satu atau beberapa kelompok tertentu dan biasanya berlangsung dengan pola-pola patronase. Pola ini merupakan bagian dari sistem penyuapan dan korupsi yang rumit yang merasuki banyak bidang kehidupan masyarakat. Namun dianggap sebagai pola yang paling mapan tetapi dapat melahirkan perekrutan politik yang tidak cocok baik secara politik maupun diukur dari kemampuannya.

Dengan pola seperti inilah perkembangan partai-partai politik di Indonesia menjadi kurang berkembang dan tidak dapat menjadi pemandu berbagai kepentingan politik. Padahal perkembangan politik di Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat  sejak jatuhnya rejim Orde Baru. Perubahan-perubahan politik belum diiringi dan disertai dengan perubahan kultur politik dalam partai politik sehingga, hal itu membawa tersendatnya perubahan perilaku politik dan etika politik bangsa.

Pada Pemilu 2009 merupakan pemilu dengan sistem proporsonal terbuka dan berimbang.[9] Dengan sistem pemilu seperti itu, Partai Politik yang memiliki peluang besar untuk tetap eksis adalah yang memiliki tiga (3) sumber kekuatan politik. Pertama adalah kebesaran partai itu sendiri dan kedua, memiliki tokoh-tokoh populis, dan ketiga, adalah memeiliki sumber dana yang besar. Apalagi dengan ada ketentuan ambang batas perolehan suara sebesar 2,5% secara nasional, dimana apabila salah satu partai politik tidak mencapai jumlah ambang batas maka perolehan suaranya tidak dihitung menjadi perolehan kursi. Yang dihitung perolehan suara menjadi kursi legislatif adalah partai yang memperoleh jumlah suara minimal diambang batas.

Secara teoritik dapat diukur partai-partai yang memiliki kebesaran Partai politik antara lain adalah pertama, partai politik yang berkoalisi atau berbasis dengan kekuatan-kekuatan strategis seperti ormas, aristokrat lokal, birokrasi dan kelompok-kelompok bisnis. Partai politik yang memiliki sumber daya tersebut antara lain Golkal, PPP, PDIP, PKS, Demokrat, PAN, PKB. Kedua, partai yang akan eksis itu adalah partai yang memiliki tokoh-tokoh populis. Tokoh-tokoh populis tersebut bisa berangkat dari intelektual, agamawan, militer, penguasa, dan seniman (artis). Sumber-sumber populis tersebut juga hampir dimiliki oleh partai-partai yang disebutkan di atas. Oleh karena itu sebenarnya Undang-Undang Partai Politik No 2 tahun 2008 atau UU Pemilu  NO. 10 tahun 2008 memberikan peluang besar mendirikan partai politik tetapi mempersempit  untuk mendapatkan kursi dan kepercayaan rakyat kecuali bagi partai memiliki sumber-sumber kekuatan politik di atas.

Upaya penyederhaan Partai tetapi mencakup seluruh kepentingan Rakyat

Sistem multipartai yang dianut Indonesia, sebenarnya telah menyadarkan semua pihak bahwa pilihan tersebut harus disempurnakan, tetapi apabila dibatasi mendapatkan reaksi keras dari elit-elit partai politik. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah penyederhaan partai politik. Hal itu penting karena, pertama, dalam rangka membentuk sistem kepartaian yang kuat dan efektif, sehingga rekruitmen yang dilakukan parpol dapat dilakukan secara sistematis. Tidak seperti sekarang rekruitmen cenderung serampangan tanpa melalui proses kaderisasi politik. Kedua, memudahkan masyarakat untuk memberikan hak pilihnya, tidak seperti pada pileg 2009 cukup membingungkan. Ketiga, memudahkan konsolidasi politik, sehingga Indonesia dapat keluar dari transisi politik yang berkepanjangan. Keempat, meminimalisir konflik-konflik politik sebagai ekses dari kompetisi partai politik yang berdampak pula pada konflik horizontal atau konflik sosial. Kelima, membentuk legitimasi politik yang kuat terhadap lembaga-lembaga politik baik eksekutif maupun legislatif, sebab apabila terlalu banyak partai akan melahirkan perwakilan atau kepemimpinan yang rendah legitimasi, karena akan sulit melahirkan pemenang suara mayoritas (50%+1). Selain itu, akan banyak suara yang terbuang sebagai dampak dari banyak partai politik yang tidak terpilih.

Dalam perjalan politik bangsa kesadaran penyederhanaan partai tersebut telah dilakukan berbagai upaya mulai pada masa Presiden Soekarno, dimana setelah Dekrit Presiden tahun 1959, pada masa itu dimulai pula penyederhaan sistem partai dengan mengurangi jumlah partai politik melalui Panpres No. 7/1959. Secara otomatis Panpres tersebut mencabut Maklumat Pemerintah 3 November 1945. Kemudian ditetapkanlah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh partai untuk diakui oleh pemerintah. Partai yang dinyatakan memenuhi syarat pada waktu itu adalah; PKI, PNI, NU, Partai Katolik, Partindo, Parkindo, Partai Murba, PSII Arudji, IPKI, Partai Islam Perti, sedangkan beberapa partai lainnya dinyatakan tidak memenuhi persyaratan. Dengan dibubakannya Masjumi dan PSI pada tahun 1960 tinggal 10 Partai politik saja.

Pada masa Demokrasi Pancasila (Orde Baru) penyederhaan Partai politik menjadi tuntutan semua pihak baik diseminar-seminar maupun di media massa. Penyederhaan pada waktu itu dimulai dari pembubaran PKI melelui TAP MPRS NO. XXV dan pembekuan Partindo, karena dianggap senantiasa menjalin hubungan erat dengan PKI. Kemudian diadakan seminar di Seskoad Bandung yang pada waktu itu menjadi semacam think tank Orde Baru. Seminar tersebut tentang “Pemilihan Umum dan Orde Baru”. Seminar yang dihadiri beberapa cendikianwan tersebut menghasilkan bahwa untuk penyederhaan partai,maka digunakan sistem distrik. Sistem tersebut kemudian dituangkan dalam RUU Pemilu tahun 1967. Akan tetapi RUU tersebut mendapat kecaman dari partai-partai politik, akhirnya dilakukan konsensus pada tanggal 27 Juli 1967 antara pemerintah dengan partai-partai politik.

Konsensus tersebut menghasilkan antara lain pertama, pemerintah mengalah dengan menyetujui sistem pemilu perwakilan berimbang, tetapi dengan beberapa modifikasi antara lain tiap kabupaten dijamin sekurang-kurangnya satu kursi sehingga perwakilan diluar Jawa akan seimbang dengan perwakilan dari Jawa. Dipihak lain, partai-partai politik mengalah dengan diterimanya ketentuan bahwa 100 anggota parlemen dari jumlah total 460 akan diangkat dari golongan ABRI (75) dan non-ABRI (25) dengan ketentuan bahwa anggota ABRI tidak menggunakan hak pilih dan memilihnya. Berdasarkan konsensus itu pada tanggal 8 Desember 1967 RUU diterima oleh parlemen dan pemerintah. Akan tetapi masih melahirkan ketidakpuasan diberbagai pihak, sehingga UU tersebut baru disahkan pada tahun 1969 yakni UU no. 15 tahun 1969 tentang Pemilu.[10] Pemilu dengan UU tersebut dilakukan pertama kali di era Orde Baru pada tahun 1971 dengan diikuti 9 partai dan golongan karya, jadi 10 peserta pemilu.

Usaha penyederhaan terus dilakukan di masa Orde Baru dengan melontarkan isu “dwipartai atau dwigroup.” Isu tersebut terutama dilontarkan Divisi Siliwangi dan Kostrad, namun senantiasa mendapat reaksi keras terutama dari partai politik. Kemudian  Presiden Soeharto berpidato di depan 9 partai politik, agar partai mengelompokkan diri untuk mempermudah kampanye pemilihan umum tanpa partai kehilangan identitas masing-masing atau dibubarkan sama sekali. Pengelompokkan ini mencakup tiga kelompok, yaitu Golongan nasional, Golongan spiritual, dan Golongan karya. Pengelompokkan ini sebenarnya ingin dilakukan sebelum pemilu 1971, namun baru berhasil pada tahun 1973. Empat partai Islam, yaitu NU, Parmusi, PSII dan Perti bergabung menjadi PPP. Selain dari itu lima partai, yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, dan IPKI bergabung menjadi PDI. Dengan demikian mulai Pemilu 1977 sampai dengan Pemilu 1997 hanya ada tiga orsospol, yaitu PPP, PDI, dan Golkar. Kemudian dilakukan penyamaan asas pada tahun 1982 yakni berasaskan Pancasila.[11]

Pada pemilu 1999, penyederhanaan partai politik melalui UU pemilu yakni dengan ditetapkannya electoral Threshold (ET). Electoral Treshold ditetapkan sebesar 3% dari jumlah kursi di DPR dan untuk pemilihan Presiden dan Wakil Prsiden 3% dari jumlah kursi di DPR atau 5% dari perolehan suara sah suara nasional. Dengan ketetapan tersebut dipastikan hanya 6 partai yang memenuhi ambang batas ET dari jumlah partai peserta pemilu sebanyak 48 partai politik. Keenam partai politik yang memenuhi ET tersebut yakni PDI-P, Golkar, PPP, PKB, PAN dan PBB. Sedangkan yang lainnya apabila akan mengikuti pemilu selanjutnya harus berubah nama dan mengikuti prosedur awal pendataran partai politik peserta pemilu seperti Partai Keadilan (PK) menjadi PKS pada pemilu 2004.

Pada pemilu 2004 juga sebagaimana pemilu 1999 menggunakan ambang batas ET yang sama. Berdasarkan ketentuan tersebut diperoleh 7 partai yang memenuhi ET dari 24 partai peserta pemilu. Ketujuh partai politik tersebut anara lain; Golkar, PDI-P, PKB, PPP, Paratai Demokrat, PKS dan PAN. Selain itu seleksi terhadap partai politik peserta pemilu pada pemilu 2004 dilakukan 2 tahapan, yakni pertama, seleksi yang dilakukan oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Kedua, seleksi yang dilakukan oleh KPU. Partai yang tidak lolos pada seleksi pertama tidak diperbolehkan mengikuti seleksi tahap dua.

Berdasarkan alasan-alasan analisis tersebut, adanya penyederhanaan partai politik menjadi urgen. Terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam penyederhaaan partai politik, antara lain:

1)Melalui penyempurnaan sistem pemilu.

Sistem pemilu juga sebenarnya dapat menjadi media seleksi terhadap partai politik, asal dilakukan secar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun