Mohon tunggu...
Fauzan Ali Rasyid
Fauzan Ali Rasyid Mohon Tunggu... -

Peneliti, Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membangun Sistem Kepartaian yang Efektif

17 Januari 2012   06:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:47 2274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendahuluan

Pemilu merupakan salah satu mekanisme demokrasi, sebab dengan pemilu akan menentukan legitimasi kekuasaan, representasi politik dan kepemimpinan nasional. Oleh karena itu, pilihan terhadap sebuah sistem pemilu akan menjadi sebuah model dalam berdemokrasi. Sistem pemilu pun akan menunjukkan keikutsertaan rakyat dalam menentukan masa depan bangsa dan negara. Dengan sistem pemilu akan terlihat bagaimana kedaulatan rakyat dilimpahkan kepada wakil rakyat atau kepada pimpinan nasional. Kemudian bagaimana hak rakyat untuk mengontrol kedaulatannya, apabila terjadi penyimpangan oleh wakil rakyat atau pimpinan nasional. Maswadi Rauf mengatakan bahwa ada dua konsep dasar yang menjadi prioritas dalam mendefinisikan demokrasi yakni kebebasan/persamaan (freedom/equality) dan kedaulatan rakyat. Dua konsep dasar ini menjadi indikator utama dalam membangun tegaknya demokrasi.[1]

Oleh karena itu, dalam membentuk sebuah sistem pemilu harus mencerminkan kedaulatan rakyat, adanya persamaan antar kontestan atau antara pemilih serta mencakup seluruh warga negara yang memiliki hak pilih baik wanita atau laki-laki, yang sehat atau yang cacat., sehingga pemilu memberikan wadah persamaan hak politik warga negara. Selain itu, juga sistem pemilu harus memberikan jaminan kebebasan bagi pemilih, sehingga yang terjadi adalah partisipasi aktif warga negara bukan mobilisasi warga negara oleh segelintir elit. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka sistem pemilu harus memberikan kemudahan baik waktu memilih atau lokasi pemilihannya. Begitu juga dengan adanya kebebasan harus memberikan rasa aman, rahasia dan adil. Sehingga terhindar dari intimidasi, pemaksaan dan ancaman.

Ramlan Surbakti mengatakan bahwa Pada dasarnya ada tiga hal dalam tujuan pemilihan umum.[2]

Pertama, sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum. Sesuai dengan prinsip demokrasi yang memandang rakyat yang berdaulat, tetapi pelaksanaannya dilakukan oleh wakil-wakilnya (demokrasi perwakilan). Oleh karena itu, pemilihan umum merupakan mekanisme penyelesaian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai.

Kedua, pemilihan umum juga dapat dikatakan sebagai mekanisme memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat melalui wakil-wakil rakyat yang terpilih atau melalui partai-partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin. Ketiga, pemilihan umum merupakan sarana memobilisasikan dan/atau menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik.”

Realitas poitik sering membuktikan bahwa pemilu menjadi ajang konflik antar partai politik, baik konflik ideologi maupun kepentingan pragmatisme politik. Sehingga keberhasilan pemilu akan juga ditunjang oleh sistem kepartaian yang dipilih. Apakah sistem partai tunggal, sistem dwipartai atau sistem multi partai. Oleh karena itu, terdapat kesinambungan dan hubungan yang erat antara pilihan sistem pemilu dengan pilihan sistem kepartaian dalam mewujudkan negara yang demokratis.

Sistem Pemilu Memperkuat Keutuhan Bangsa

Secara teoritis terdapat dua klasifikasi sistem pemilu, yakni sistem distrik dan sistem proporsonal.[3] Kedua sistem tersebut, menjadi perdebatan di kalangan elit politik Indonesia semenjak pasca kemerdekaan. Dengan alasan kebhinekaan dan heterogenitas bangsa Indonesia, maka sistem pemilu proporsonal menjadi pilihan semenjak pemilu pertama tahun 1955. Begitu juga dengan sistem multipartai dengan alasan yang sama. Partai tunggal, dan dwipartai serta sistem distrik pernah dilontarkan, tetapi sering mendapat penolakan dari sebagian elit politik. Sehingga terjadi kompromi politik serta menghasilkan keputusan pilihan sistem pemilu proporaonal dan multipartai.

Pokok masalah yang menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan terhadap sebuah sistem pemilu adalah keterwakilan/representatif politik, persamaan/kebebasan berpartisipasi, dan perlindungan terhadap hak politik dipilih dan memilih. Ketiga pokok bahan pertimbangan tersebut akan tercermin dalam undang-undang pemilu. Oleh karena itu, dalam setiap peraturan perundang-undangan, setidak-tidaknya mengandung tiga variable pokok, yaitu penyuaraan (balloting), distrik pemilihan (electoral district), dan formula pemilihan.[4]

Penyuaraan (balloting) artinya, tata cara yang harus diikuti pemilih yang berhak dalam memberikan suara. Apakah pemilih diperkenankan memilih salah satu alternaif (categorical) atau pemilih diperkenankan mendistribusikan suaranya kepada beberapa alternatuf sesuai dengan peringkat yang dikehendaki (ordinal). Pilihan yang dihadapi pemilih terdiri atas tiga kemungkinan, yakni memilih partai, memilih calon, atau keduanya (partai politik dengan daftar calonnya). Variabel penyuaraan ini terdapat di Negara-negara yang menganut sistem politik demokrasi yang menjamin kemajemukan (pluralism), sedangkan pemilihan umum di Negara-negara komunis tidak mempunyai alternatif terhadap partai politik atau calon.

Sedangkan yang dimaksud daerah pemilihan (electorate district) adalah ketentuan yang mengatur berapa jumlah kursi wakil rakyat untuk setiap daerah pemilihan. Apakah satu kursi perdistrik (single member district) atau lebih dari satu kursi per daerah pemilihan. Dalam menentukan daerah pemilihan ini setidak-tidaknya dua faktor selalu dipertimbangkan, yakni wilayah administatif pemerintahan dan jumlah penduduk.

Selain itu, adalah formula pemilihan artinya, rumus yang digunakan untuk menentukan siapa atau partai politik apa yang memenangkan kursi di suatu daerah pemilihan. Formula pemilihan dibedakan menjadi tiga, yakni formula pluralitas, formula mayoritas, dan formula perwakilan berimbang (proportional refresentation). Apabila menggunakan formula pluralitas maka seseorang atau suatu partai dapat dikatakan menang pada suatu daerah pemilihan manakala orang/partai tersebut berhasil memperoleh suara lebih banyak daripada calon-calon atau partai-partai lain tidak peduli apakah bedanya satu suara atau lebih. Apabila menggunakan formula mayoritas maka seseorang calon atau partai politik harus mencapai suara terbanyak dengan rumus; 50%+1. Rumus ini berguna untuk dapat ditetapkan sebagai memenangkan satu kursi di satu daerah pemilihan. Atau dalam bahasa yang lebih abstrak, kalau menggunakakn formula mayoritas seorang calon atau partai harus mencapai suatu jumlah suara yang melebihi kombinasi jumlah suara yang diperoleh calon-calon atau partai lain. Lalu menurut formula perwakilan berimbang, setiap partai politik akan memperoleh kursi sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh. Apabila mengikuti formula yang terakhir ini, jumlah suara per kursi ditetapkan lebih dahulu (jumlah pemilih yang mengggunakan haknya dibagi dengan jumlah kursi yang ditetapkan untuk daerah pemilihan yang bersangkutan), untuk kemudian kursi dibagi berdasarkan jumlah suara yang diperoleh oleh setiap partai peserta pemilihan umum.

Berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip tersebut, maka dalam menentukan sistem pemilu di Indonesia terdapat beberapa faktor yang harus menjadi pertimbangan antara lain; pertama, Indonesia adalah Negara yang majemuk baik dari segi etnik, ideologi, ras dan budaya. Contoh, orang Papua, Maluku tidak merasa bahwa meraka itu termasuk etnik Melayu. Kedua, terdapat kesenjangan jumlah penduduk dan luas wilayah antara propinsi dan kabupaten/kota, di Jawa dengan luar Jawa. Ketiga, kesenjangan ekonomi dan pendidikan antara kota dan desa serta antara Jawa dan luar Jawa. Keempat, tidak memiliki sejarah yang menunjukkan Indonesia adalah satu kesatuan kekuasaan wilayah seperti, tidak ada hubungan kekuasaan antara kerajaan Majapahit dengan Sriwijaya, Pajajaran, atau kerajaan Bone, Toraja atau Ternate dll. Jadi semua merupakan kerajaan-kerajaan kecil, sehingga tidak memiliki sejarah kebesaran bersama. Terbentuknya wilayah Indonesia karena kesepakatan di PBB atas wilayah jajahan Hindia Belanda atau desakan politik. Sehingga ketika terjadi ketidakpastian politik, beberapa daerah dengan mudah mengumandangkan kemerdekaannya seperti Timor-Timur, Aceh, Maluku, Papua dll. Hal tersebut berbeda dengan negara Malaysia, Filifina, Jepang, Jerman, Belanda dll. Kelima, terjadi dominasi suku mayoritas, sehingga para era rejim Orde Baru pernah terjadi Jawanisasi, orang Jawa dapat menjadi Bupati/Walikota atau Gubernur di propinsi-propinsi lainnya.

Realitas-realitas sosial-politik tersebut, menunjukkan bahwa sistem pemilu yang tepat di Indonesia adalah sistem pemilu proporsonal, sehingga setiap elemen masyarakat dapat terwakili (prinsip representatif). Selain itu, sistem proporsonal yang terbaik adalah proporsonal terbuka dan berimbang. Artinya sistem proporsonal yang mengedepankan terpilihnya orang bukan partai, sebab kalau partai terjadi oligarki partai sebagaimana pada masa Orde Baru. Proporsoal terbuka dan berimbang sebagaimana pada pemilu 2009 dengan suara terbanyak, akan tetapi perlu disempurnakan lagi dengan menghilangkan nomor urut yang tepat adalah sistem abjadetik.

Sistem Kepartaian di Indonesia (Sebuah Pengalaman Partai Politik dari pemilu ke pemilu)

Awal berdirinya partai-partai politik di Indonesia jauh sebelum kemerdekaan, akan tetapi dalam pembahasan ini akan dimulai pasca proklamasi kemerdekaan. Karena sebelum kemerdekaan partai-partai politik berdiri bukan menjadi peserta pemilu tetapi merupakan bagian dari kelompok-kelompok masyarakat yang kemudian menduduki perwakilan pribumi di Volkstraad yang ketuanya tetap dipegang pihak penjajah. Volkstraad juga bukan lembaga politik sebagaimana lembaga legislatif, tetapi seperti lembaga legislatif karena tidak memiliki fungsi dan hak sebagai lembaga legislatif. Ia hanya sebatas lembaga konsultasi Gebernur jenderal.

Partai politik di Indonesia mulai berdiri setelah proklamasi kemerdekaan RI, berdasarkan hasil sidang terakhir PPKI,  tanggal 22 Agustus 1945, yang menetapkan antara lain: pertama, akan dibentuk suatu partai politik sebagai alat perjuangan yakni Partai Nasional Indonesia. Kedua, membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI). Ketiga, berdirinya Badan Keamanan Negara (BKR). Dengan demikian pada awalnya di Indonesia akan dibentuk partai tunggal atau partai negara namun, KNIP yang terlebih dahulu dibentuk mempertimbangkan berdirinya partai tunggal karena, dianggap berbau fasis (Jepang) dan bersifat otoriter. Dalam rangka itu, Badan Pekerja mengusulkan agar dibuka kesempatan untuk mendirikan partai-partai politik. Usul tersebut disejutui pemerintah dengan mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Dalam Maklumat tersebut tertulis bahwa “Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.”

Berdasarkan maklumat tersebut berdirilah partai-partai politik, sehingga Indonesia telah meninggalkan sistem partai tunggal dan menuju sistem multi partai. Berdirilah partai-partai politik seperti Masyumi, PKI, PNI, Partindo dll. Akan tetapi partai-partai tersebut yang setadinya akan menjadi peserta pemilu tahun 1946, gagal diselenggarakan karena masih terjadi revolusi fisik. Pemilu pertama baru dapat dilaksanakan pada tahun 1955 pada masa perdana Menteri Burhanuddin Harahap dari Masyumi, dengan berdasarkan UUD 1950 dan UU No. 7 tahun 1953 tentang Pemilu. Pemilu tersebut untuk memilih anggota Konstituante. Pada pemilu tersebut diikuti peserta pemilu dari partai politik dan perorangan yang semuanya berjumlah 28 peserta pemilu dengan 100 tanda gambar. Peserta pemilu dan perolehan suaranya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1

NO

NAMA PARTAI

PERSENTASE SUARA

KURSI

NO

NANA PARTAI

PERSENTASE SUARA

KURSI

1

PNI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun