Mohon tunggu...
Faturahman Djaguna
Faturahman Djaguna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta, | Wakil Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta

Menulis dan Membaca, kajian dan diskusi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Filsafat Pendidikan dan Pembebasaan Akademik

26 September 2024   12:10 Diperbarui: 26 September 2024   12:16 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar di ambil dari dokumentasi Kegiatan JuornoXperience DPM X Madrasa Digital

Filsafat pendidikan adalah cabang filsafat yang mempelajari tujuan, makna, dan metodologi pendidikan. Pendidikan merupakan instrumen yang sangat penting dalam pembentukan dan perkembangan masyarakat. Pemahaman mengenai filsafat pendidikan menjadi hal yang krusial dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan yang berkelanjutan dan inklusif. Salah satu perspektif filsafat pendidikan yang dapat memberikan pemahaman lebih dalam mengenai pendidikan adalah filsafat pendidikan pembebasan. Filsafat pendidikan pembebasan merupakan pendekatan yang fokus pada pembebasan individu dan masyarakat dari segala bentuk penindasan, ketidakadilan, dan kesenjangan sosial. Pendekatan ini bertujuan untuk menghasilkan pendidikan yang benar-benar memberdayakan individu dan masyarakat secara keseluruhan. 

Maksud dari pembebasan dalam konteks pendidikan adalah membebaskan individu dari penindasan dan mengembangkan potensi diri dengan memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman yang diperlukan untuk berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat. Filosof pertama yang mempopulerkan konsep pendidikan pembebasan adalah Paulo Freire, seorang pendidik asal Brasil. Freire menyatakan bahwa pendidikan pembebasan harus dimulai dengan kesadaran kritis individu terhadap realitas sosial di sekitarnya. 

Individu harus sadar akan kondisi mereka dan belajar untuk melakukan refleksi kritis terhadap struktur sosial yang ada. Dalam pendidikan pembebasan, pendidik tidak hanya bertindak sebagai pemberi pengetahuan, tetapi juga sebagai fasilitator bagi individu untuk mendapatkan pengetahuan melalui pengalaman dan refleksi.

Dalam konteks filsafat pendidikan pembebasan, penting bagi individu untuk menyadari peran mereka sebagai agen perubahan sosial. Pendidikan harus diarahkan untuk membentuk individu yang memiliki keterampilan kritis, empati, dan kepemimpinan, sehingga mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam mempengaruhi sosial dan mencapai perubahan yang lebih adil dan demokratis. Selain itu, pendidikan pembebasan juga mengedepankan inklusi dan kesetaraan. Setiap individu memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas tanpa memandang latar belakang mereka. Oleh karena itu, pendidikan pembebasan harus memastikan bahwa tidak ada individu yang tertinggal dan terabaikan. Setiap individu harus memiliki akses yang sama terhadap kesempatan pendidikan dan layanan pendidikan yang berkualitas.
Melalui pendidikan pembebasan, diharapkan masyarakat dapat berubah menjadi masyarakat yang adil dan inklusif, dimana semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Pendekatan ini berfokus pada transformasi sosial yang melibatkan individu, masyarakat, dan sistem pendidikan secara keseluruhan.

Dalam konteks Pendidikan di Indonesia telah menjadi perhatian utama pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. Banyak program dan kebijakan telah diluncurkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di semua tingkat, termasuk di perguruan tinggi. Tujuan utama adalah memastikan akses yang lebih luas ke pendidikan berkualitas dan peningkatan keterampilan mahasiswa. Di sisi lain, kapitalisasi dalam konteks pendidikan adalah proses komersialisasi pendidikan, di mana institusi pendidikan mencari keuntungan finansial.

Hal ini mencakup peningkatan biaya pendidikan, penghasilan dari penjualan produk pendidikan, dan hubungan dengan lembaga swasta atau korporat dalam mendanai atau mengelola pendidikan.

Perubahan dalam sistem pendidikan dan kapitalisasi di Indonesia berjalan bersamaan. Ada perguruan tinggi yang meningkatkan biaya pendidikan mereka untuk mencapai keberlanjutan finansial dan meningkatkan fasilitas dan program yang ditawarkan. Namun, ada juga upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan organisasi masyarakat sipil untuk menjaga pendidikan tetap terjangkau dan berkualitas.Perguruan tinggi juga mulai menjalin kemitraan dengan sektor swasta untuk mencari sumber pendanaan tambahan, seperti kerja sama dengan perusahaan untuk riset bersama atau sponsor kegiatan di kampus. Tujuannya adalah untuk menjaga kualitas pendidikan dan memberikan kesempatan lebih luas bagi mahasiswa.

Namun, penting untuk diingat bahwa tujuan utama pendidikan harus tetap fokus pada memberikan pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat bagi mahasiswa, bukan hanya pada aspek keuangan semata. Kualitas pendidikan yang baik harus tetap menjadi prioritas utama dalam upaya meningkatkan pendidikan di Indonesia, termasuk di perguruan tinggi.
 
Lahirnya filsafat pendidikan pembebasan didasarkan pada keinginan untuk menciptakan suatu pendidikan yang berfokus pada pembebasan individu dari berbagai bentuk ketidakadilan, penindasan, dan pembatasan. Filsafat ini berkembang sebagai tanggapan ketidakpuasan terhadap pendidikan tradisional yang dianggap terlalu otoriter, membatasi kreativitas individu, dan tidak memperhatikan konteks sosial serta realitas kehidupan sehari-hari individu. kita bisa melacak faktor yang melatar belakangi penting dalam lahirnya filsafat pendidikan pembebasan antara lain:

1. Kajian pemikiran-pemikiran pembebasan: Filsafat pendidikan pembebasan juga dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran pembebasan yang dikembangkan oleh para tokoh seperti Paulo Freire, john Dewey, dll. Pemikiran-pemikiran ini menekankan pentingnya pemahaman kritis, partisipasi aktif, dan tindakan kolektif dalam proses pendidikan untuk menghasilkan perubahan sosial yang lebih adil dan demokratis.

2. Kritik terhadap pendidikan tradisional: Filsafat pendidikan pembebasan lahir sebagai bentuk kritik terhadap pendidikan tradisional yang dianggap hanya sebagai instrumen reproduksi sosial yang mempertahankan ketidakadilan dan ketimpangan. Pendidikan pembebasan ingin mengatasi kondisi tersebut dengan memberikan kebebasan bagi individu untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang mereka anggap relevan dan bermanfaat bagi kehidupan mereka.

3. Biaya pendidikan yang tinggi, Biaya pendidikan tinggi di Indonesia cenderung tinggi dibandingkan dengan pendapatan rata-rata masyarakat. Hal ini menyulitkan bagi mereka yang ingin mengakses pendidikan tinggi, terutama bagi keluarga dengan keterbatasan finansial. Tingginya biaya pendidikan menjadi hambatan signifikan dalam mengaktualisasikan potensi sumber daya manusia di Tanah Air.
 
Berangkat dari asbab di atas ada sebab dan akibat (Kausalitas) yang mula-mula menjadi faktor lahirnya filsafat pendidikan yang berbasis pada pembebasan manusia yang merdeka sebagai individu yang aktif tidak hanya menjadi objek semata maka pentingnya membongkar batas-batas ketertindasan yang berada di tubuh pendidikan. 

Di indonesia kita kenal dengan adanya sistem akademik yang berbasis di perguruan tinggi PTN/PTS akan tetapi berangkat dari individu yang aktif dalam ruang akademik kadang kala kita dibatasi dalam pikiran untuk bertindak sebagai pembebasan yang merdeka. Contoh halnya banyak kasus yang kemudian kita temui di kampus-kampus yang sering kali menimpa mahasiswa/i soal pembatasan lewat akademik. Salah satunya ruang gerak mahasiswa yang di batasi lewat proses belajar mengajar bahkan di luar proses belajar mengajar, padahal universitas adalah tempat peradaban yang membangkitkan asas pengetahuan sebagai basis ilmu yang di asah sebagai kaum intelektual kritis.

Di sini saya coba memakai beberapa pemikiran filsuf yunani seperti Plato. Plato merupakan seorang filsuf Yunani kuno yang memiliki pandangan filsafat pendidikan yang kuat. Salah satu teori pendidikan utama yang dikemukakan oleh Plato adalah "Teori Bentuk" (Theory of Forms). Menurut Plato, dunia yang kita lihat hanya merupakan bayangan atau peniruan dari realitas yang lebih tinggi yang ada dalam "Dunia Bentuk-Bentuk". Ia menyatakan bahwa pendidikan harus mengarahkan individu untuk mengenali dan memahami Bentuk-Bentuk yang ideal.
 
Plato juga membagi masyarakat dalam tiga kelas, para pekerja, para penguasa atau prajurit, dan filsuf. Menurutnya, pendidikan harus menciptakan warga negara yang berpotensi menjadi "penguasa-filsuf". Dalam hal ini, pendidikan harus menjadi proses seleksi dan pembagian tugas yang berdasarkan kemampuan dan kecakapan individu. Plato meyakini bahwa setiap individu memiliki bakat alami dan pendidikan harus mengembangkan bakat-bakat ini melalui pendekatan yang berfokus pada pengenalan Bentuk-Bentuk ideal.
Maka Dalam karyanya yang terkenal yang di sematkan dalam bukunya, "Negara" (The Republic), Plato juga mencetuskan gagasan tentang sistem pendidikan yang terdesentralisasi dan dikelola oleh Negara. Ia mengusulkan bahwa anak-anak harus dipisahkan dari orang tua mereka dan ditempatkan dalam lembaga pendidikan negara yang disebut "Gereja-Bilik" (Gymnasium). Anak-anak akan mendapatkan pendidikan yang konsisten dan sistematis yang akan mengembangkan kemampuan mereka sesuai dengan kecakapan mereka. Selain itu, pendidikan harus mencakup pelatihan fisik dan moral yang ketat, serta pendidikan dalam musik dan matematika.

Dalam pemikiran platonik di atas bahwasanya pendidikan seharusnya mengajarkan pada tiap-tiap individu untuk belajar sesuai dengan kemampuannya masing-masing hingga mencapai masyarakat kelas yang di sebut oleh plato. Lewat hal tersebut plato memperkuat pendapatnya tentang sistem pendidikan yang mana negara harus mengatur sistem pendidikan atau yang disebut sebagai terdesentralisasi, atau biasa yang di istilahkan oleh plato Gereja bilik yang artinya anak-anak atau terdidik mendapatkan kemampuan mereka sesuai dengan kecakapan masing-masing individu.

Tidak hanya plato yang berbicara soal pendidikan tetapi muridnya juga demikian dimana Pandangan Aristoteles tentang pendidikan, Aristoteles adalah murid Plato yang juga memiliki pandangan yang berbeda dalam filsafat pendidikan. Bagi Aristoteles, pendidikan adalah proses pengembangan potensi manusia yang meliputi kecerdasan intelektual, etika, dan fisik. Ia mengemukakan bahwa tujuan utama pendidikan adalah membantu individu mencapai kebahagiaan dan tujuan hidup yang autentik. 

Salah satu teori pendidikan utama Aristoteles adalah teori "Telos". Menurutnya, manusia secara alami memiliki "telos" atau potensi yang unik yang harus dikembangkan melalui pendidikan. Ia meyakini bahwa pendidikan yang baik harus mencakup pengembangan intelektual (teori), etika (praktik moral), dan pendidikan fisik. Aristoteles juga menekankan pentingnya pendidikan yang berorientasi pada kehidupan nyata, di mana pengetahuan teoritis harus diterapkan dalam praktik yang konkrit.

 
Dalam karyanya yang berjudul "Etika Nicomachean" (Nicomachean Ethics), Aristoteles juga menguraikan konsep "Golden Mean". Ia menyatakan bahwa pendidikan yang baik harus mengajarkan seseorang untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara kelebihan dan kekurangan dalam segala hal. Dalam hal ini, pendidikan harus membantu individu mengembangkan kebiasaan dan sikap moral yang baik, sehingga menciptakan intelektual yang tanguh.

Pemikiran dalam filsafat pendidikan telah berkembang sejak zaman kuno, melalui pemikiran para filsuf seperti Plato dan Aristoteles. Namun, salah satu tokoh yang sangat berpengaruh adalah John Dewey. Dewey adalah filsuf dan pendidik Amerika yang dianggap sebagai salah satu pendiri pragmatisme dalam filsafat pendidikan. Ia menekankan pentingnya pendidikan yang berorientasi pada pengalaman praktis, demokratis, dan berdasarkan kebutuhan individual.pembebasan terkait erat dengan filsafat politik dan sosial. Salah satu tokoh yang memberikan kontribusi besar dalam pemikiran ini adalah Paulo Freire. Freire adalah pendidik, filsuf, dan teolog asal Brasil yang dianggap sebagai salah satu pendiri pendidikan pembebasan. Ia memperkenalkan teori pendidikan kritis, yang menekankan pentingnya kesadaran kritis, dialog, dan pembebasan dari penindasan dalam pendidikan.

Pemikiran dasar Dewey tentang pendidikan adalah bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya berfokus pada pengetahuan akademik semata, tetapi juga pada pengembangan individu secara menyeluruh. Ia berpendapat bahwa pendidikan seharusnya melibatkan interaksi yang aktif antara pendidik dan terdidik, serta pengalaman langsung yang relevan dengan kehidupan nyata.

Dewey mengusulkan sebuah pendekatan baru dalam pendidikan yang dikenal sebagai "Pendidikan Progresif". Pendekatan ini menekankan pentingnya pembelajaran kolaboratif, pengalaman langsung, pemecahan masalah, dan pemahaman prinsip-prinsip teori melalui praktek. Ia meyakini bahwa anak-anak belajar dengan cara terlibat secara aktif dalam situasi dunia nyata. Oleh karena itu, ia menganggap penting untuk mengintegrasikan mata pelajaran akademik dengan kehidupan sehari-hari terdidik/siswa.

Menurut Dewey, tujuan utama pendidikan adalah untuk membantu siswa mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang dunia di sekitar mereka, mengembangkan keterampilan berpikir kritis, dan mempersiapkan mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat. Ia percaya bahwa pendidikan harus melibatkan proses pemecahan masalah, di mana siswa diajak untuk berpikir secara kritis, menganalisis situasi, dan mencari solusi yang paling baik.

Teori pendidikan Dewey ini berdampak besar pada pendidikan modern. Pengaruhnya dapat ditemukan dalam pendekatan pembelajaran aktif, kurikulum yang relevan, penekanan pada keterampilan berpikir kritis, dan penekanan pada pengalaman langsung dalam pembelajaran. Banyak guru dan pendidik kontemporer masih mengadopsi dan menerapkan prinsip-prinsip Dewey dalam pendidikan mereka.
 
Paulo Freire adalah seorang filsuf, pendidik, dan teoris pendidikan asal Brasil yang dikenal karena pandangannya tentang pendidikan yang berpusat pada bebas, demokratis, dan pemberdayaan manusia. Pemikiran pendidikan Freire diungkapkan secara komprehensif dalam karyanya yang terkenal, "Pedagogy of the Oppressed" (1968). 

Pendekatan pendidikan Freire didasarkan pada keyakinannya bahwa pendidikan harus menjadi proses pembebasan dan transformasi sosial, terutama bagi masyarakat yang tertindas. Dia berpendapat bahwa pendidikan konvensional terlalu sering menjadi proses yang otoriter, di mana siswa dianggap sebagai objek yang pasif dalam pembelajaran. Sebaliknya, Freire mempromosikan pendidikan yang memperlakukan siswa sebagai subjek aktif yang terlibat dalam proses pembelajaran dan memiliki peran penting dalam menentukan apa yang dipelajari.

Freire menentang pendidikan yang memperlakukan siswa sebagai "tabula rasa" kosong yang harus diisi dengan pengetahuan oleh guru. Dia menekankan pentingnya pendidikan yang berbasis pada pengalaman hidup siswa dan memungkinkan mereka untuk berdialog dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Freire percaya bahwa guru harus bertindak sebagai fasilitator, membantu siswa untuk mengidentifikasi masalah mereka sendiri, menganalisis realitas sosial mereka, dan bekerja menuju perubahan yang lebih baik.
 
Salah satu konsep utama dalam pemikiran pendidikan Freire adalah "pendidikan kesadaran kritis" (critical consciousness). Dia berpendapat bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya mengajarkan siswa untuk memahami dunia mereka secara kritis, tetapi juga mendorong mereka untuk berpartisipasi aktif dalam mengubah dunia yang lebih adil. Freire percaya bahwa pendidikan dapat digunakan sebagai alat untuk melawan ketidakadilan, eksploitasi sosial, dan sistem penindasan yang ada.
 
Pemikiran pendidikan Freire juga menggarisbawahi pentingnya dialog dalam proses pembelajaran. Dia berpendapat bahwa dialog adalah cara yang efektif untuk melibatkan siswa dalam pembelajaran yang berarti. Melalui dialog, siswa dapat berbagi pengalaman, pemahaman, dan ide-ide mereka sendiri, serta menggali pemahaman bersama dalam konteks sosial yang lebih luas.
 
Dalam karya-karyanya, Paul Freire merujuk pada berbagai pemikir dan filsuf pendidikan lainnya. Beberapa referensi penting dalam karyanya "Pedagogy of the Oppressed" antara lain Karl Marx, Antonio Gramsci, Socrates, dan Martin Buber. Dia juga terinspirasi oleh perjuangan gerakan pembebasan di Amerika Latin, terutama Revolusi Kuba dan gerakan sandinista di Nikaragua

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun