Begitu resmi naik kelas enam SD, aku merasa gugup dan selalu dibayang-bayangi rasa takut. Sudah bukan rahasia lagi bahwa perwalian kelas enam, Pak Endang nama beliau, adalah guru killer yang ditakuti seluruh siswa. Beliau berpostur tinggi besar dengan gaya berjalan yang kerap memakai kacamata hitam dan tentu saja tanpa senyum.
Rupanya bukan hanya aku saja yang merasa takut, tetapi seluruh teman sekelas. Saat liburan kenaikan, kami kebanyakan bertukar cerita betapa seriusnya Pak Endang saat mengajar pelajaran Ipa dan tidak segan-segan menghukum anak yang tidak bisa menjawab. Dari cerita kakak kelas kami, beliau memang begitu tegas. Astaga ... bahkan siswa nakal di kelasku saja takut, apalagi aku yang hanya gadis kecil yang gampang terintimidasi.
Singkat cerita, liburan telah usai dan waktunya memulai tahun ajaran baru. Aku dengan seragam merah putih yang rapi dan wangi berkat disiapkan oleh Ibu, berjalan percaya diri dengan beberapa teman. Jarak sekolah cukup dekat sehingga kami anak Gang Melati kerap pergi bersama-sama, mulai dari anak kelas satu sampai kelas enam.
Hari pertama cukup melelahkan sebab upacara bendera yang butuh waktu lebih lama, amanat dari kepala sekolah membutuhkan waktu yang panjang. Meski begitu kami cukup senang setelah upacara berakhir dan kami bisa bertemu serta sedikit bermain dengan teman-teman yang tidak berjumpa selama liburan.
Lalu masuklah Pak Endang ke dalam kelas dan kami semua langsung tertib. Semuanya tampak terintimidasi dan canggung. Tidak ada lagi yang senyum-senyum di bangku masing-masing.
Pak Endang mengucap salam dan kami semua lekas membalasnya. "Baiklah anak-anak, perkenalkan nama saya Endang Kaili dan saya adalah perwalian kalian di kelas enam ini sampai kalian lulus nanti. Kalian sudah tahu, kan, saya orangnya seperti apa?"
Wow ... ucapan yang diakhiri tawa renyah itu terdengar menakutkan. Jelas kami tahu dan untuk itulah kami semua hanya bisa mengangguk dan tersenyum setuju.
Pak Endang tampak menatap seluruh kelas. "Saya dikenal jahat, tapi itu bagi siswa nakal. Saya suka dengan anak yang baik dan mau belajar dengan serius. Kalian ini kelas enam, sudah bukan waktunya main-main, sudah kelas ujian. Ingat nasihat orang tua. Mereka menyekolahkan kalian dengan harapan kalian belajar dan bisa lulus dengan nilai yang baik."
Kami mengangguk patuh. Setelahnya Pak Endang sedikit berbasa-basi sebelum akhirnya keluar kelas sebab sebentar lagi guru Matematika akan datang untuk mengajar di jam pertama pembelajaran.
Begitu Pak Endang pergi, kami sontak ribut, sibuk berbicara dengan teman sebangku terkait ucapan Pak Endang tadi dan bagaimana cara beliau berbicara. Banyak yang tertawa dan saling menakut-nakuti. Sementara itu, aku malah begitu terkesan. Kakak kelasku dulu benar, Pak Endang itu tegas, tapi beliau begitu berwibawa.
Hari-hari di kelas enam berjalan dengan lancar. Setiap masuk kelas guru-guru pasti selalu menasihati kami untuk serius belajar karena ujian nasional bukanlah hal sepele. Meski begitu, masih ada saja anak nakal yang tidak mendengarkan dan bahkan suka bolos.
Suatu hari dua teman kami, Alif dan Koko terlibat masalah dengan penjual es keliling. Mereka memanggil penjual es yang lewat, tapi malah bersembunyi begitu penjualnya datang. Sontak si penjual yang marah bergegas pergi ke arah kelas kami dan langsung saja memukul siswa lain yang bahkan tidak tahu apa-apa.
Jelas itu menghebohkan. Teman kami yang jadi korban itu menangis dan besoknya orang tuanya mengadu di ruang dewan guru. Penjual es telah diinterogasi dan juga sudah meminta maaf karena salah bertindak, begitupun Alif dan Koko. Mereka yang terlibat diundang di ruang dewan guru dan sudah dimediasi. Selanjutnya Alif dan Koko kini berdiri menunduk di depan kelas dengan Pak Endang yang sibuk menatap mereka.
Pak Endang marah-marah. Suara beliau tidak menggelegar, tapi dengan intonasi yang berat serta penekanan pada kata yang penting, jelas bahwa marahnya sudah di level tinggi. Beliau kecewa berat atas kelakuan teman kami itu. "Kalian ini mau jadi apa, huh? Kalian pikir asyik mempermainkan orang tua yang sedang bekerja mencari uang? Kalian tidak memikirkan perasaannya? Selain itu kalian juga membuat teman kalian yang tidak bersalah jadi korbannya."
Menit demi menit berlalu dengan nasihat. Keduanya sibuk menunduk dan hanya berkata 'iya pak guru' padahal itu bukan kenakalan pertama mereka di kelas enam hingga membuat Pak Endang kesal. Lalu Pak Endang tiba-tiba saja mengangkat kemeja depan Alif, menariknya agak ke atas hingga membuat Alif berjinjit dan kepalanya terangkat ke atas.
Tangan Pak Endang yang mencengkeram kuat kemeja Alif yang hari itu mengenakan seragam pramuka, membuat kemejanya yang tipis itu sobek seketika. Kami semua kaget dan dari raut wajahnya, Alif tampak takut.
Tidak lama sesi marah-marah ala Pak Endang itu berakhir dengan ucapan permintaan maaf beliau yang telah salah bertindak. Bahkan meminta maaf atas kemeja yang sobek, kemudian mengantar Alif ke rumahnya dan menjelaskan duduk perkara pada orang tua Alif. Pak Endang juga mengganti kemeja yang sobek itu, meski orang tua Alif berkata tidak apa dan masih ada seragam yang satunya. Jelas bahwa orang tua Alif malu atas perilaku anaknya yang nakal.
Meski menakutkan, ternyata Pak Endang baik dan bertanggung jawab. Aku jadi teringat waktu pelajaran beliau dan hari itu teman sebangku, Yena, sedang sakit sampai kesusahan bergerak, Pak Endang pun segera mengantarnya pulang dan meminta orang tua untuk segera membawa temanku ke puskesmas.
Selain itu ... aku rasanya tidak setuju dengan stigma yang diberikan kakak kelas dulu tentang Pak Endang. Beliau ini baik dan di kelas saat mengajar, penjelasannya tidak bertele-tele bahkan kadang membuat kuis sehingga kami sekelas tertantang untuk belajar. Memang ada hukumannya, yaitu berdiri dari bangku dan hanya boleh duduk jika bisa menjawab di pertanyaan berikutnya, tapi itu jelas memotivasi agar kami belajar sungguh-sungguh.
Aku jadi menyukai pelajaran Ipa dan selalu tidak sabar menunggu jadwal pelajaran itu. Pak Endang guru yang asyik saat menjelaskan. Beliau tidak pilih kasih, tidak pernah bilang bahwa ada anak yang bodoh. Katanya, kami semua hanya punya cara belajar yang berbeda-beda, tapi tetap memotivasi agar kami berusaha belajar dan paham. Terutama dalam tiga mata pelajaran yang akan diujikan dalam ujian nasional, yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, dan Ipa.
Suatu hari, saat kuis, ada pertanyaan yang sulit bagi sekelas. Itu memakan waktu yang lebih lama dan bahkan Pak Endang sampai menaikkan nilai bintang jawaban itu secara berkala hingga mencapai angka fantastis bagi kami. Jika normalnya satu jawaban dapat satu bintang, maka yang ini jawabannya bisa mendapat enam bintang sekaligus dan akan dijamin lulus!
"Mencangkok tanaman adalah proses perkembangbiakan secara ...." Pertanyaan kuis itu berulang kali diucapkan Pak Endang.
Teman-teman yang merupakan jagoan kelas, wajah mereka tampak berusaha keras mengingat istilah tersebut. Sementara aku di tempat dudukku begitu ketar-ketir. Aku tahu jawabannya, tapi terlalu malu untuk mengangkat tangan.
Saat kuis seperti ini, kalau salah jawaban pasti akan menjadi bahan tertawaan dan jadi ejekan oleh anak laki-laki saat kelas berakhir. Seperti Lisa yang pernah menjawab cara berkembang biak sapi adalah dengan bertelur. Jelas itu menjadi identitas barunya.
Namun, kali ini aku yakin jawabanku benar. Aku menatap lagi raut Pak Endang yang sungguh-sungguh berharap kami dapat menjawabnya. Meski takut, dengan nyali satu persen aku akhirnya mengangkat tangan dan menjawab, "Secara vegetatif buatan, Pak Guru."
Pak Endang langsung bertepuk tangan dan akhirnya aku mendapat bintang enam sekaligus jaminan untuk lulus! Betapa bahagianya hatiku. Pak Endang bahkan memujiku. "Bagus Almira, di antara teman-teman, berarti kamu yang paling menyimak pelajaran saya. Ingatan yang bagus. Kamu pasti lulus."
Aku dengan wajah yang merah karena malu begitu senang mendengarnya dan berjanji pada diri sendiri bahwa aku akan rajin belajar.
Di akhir kelas beliau tetap mengingatkan kami untuk terus belajar dan banyak berdoa, menjaga kesehatan, serta fokus pada ujian nasional nanti.
Aku sangat menyukai Pak Endang sebagai perwalian kami dan guru mata pelajaran Ipa. Dulunya kukira masa-masa di kelas enam akan begitu mengerikan dan penuh tekanan, ternyata tidak juga. Sikap Pak Endang yang baik dan cara mengajarnya yang asyik malah membuatku menyukai kelasnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI