Suatu hari dua teman kami, Alif dan Koko terlibat masalah dengan penjual es keliling. Mereka memanggil penjual es yang lewat, tapi malah bersembunyi begitu penjualnya datang. Sontak si penjual yang marah bergegas pergi ke arah kelas kami dan langsung saja memukul siswa lain yang bahkan tidak tahu apa-apa.
Jelas itu menghebohkan. Teman kami yang jadi korban itu menangis dan besoknya orang tuanya mengadu di ruang dewan guru. Penjual es telah diinterogasi dan juga sudah meminta maaf karena salah bertindak, begitupun Alif dan Koko. Mereka yang terlibat diundang di ruang dewan guru dan sudah dimediasi. Selanjutnya Alif dan Koko kini berdiri menunduk di depan kelas dengan Pak Endang yang sibuk menatap mereka.
Pak Endang marah-marah. Suara beliau tidak menggelegar, tapi dengan intonasi yang berat serta penekanan pada kata yang penting, jelas bahwa marahnya sudah di level tinggi. Beliau kecewa berat atas kelakuan teman kami itu. "Kalian ini mau jadi apa, huh? Kalian pikir asyik mempermainkan orang tua yang sedang bekerja mencari uang? Kalian tidak memikirkan perasaannya? Selain itu kalian juga membuat teman kalian yang tidak bersalah jadi korbannya."
Menit demi menit berlalu dengan nasihat. Keduanya sibuk menunduk dan hanya berkata 'iya pak guru' padahal itu bukan kenakalan pertama mereka di kelas enam hingga membuat Pak Endang kesal. Lalu Pak Endang tiba-tiba saja mengangkat kemeja depan Alif, menariknya agak ke atas hingga membuat Alif berjinjit dan kepalanya terangkat ke atas.
Tangan Pak Endang yang mencengkeram kuat kemeja Alif yang hari itu mengenakan seragam pramuka, membuat kemejanya yang tipis itu sobek seketika. Kami semua kaget dan dari raut wajahnya, Alif tampak takut.
Tidak lama sesi marah-marah ala Pak Endang itu berakhir dengan ucapan permintaan maaf beliau yang telah salah bertindak. Bahkan meminta maaf atas kemeja yang sobek, kemudian mengantar Alif ke rumahnya dan menjelaskan duduk perkara pada orang tua Alif. Pak Endang juga mengganti kemeja yang sobek itu, meski orang tua Alif berkata tidak apa dan masih ada seragam yang satunya. Jelas bahwa orang tua Alif malu atas perilaku anaknya yang nakal.
Meski menakutkan, ternyata Pak Endang baik dan bertanggung jawab. Aku jadi teringat waktu pelajaran beliau dan hari itu teman sebangku, Yena, sedang sakit sampai kesusahan bergerak, Pak Endang pun segera mengantarnya pulang dan meminta orang tua untuk segera membawa temanku ke puskesmas.
Selain itu ... aku rasanya tidak setuju dengan stigma yang diberikan kakak kelas dulu tentang Pak Endang. Beliau ini baik dan di kelas saat mengajar, penjelasannya tidak bertele-tele bahkan kadang membuat kuis sehingga kami sekelas tertantang untuk belajar. Memang ada hukumannya, yaitu berdiri dari bangku dan hanya boleh duduk jika bisa menjawab di pertanyaan berikutnya, tapi itu jelas memotivasi agar kami belajar sungguh-sungguh.
Aku jadi menyukai pelajaran Ipa dan selalu tidak sabar menunggu jadwal pelajaran itu. Pak Endang guru yang asyik saat menjelaskan. Beliau tidak pilih kasih, tidak pernah bilang bahwa ada anak yang bodoh. Katanya, kami semua hanya punya cara belajar yang berbeda-beda, tapi tetap memotivasi agar kami berusaha belajar dan paham. Terutama dalam tiga mata pelajaran yang akan diujikan dalam ujian nasional, yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, dan Ipa.
Suatu hari, saat kuis, ada pertanyaan yang sulit bagi sekelas. Itu memakan waktu yang lebih lama dan bahkan Pak Endang sampai menaikkan nilai bintang jawaban itu secara berkala hingga mencapai angka fantastis bagi kami. Jika normalnya satu jawaban dapat satu bintang, maka yang ini jawabannya bisa mendapat enam bintang sekaligus dan akan dijamin lulus!
"Mencangkok tanaman adalah proses perkembangbiakan secara ...." Pertanyaan kuis itu berulang kali diucapkan Pak Endang.