Dengan ragu Wina menerima payung itu. Zidan tersenyum, lesung pipit tampak menyembul di pipinya.
"Kamu nggak punya maksud lain kan?" Wina memicing mata. Takutnya Zidan punya niat jahat dibalik itu.
"Nggak ada. Hanya saja akhir-akhir ini aku mulai menyukai ibukota Austria."
Setelah mengucap itu Zidan langsung pergi. Meninggalkan Wina yang masih mencerna ucapannya. Apa hubungannya memberi payung dengan menyukai ibukota Austria?
Tunggu, seakan tersadar pada satu hal, Wina langsung melotot kaget. Ibukota Austria kan kota Wina! Nama kota yang sama dengan namanya. Berarti maksudnya Zidan mulai menyukainya? Benarkah? Ah, tidak mungkin.
Besoknya ternyata benar-benar hujan. Wina teringat perkataan Zidan, tidak bukan itu. Lebih tepatnya teringat perbincangannya dengan Zidan setelah hujan kemarin.
Tadi di kelas Zidan bersikap biasa saja. Tidak ada hal yang spesial. Seperti tidak pernah ada obrolan setelah hujan di antara mereka berdua. Wina memukul pelan kepalanya. Dia terlalu ge-er. Mungkin saja maksud perkataan Zidan kemarin itu bukan seperti yang dia pikirkan. Bisa jadi dia salah paham.
Hujan bertambah deras. Di tangan Wina ada payung pemberian Zidan. Payung berwarna abu-abu. Bukannya dipakai, benda itu malah menjadi objek yang menyita perhatian Wina.
Sebenarnya dia bisa saja segera pergi dengan payung itu. Menerobos hujan tanpa takut dirinya akan basah kuyup. Namun, hatinya enggan untuk pergi. Berharap setelah hujan dia akan bertemu lagi dengan Zidan. Lalu menanyakan maksudnya kemarin.
Benar saja, setelah hujan Zidan datang lagi. Di tempat yang sama seperti kemarin.
"Kenapa payungnya nggak dipake?" tanya Zidan.