"Eliya minta maaf, Pa. Eliya minta maaf."
Papa menggeleng, masih saja tersenyum dan berkata ini semua bukan salahku. Kecelakaan tidak bisa dihindari dan kita manusia harus bersabar menjalani cobaan.
Aku tak lagi menyahut, air mata terus saja jatuh. Mama yang sedang memegang tangan kanan Papa mencoba tersenyum padaku meski bekas air mata masih menghiasi wajahnya. Aku sedikitnya merasa tenang apalagi berada di dalam pelukan Papa. Syukurlah Papa baik-baik saja. Namun, saat akan dipindahkan ke ruang inap, mendadak Papa sesak napas. Aku dan Mama sudah panik bukan kepalang.
Tim dokter yang menangani berusaha melalukan semua tindakan. Aku berharap bisa mendengar kabar baik setelahnya. Hanya saja ekspetasiku terlalu tinggi. Papa tak dapat diselamatkan. Runtuh sudah duniaku.
***
"Turut berduka cita, ya, Li," kata beberapa teman di koridor sekolah. Aku mengangguk. Setelah tiga hari absen kini aku masuk lagi. Tanpa naik si butut, tak diantar Papa. Pagi yang sangat berbeda.
Air mata jatuh, buru-buru aku mengusapnya. Jangan sekarang.
Beberapa ungkapan duka cita kembali terdengar. Aku mencoba kuat. Jujur lebih baik aku diledek gara-gara naik si butut daripada ditatap menyedihkan dengan kalimat belasungkawa seperti ini.
"Aku cuma ingin si butut yang pergi, tapi kenapa Papa juga ikut pergi?" gumamku membuat rembesan air mata jatuh. Rasanya asin sekaligus pahit saat tertelan.
Aku menoleh pada jam dinding di kelas yang bunyinya terdengar jelas di telinga. Menatapnya lamat-lamat hingga memoar bersama Papa dan si butut mengalun acak dalam kepala. Bisakah waktu berlari mundur?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H