Dalam menjalani keempat peran tersebut di atas, tak jarang perempuan dihadapkan pada situasi-situasi sulit dan harus memilih mana yang harus diprioritaskan terlebih dulu. Ibu tangguh adalah perempuan yang mampu menyeimbangkan keempat perannya sehingga semuanya bisa ditunaikan dengan baik dan tidak menzhalimi salah satunya.
Mari belajar Ummul mukminin Khadijah ra. Sebagai anak, beliau adalah seorang perempuan yang sangat memelihara kekerabatan orang tuanya. Sebagai istri beliau adalah cahaya mata bagi Rasulullah saw. Yang membenarkan beliau di saat yang lain mendustakannya. Yang setia mendampingi di saat yang lain meninggalkannya. Yang mempersembahkan segala miliknya untuk suaminya dan untuk kepentingan dakwah. Yang perhatian pada kaum dhuafa dan para janda. Karenanya Rasulullah saw mengisahkan bahwa semasa hidupnya, Â Malaikat Jibril pernah menyampaikan salam untuknya dari Allahu Robbuna. Maa syaa Allah, benar-benar ibu tangguh. Semoga kita bisa meneladaninya.
2. Tidak kehilangan rasa hormat kepada suami dalam situasi dan kondisi apapun.
Laki-laki ditetapkan Allah sebagai qowwam (pemimpin) atas perempuan, suami adalah qowam bagi istri. Karenanya wajib bagi istri untuk menaruh rasa hormat dan mendudukkan suaminya sebagai sebenar qowam bagi rumah tangganya. Bagi istri yang tidak berkarir dan tidak memiliki penghasilan sendiri, hal ini terlihat mudah untuk dilakukan, apalagi bila suami dipandang cukup dalam memberikan nafkah lahir maupun batin. Namun, apabila suami juga tidak atau kurang  berpenghasilan, hal ini akan terasa sulit bagi sebagian orang.
Laju emansipasi juga menarik kaum perempuan untuk ikut berkarir di luar rumah. Besarnya penghasilan istri yang melebihi penghasilan suami, terkadang  mengikis rasa hormat istri kepada suaminya. Apalagi bila jenjang karir sang istri jauh lebih tinggi melampaui status karir suaminya.Â
Ibu tangguh adalah perempuan yang tidak kehilangan rasa hormatnya kepada suami dalam situasi dan kondisi apapun. Saat suaminya sukses  ataupun terpuruk. Saat karirnya sendiri lebih tinggi daripada suami ataupun lebih rendah. Saat suami berdaya ataupun dalam kondisi lemah dan tidak berdaya.Â
Mari belajar pada Khaulah istri Aus bin Shamit, perempuan yang ucapannya didengar oleh Allah dan diabadikan di awal  QS Al Mujadillah. Suaminya adalah seorang yang miskin dan berperangai kasar serta suka mengeluarkan ucapan li'an (ancaman talak). Namun demikian, demi menjaga rasa hormatnya maka dia mengadukan perihal suaminya kepada Rasulullah saw. Bukan untuk mempermalukan suaminya, namun untuk meluruskan perilaku suaminya. Maka Allah mengabulkan gugatannya dan menurunkan kafarat yang harus dipenuhi sebelum dia halal bercampur kembali dengan istrinya.Â
Qodarullah kafarat yang ditentukan Allah merupakan hal-hal yang tidak mungkin mampu dipenuhi oleh sang suami. Pilihan pertama adalah memerdekakan budak, sedang suaminya tak punya budak seorangpun. Pilihan kedua adalah berpuasa selama dua bulan berturut-turut, sedang suaminya seorang yang tua dan sakit-sakitan. Pilihan ketiga adalah bersedekah kepada enam puluh fakir miskin, sedangkan suaminya sendiri termasuk dalam golongan fakir miskin dan tak berpenghasilan. Maka ketika Rasulullah saw memberikan setandan kurma untuknya, diapun bergegas memberikannya pada sang suami agar dapat bersedekah untuk menebus kafaratnya.Â
Perhatikanlah kisah Khaulah, dialah yang dizhalimi, namun dia pulalah yang membantu suaminya agar dapat bersedekah untuk menebus kafarat atas sikap zhalimnya. Karenanya, Khalifah Umar bin Khathab ra pun mendengarkan masukannya dan urung menetapkan batas mahar yang harus dibayar untuk meminang seorang perempuan. Â Maa syaa Allah.
3. Mampu mengubah tantangan menjadi peluang kebaikan.
Hidup adalah ladang ujian. Ujian kenikmatan dan ujian kesedihan. Anugrah dan musibah. Apabila kehidupan ini adalah sekeping koin, maka kedua sisinya adalah anugrah dan musibah, harapan dan kecemasan, kebaikan dan keburukan. Pada sisi yang mana pandangan kita tertuju, maka begitulah kita mensikapi apapun yang diberikan Allah dalam sepanjang kehidupan.Â