Mohon tunggu...
fatmasari titien
fatmasari titien Mohon Tunggu... Penulis - abadikan jejak kebaikan, jadikan hidup penuh manfaat

ibu profesional, pembelajar dan pegiat sosial.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahagia Menjadi Generasi Sandwich (Bagian 1)

5 Desember 2020   23:21 Diperbarui: 5 Desember 2020   23:25 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Generasi sandwich, kedengarannya enak sih...  Awalnya mungkin akan terbayang dua potong roti  yang tengahnya diisi beragam makanan yang kita suka. Ada telur/daging asap, selada, tomat, keju/mayonaise dengan sedikit olesan mentega dan saus pedas. Hmmm... nyummy. Tapi ... bukan itu yang dimaksud generasi sandwich. 

Istilah generasi sandwich pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy Miller dan Elaine Brody  pada tahun 1981. Generasi sandwich disematkan pada  generasi yang "terjebak" di tengah dan harus menyokong generasi di atas dan di bawahnya yang masih harus bergantung pada bantuan mereka.

Carol Abaya, seorang ahli di isu demografi Amerika Serikat  membagi  generasi sandwich dalam beberapa kategori,  yaitu:

1. Traditional Sandwich Generation: Mereka yang berada di tengah orangtua yang menua dan butuh bantuan dan anak-anak mereka yang masih diasuh dan belum bisa mandiri.

2. Club Sandwich: Mereka yang berumur 40, 50, dan 60-an yang berada di tengah orangtua mereka yang di usia senja, anak-anak yang sudah dewasa, dan cucu mereka. Namun istilah ini juga bisa dipakai untuk orang berusia 20, 30, 40-an yang bertanggungjawab untuk anak-anak mereka, orangtua, dan kakek-nenek mereka. Intinya istilah ini dipakai bila lapisan generasi yang terlibat lebih bertingkat.

3. Open-faced Sandwich: Siapapun yang ikut terlibat dalam mengurus orang lanjut usia

Sandwich akan terasa enak  ketika isiannya bisa dinikmati bersama dengan roti bagian bawah dan roti bagian atas secara bersamaan. Tentu saja, tanpa isian sandwich, roti tawar akan tetap berasa tawar bukan? 

Demikian juga halnya dengan generasi sandwich itu sendiri. Dikatakan generasi sandwich yang berhasil apabila kesuksesannya dapat dinikmati orang tua dan anak-anaknya sekaligus. 

Di Indonesia sendiri, generasi sandwich merupakan hal yang lumrah terjadi karena beberapa faktor, di antaranya:

1. Hubungan kekeluargaan.

Meski sejak 2010 terjadi perubahan demografi dari konsep keluarga besar (extended family) menuju keluarga batih (nuclear family). Bila di era 70-an seringkali didapati sebuah rumah dihuni oleh beberapa keluarga sekaligus. Anak-anak yang sudah menikah terkadang tetap tinggal bersama orang tua mereka, mungkin bukan hanya satu anak, tapi bisa beberapa anak sekaligus. 

Masalah tempat tidak menjadi soal, karena rerata rumah-rumah jaman dulu cukup luas baik tanahnya maupun bangunannya. Meski kemudian disekat-sekat, ukurannya masih cukup memadai untuk sebuah keluarga. 

Beda lagi dengan jaman sekarang. Anak-anak yang sudah menikah enggan tinggal bersama orang tua dan memilih tinggal di rumah sendiri meskipun ngontrak. Di antara alasan mereka adalah:

a.  ingin mencoba hidup mandiri, tidak mau terus bergantung dengan orang tua, tidak mau terlalu banyak merepotkan orang tua 

b.  tidak mau hidup serumah dengan ipar dan orang tua, tidak mau direpoti dan menanggung beban keduanya

c.  tidak mau terlalu direpotkan dengan pekerjaan rumah. Kalau di rumah orang tua yang luas, rasanya enggak enak kalau enggak ikut bersih-bersih, ataupun menyelesaikan pekerjaan dapur. Kalau tinggal di rumah sendiri bisa memilih rumah yang lebih kecil sehingga untuk membersihkannya juga lebih mudah. Kalau di rumah sendiri, mau masak atau beli jadi gak akan jadi masalah.

d.  menolak campur tangan orang tua dalam urusan rumah tangga dan pengasuhan anak-anak

Namun demikian,  sebagian besar masyarakat Indonesia masih menghargai adanya hubungan kekeluargaan. Hubungan orang tua dan anak tidak putus begitu saja setelah si anak menikah.

Mereka menganggap  keluarga yang sebenarnya tidak hanya sekedar sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak saja. Mereka menganggap bahwa ketika pernikahan terjadi, maka terjadi pula penyatuan dua keluarga sehingga ruang lingkup keluarga menjadi lebih luas lagi. 

Begitu pun ketika anak-anak lahir, anggota keluarga pun bertambah dan mengalami perubahan status. Akan ada yang dipanggil kakek dan nenek, akan ada yang dipanggil cucu atau mungkin cicit.

Di jaman sekarang pun, masih dijumpai beberapa keluarga  yang tinggal  bersama orang tua mereka meskipun sudah memiliki anak-anak sendiri. Beberapa keluarga yang lain memang sudah hidup terpisah dari orang tua maupun mertua dan menempati rumah  sendiri. Namun, mereka juga masih ikut menanggung beban untuk menghidupi orang tuanya (atau mertua) terlepas dari ada atau tidaknya warisan.

2. Kurangnya perencanaan finansial.

Dulu, tugas mencari nafkah mutlak berada di pundak suami, para istri fokus dalam urusan pengasuhan anak-anak dan pekerjaan rumah tangga.         Di era sekarang, sudah jamak bila suami dan istri sama-sama bekerja. Ketika anak-anak lahir, maka mereka perlu pengasuh. Ada beberapa pilihan yang bisa diambil:

a.  istri berhenti bekerja, fokus mengasuh anak dan mengurus pekerjaan rumah tangga  

b.  istri tetap bekerja tapi harus mempekerjakan orang lain untuk mengasuh anaknya dan mengurus pekerjaan rumah tangga

c.  istri bekerja paruh waktu agar tetap bisa mengasuh anak dan mengurus pekerjaan rumah tangga.

Pada keluarga dengan finansial cukup atau berlebih, mempekerjakan orang adalah hal yang mudan dan tidak akan menguras harta mereka. Namun pada keluarga dengan finansial pas-pasan, mempekerjakan orang bukanlah pilihan yang bisa dengan mudah mereka ambil.

Pada keluarga yang masih hidup bersama orang tua atau mertua, biasanya sang nenek/kakek justru menyediakan diri untuk mengasuh cucunya demi untuk menekan pengeluaran sang anak dan menantu. Sebagian keluarga lain memang mendatangkan orang tua atau mertuanya untuk tinggal bersama dengan syarat mau membantu pekerjaan rumah dan mengasuh anak-anak mereka, agar mereka tak perlu mempekerjakan orang lain. 

Sebagian keluarga yang lain terpaksa hidup menumpang orang tua (mertua) karena belum mampu membeli (mengontrak) rumah sendiri. Maka ketika orang tua sudah tidak berpenghasilan, mau tidak mau mereka pun harus ikut mencukupi kebutuhan orang tua. Sudah numpang, masak enggak mau ikut menanggung beban... tega banget itu namanya.

3. Tuntutan norma sosial

Dalam budaya Jawa, seorang anak diharapkan bisa 'mikul dhuwur mendem jero' terhadap orang tuanya. Maksudnya, apapun yang terjadi, seorang anak hendaknya selalu memuliakan orang tua dan menutup kekurangan dan aib mereka. Salah satu bentuk pembuktian perilaku ini adalah dengan merawat dan mencukupi kebutuhan orang tua ketika mereka sudah tidak berdaya dan tidak berpenghasilan. 

Selaras dengan itu,  agama juga mengajarkan untuk selalu berusaha memuliakan orang tua dan mencari ridhonya. Lagi pula orang tua sudah cukup berpayah-payah dalam membesarkan dan membekali anak-anaknya sampai dewasa. Kesuksesan anak tidak datang dengan sendirinya tanpa andil orang tua. 

Maka ketika orang tua sudah tidak berdaya, tugas anak untuk membalas budi, merawat, mengasihi dan mencukupi kebutuhannya di masa tua. Pun di sepanjang kehidupan, anak tetap membutuhkan doa dan restu orang tua dalam segala hal. Bahkan meski seisi dunia dipersembahkan untuk orang tua, tak juga dapat mengganti besarnya pengorbanan mereka ketika mengasuh kita.

Melihat gambaran tersebut di atas, sebenarnya menjadi generasi sandwich merupakan perpaduan antara beban dan kebutuhan. Bahagia atau tidaknya generasi sandwich, semua tergantung pada penerimaan pribadi mereka masing-masing. Bila dianggap sebagai beban memang akan terasa memberatkan. Namanya saja beban, tentu saja ada beratnya. 

Ilustrasinya begini,  merawat dan mendidik anak-anak saja sudah menguras tenaga, waktu, pikiran dan materi. Kebutuhan makan minumnya, sekolahnya, belum kalau sakit, dsb,  apalagi ditambah dengan orang tua .  

Apalagi bila orang tua mengalami sesuatu yang membuatnya kehilangan disabilitas anggota geraknya. Apalagi apabila orang tua sudah memasuki masa lansia, di mana mulai muncul kerewelan-kerewelan dan kemunduran proses berpikir dan daya indra. 

Maka ada kisah seorang anak atau menantu yang membentak orang tuanya ketika berkali-kali menjatuhkan piring dan gelas karena tangan mereka selalu gemetar saat memegang sesuatu. 

Maka ada kisah seorang anak atau menantu yang memarahi orang tuanya ketika mereka kesulitan menahan buang air.  Maka ada kisah seorang anak yang mengurung orang tuanya di gudang atau kamar sempit agar mereka tak mengotori lantai rumah dengan air seni maupun kotorannya. 

Sebagian orang menganggap merawat dan mengasuh anak-anak adalah kewajiban orang tua yang tak bisa digantikan. Dan menganggap  merawat dan mengasuh orang tua bukan kewajiban satu anak saja, tetapi harus ditanggung dan dibagi rata bersama saudaranya yang lain (kecuali bagi anak tunggal). 

Karenanya, sebagian orang lebih mengutamakan anak-anak mereka dan abai dengan orang tua mereka. Sebagian lagi lebih memilih mempekerjakan orang untuk melayani orang tua yang sudah tak berdaya, atau mengirim orang tua mereka ke panti-panti jompo.

 Apakah mereka bahagia? wallahu a'lam. Yang jelas itu mencerminkan tidak adanya penghargaan mereka atas pengorbanan yang sudah dilakukan orang tuanya dahulu. Dan, bisa jadi perbuatan mereka dilihat dan ditiru oleh anak-anak mereka kelak. 

Beda lagi dengan generasi sandwich yang menganggap bahwa orang tua dan anak adalah sarana mereka untuk meraih kesuksesan di dunia dan akhirat. Generasi ini akan selalu mengingat betapa besarnya pengorbanan ayah-bundanya dahulu.

Kemudian akan berusaha sebaik mungkin merawat dan memperlakukannya, berusaha membahagiakannya dan selalu meminta doa restunya. Karena mereka berharap ridho Allah turun tersebab keridhoan orang tuanya. Dan bila Allah ridho, maka Dia  akan menurunkan keberkahan dan rahmat-Nya yang tentu jauh lebih berharga daripada harta yang dimiliki.

Generasi ini juga akan mempersiapkan anak-anaknya dengan cinta dan kasih sayang. Mengajarkan kepada mereka cara menyayangi yang muda dan menghormati yang tua. Memenuhi kebutuhannya dan membekali mereka dengan ilmu yang bermanfaat. Karena mereka berharap kelak doa anak-anaknya dapat menyelamatkan mereka dari azab Allah dan mengantarkan mereka ke dalam surga-Nya. Hal ini pun tentu jauh lebih berharga daripada semua jenis harta di dunia.

Maka ada pula kisah generasi sandwich yang terlihat sangat harmonis dan bahagia. Meski terkadang ada saja perilaku anak-anak maupun orang tua yang dirasa sangat menjengkelkan, selalu ada permakluman dan maaf dan senyum bahagia di setiap episodenya. Penulis jadi teringat film Chibi Maruko Chan, seorang gadis kecil yang tinggal bersama kakak perempuan, ayah, ibu beserta kakek dan neneknya. Keluarga mereka acapkali menampilkan keseruan dan kekonyolan yang bisa saja terjadi pada potret generasi sandwich. Namun di setiap episodenya selalu berakhir dengan senyum bahagia. 

Jadi, bahagia menjadi generasi sandwich? Mengapa tidak. 

Bersambung...

#Demak,05122020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun