**
"LAMBAT-LAMBAT KALIAN!!! CEPAT JALAN SAMBIL YEL-YEL. MACAM KEONG PULAK JALAN KALIAN!!!"
Kami pun mempercepat jalan kami. Sengatan terik matahari membakar kulit wajah. Butiran keringat sudah membasahi sekujur tubuh.
Ya Tuhan, kapan penderitaan ini selesai?
Sudah cukup beberapa hari ini dipenuhi dengan panas-panasan, mandi keringat, mandi lumpur, lari marathon... Ahh aku lelah sekali, ingin pulang rasanya. Ditambah dengan hukuman-hukuman kecil yang membuat nafas ngos-ngosan seperti push up, sit up, maupun lari keliling lapangan! Dan sekarang kami sedang mendaki Bukit Piayu menuju tempat 'pembantaian' lainnya ditemani tas berisi pasir dan sepatu PDL hitam yang berat.
"Kak, kalau gak kuat mending minta di antar Pelatih pakai motor. Muka kakak udah pucat loh." Kata Agung, cowok yang barisannya tepat disebelah kananku.
"Hmm... punya minyak kayu putih gak?"
"Pelatih Didi punya tuh kak. Minta aja. Pelatih ada di barisan paling belakang." Lalu ada dua tangan yang memegang bahuku kemudian menggeser tubuhku kekiri, orang itu adalah Wuri.
"Kamu ke belakang aja, kami gak kuat kalo harus angkat kamu pingsan." Diikuti dengan gerakan yang artinya mengusir, husssh hussshhh...
Duh... gerutuku dalam hati. Aku hanya berdiam di tempatku saat ini, menunggu barisan pejalan kaki ini lewat, karena aku perlu bertemu orang yang beris paling belakang.
Dan orang yang dimaksud akhirnya terlihat batang hidungnya.