Dan lagi pembaca menjadi gemas karena tidak adanya komunikasi yang baik antara Alina dan Gus Birru.Â
Terlalu Sedikit Scene Romantis
Bagi pembaca penggemar fiksi romantis saya sarankan untuk menurunkan ekspektasi terhadap novel ini. Novel yang memiliki tema klise berupa cinta dunia pesantren ini lebih fokus terhadap dunia jawa dan pesantren. Romance hanya disuguhkan sedikit, bahkan lebih condong ke cerita pilu. Namun, bagi pecinta budaya dan sejarah jawa novel ini sangat recomended.Â
Tidak Cocok dengan Pejuang Feminis.Â
Bagi pejuang feminisme novel ini berlaku sebaliknya. Sifat tawadhu' ala pesantren dan filosofi mikul duwur mendem jero bagi seorang istri seakan memberikan kekangan yang berat. Namun, begitulah adanya dalam islam sendiri kedudukan laki-laki berada diatas perempuan. Dan dalam berubah tangga haruslah menyembunyikan aib pasangan masing-masing. Sebagai novel yang ditulis dengan tokoh perempuan dan penulis perempuan. Novel ini tidak serta merta menjadikan tokoh wanitanya menjadi punya banyak kuasa.
Namun, jujur secara pribadi saya gemas dengan sikap Alina dan ingin pasangan itu memiliki komunikasi yang baik.Â
Istilah Bahasa Jawa yang Membuat Pembaca Kesulitan.
Penempatan bahasa jawa di beberapa kalimat memperjelas latar novel ini. Namun, dengan adanya bahasa asing itu menyulitkan bagi pembaca, apalagi glosarium terletak di belakang dengan urutan alfabetis. Sehingga sebagian pembaca akan malas menghentikan bacaan dan mencari artinya dan akan terus membaca tanpa memperdulikan makna dari kata-kata tersebut.Â
Bahkan bagi saya yang orang jawa, tapi nggak njawani itu benar-benar membuat badmood.Â
Ending yang Terlalu Dipaksakan.
Perubahan sikap Gus Birru begitu tiba-tiba. Bahkan terkesan tidak alami. Seperti dia menerima Alina karena Ratna Rengganis pergi. Bahkan resolusi yang ada terkesan terburu-buru. Sehingga, ada ketimpangan dari penderitaan yang panjang itu dengan penyelesaian yang ada.Â