Pengertian Perkawinan berasal dari kata "Kawin" yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan ini mengandung arti perihal (urusan dan sebagainya) kawin, pernikahan, pertemuan hewan jantan dan betina secara seksual.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang ada dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.Â
Dan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1, perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual, namun menurut arti majazi (mathaporic) atau arti hukum, nikah ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita.
Dengan melaksanakan perkawinan berarti seorang umat islam adalah menjalankan syariat agama yang mana dengan melalui akad suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan menjadi halal untuk saling bersentuhan hingga melakukan hubungan badan.
Akan tetapi hal yang terjadi pada masa kini adalah seorang laki-laki dan perempuan melakukan hubungan badan barulah setelah sang perempuan hamil melakukan perkawinan dengan melalui akad (ikrar menikah). Hal yang terjadi ini berasal dari sepasang laki-laki dan perempuan yang melakukan sesuatu tanpa memikirkan dampak kedepannya bukan hanya tentang diri mereka sendiri namun juga tentang status dari sang anak yang hadir hasil perzinaan.Â
Padahal anak hasil perzinaan selain statusnya dipertanyakan masyarakat dan dalam akta lahir sang anak hanya dapat disebut sebagai anak ibu tanpa bapak jika orang tuanya menikah saat umur kandungan lebih dari enam bulan, juga hal ini menyebabkan sang anak tidak bisa mendapat bagian warisan dari sang ayah.
1. Mengapa Pernikahan Wanita Hamil Terjadi dalam Masyarakat?
Pernikahan Wanita Hamil Diluar Nikah adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang wanita yang sedang hamil diluar nikah. Di zama modern sekarang pernikahan wanita hamil diluar nikah sering terjadi pada remaja putri.Â
Karena banyaknya remaja yang mencoba untuk melakukan sebuah hubungan seksual bersama pasangannya diluar pernikahan, sehingga dapat menyebabkan kehamilan diluar nikah. seorang wanita yang hamil diluar nikah maka akan merasa malu dan orang tua nya pun juga akan merasa malu sehingga orang tua berkeinginan untuk menikahkan seorang anak perempuannya itu.
 Adapun tujuan orang tua untuk melakukan perkawinan ini adalah:
a. Guna menyembunyikan aib dari apa yang terjadi pada anak
b. Meminta pertanggung jawaban dari laki-laki yang telah mengamili anaknya
c. Untuk menyelamatkan status calon cucu yang sedang di kandung agar tidak diliputi rasa malu
2. Apa yang menjadi penyebab terjadi pernikahan wanita hamil?
Hamil sebelum nikah menjadi hal yang rahasia dan sangat ditutupi. Biasanya alasan tersebut berkaitan dengan norma atau moral yang ada di masyarakat. Dari hal tersebut sangat penting bagi orang tua untuk mengawasi anak-anaknya agar tidak terjerumus kedalam kehamilan sebelum nikah. Kehamilan seperti itu bisa terjadi karena beberapa faktor yaitu:
a. Masalah keluarga
Contoh masalah keluarga yang mungkin terjadi, adalah keluarga yang tidak lengkap (orangtua meninggal, bercerai, atau berpisah)
b. Kurangnya pemberian pengetahuan pendidikan agama Islam dari orangtua kepada anak-anaknya.
Kurangnya perhatian orangtua, terutama dari seorang bapak kepada anak wanitanya sehinggamereka mencari lelaki lain (pacar) yang bisa menyayangi mereka yang bisa menyebabkan mereka terjerumus pada prilaku seks bebas.Â
c. Tidak berkegiatan
Orang yang tidak terlibat dalam kegiatan produktif lebih banyak mengalami hamil di luar nikah daripada yang produktif. Mereka bahkan memiliki risiko dua kali lebih banyak untuk mengalami kehamilan yang tidak diinginkan.
d. Kurangnya pemahaman/pendidikan tentang seks
e. Rasa sayang, cinta, dan suka sama suka kepada pasangan satu sama lainÂ
f. Adanya kesempatan untuk melakukan hubungan seksual
3. Bagaimana argumen pandangan para ulama tentang Perkawinan pada wanita hamil?
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai perkawinan pada wanita hamil ini diatur pada BAB VIII tentang Kawin Hamil pada Pasal 53 sebagai berikut:Â
(1) Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak perlu dilakukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya itu lahir.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak ada pembahasan tentang kawin hamil namun hanya dibahas tentang kedudukan anak yaitu pada Pasal 43 yang berbunyi:
(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunya hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah
Adapun pandangan para imam madzab sebagai berikut:
a. Pandangan Imam Syafii Tentang Hamil di luar Nikah.
Imam Syafii telah berpendapat ia telah mengemukakan bahwa, beliau memakruhkan menikahi wanita hamil di luar nikah tersebut, tetapi jika tetap menikahinya maka Imam Syafii tidak menganggap batal pernikahan mereka. Mengenai alasan (illah) Imam Syafii memakruhkan hal itu untuk keluar dari perbedaan pendapat. Karena ada sebagian orang yang tidak membolehkan laki-laki itu menikahinya.Â
Imam Syafii berpendapat bahwa hukum perkawinan akibat hamil di luar nikah adalah sah, perkawinan boleh dilangsungkan ketika wanita sedang dalam keadaan hamil. Baik perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya atau laki-laki yang bukan menghamilimya Mazhab Syafii berpendapat bahwa zina itu tidak menetapkan keharamnya dalam mushaharah (menjalin hubungan pernikahan) sehingga dibolehkan bagi seorang yang berbuat zina menikahi ibu dari wanita yang dizinahinya. Mengenai hadits atau dalil misalnya hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Ia bercerita Rasulullah Saw bersabda yang artinya "seorang pezina yang telah dicambuk tidak boleh menikah kecuali dengan wanita yang semisalnya (pezina juga).Â
Dalam kitab fathul baari bahwa para perawi hadits ini tsiqah. Wanita pezina (pelacur) boleh di nikahi demikian menurut Imam Hanaf dan Imam Syafii, orang yang berzina dengan seorang perempuan tidak haram menikahi perempuan tersebut, begitu pula menikahi ibu dan anaknya. Demikianlah, pendapat Imam Syafii.Â
Apabila seorang berzina, maka suaminya boleh langsung mencampurinya tanpa 'iddah, tetapi apabila ia hamil maka hukumnya makruh menyetubuhinya hingga ia melahirkan. Demikian menurut Imam Hanafi dan Imam Syafii.
Imam Syafii dan Imam Maliki berpendapat bahwa seorang laki-laki boleh menikahi anak perempuannya dari hasil zina, saudara perempuan, cucu perempuan, baik dari anaknya yang laki-laki maupun yang perempuan sebab wanita-wanita itu secara syar'i adalah orang-orang yang bukan muhrim, dan diantara mereka berdua itu tidak bisa saling mewarisi.Â
Sedangkan seseorang yang telah berzina dengan seorang budaknya boleh menikahinya dan terus menyetubuhinya. Demikian menurut pendapat Imam Syafi'i.
Argumentasi Imam Syafii yang membolehkan perkawinan ini karena wanita yang menikah karena zina ini bukanlah termasuk wanita yang haram dinikahi sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Quran mengenai masalah iddah, Imam Syafii berpendapat bahwa wanita yang hamil di luar nikah tidaklah memiliki 'iddah.Â
Hal ini dikarenakan tujuan iddah adalah untuk menghormati sperma atau janin yang terdapat pada wanita yang disalurkan melalui hubungan sah.
b. Pandangan Imam Ahmad bin Hambal Tentang Hamil di luar Nikah.
Imam Hanafi dan Imam Hambali mengatakan bahwa perempuan zina tidak boleh menikah karena haram bagi anak perempuan yang sah. Karena anak ini adalah darah dagingnya sendiri.
Adapun bahasa dan tradisi masyarakat, yang disebut urf, adalah anak sendiri. Jika ia tidak memenuhi syarat syar'i untuk kepentingan hukum waris, bukan berarti ia sebenarnya bukan anak kandungnya, melainkan hanya mengingkari akibat syar'i, seperti pewarisan dan pemberian sumber penghasilan. .
Imam Hanafi dan Imam Hambali berpandangan atau berpendirian bahwa zina dapat mengakibatkan larangan mushaharah, oleh karena itu seorang laki-laki harus menikahi putri dan ibu dari wanita yang berzina dengannya.Sedangkan wanita itu sendiri juga boleh menikah secara tidak sah dengan ayah dan anak laki-laki dari laki-laki yang telah berzinah dengannya.
Kedua aliran pemikiran ini tidak membedakan antara zina sebelum dan sesudah menikah. Jika seorang laki-laki berzina dengan ibu mertuanya atau seorang anak berzinah dengan istri bapaknya (ibu mertua), maka istrinya menjadi tidak sah bagi suaminya untuk selama-lamanya.
Dalam kitab Multaqial Anhar, yang ditulis oleh ulama Hanafi, dikatakan bahwa ketika seorang laki-laki membangunkan istrinya untuk dicampuri, tetapi sebagian tangannya menyentuh tubuh menantu perempuannya, dia membelainya dengan penuh gairah, dan memang putrinya mengundang syahwat juga syahwat, karena ia mengira wanita yang bersamanya adalah istrinya, lalu istrinya menjadi najis baginya untuk selama-lamanya.
Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat bahwa dengan mengatakan "dia tidak boleh menikahi wanita ini" para pengikut Abu Hanifah berbeda pendapat tentang mengapa pernikahan dilarang. Menurut kelompok pertama, seorang pria melarang menikahi seorang wanita karena dia adalah putri dari seorang wanita yang telah melakukan perzinahan dengannya, dan bukan karena dia adalah putri dari perzinahan. Menurutnya diharamkan karena zina seperti yang telah dijelaskan sehingga ia tidak diharamkan menikahkan ayah dan anaknya.
Sedangkan orang-orang terakhir dari penganut mazhab ini mengemukakan bahwa, "diharamkan menikahi anak perempuan itu karena ia diciptakan dari air maninya.Â
Berdasarkan hal tersebut ia haram dinikahi olah ayah dan anak laki-laki dari laki-laki yang berzina itu". Dan inilah pendapat yang paling shahih menurut pendapat mereka.Â
Imam Malik memakruhkan kita untuk menikahi wanita pezina. Sedangkan kata Imam Ahmad "tidak boleh dinikahi wanita wanita yang telah dizina, kecuali dengan dua syarat yaitu :Â
1) Istibra' (selesai bersalin kalau hamil dan dengan tiga kali haid, kalau tidak hamil,Â
2) Telah bertaubat dari zina.
4. Bagaimana tinjauan secara sosiologi, religious, dan yuridis perkawinan pada wanita hamil?
a. Tinjauan Sosiologis
Dari perspektif tinjauan sosiologis,sangat tidak dianjurkan pernikahan wanita hamil,dikarenakan menikah itu memiliki proses yang panjang sebelum menjadi suami dan istri.Pernikahan didasarkan atau dibangun dengan cinta dan komitmen yang kuat. Pernikahan wanita hamil dianggap sebagai tindakan yang kurang terpuji karena dianggap telah melanggar norma norma sosial yang berlaku.Wanita hamil sering kali mendapat stigma sosial dan diskriminasi yang kuat dari masyarakat sekitarnya. Namun cara ini juga dianggap sebagai salah satu solusi untuk menghindari rasa malu atau stigma sosial yang akan dialami oleh wanita tersebut. Dalam beberapa kasus,pernikahan wanita hamil juga dianggap sebagi cara untuk memperkuat ikatan keluarga dan membantu menjaga kesejahteraan anak yang akan lahir.
b. Tinjauan Religius
Dalam perspektif religius pernikahan wanita hamil tidak dianjurkan.Namun dibeberapa agama pernikahan wanita hamil merupakan salah satu cara atau solusi yang diperbolehkan untuk menghindari dosa zina dan kehormatan keluarga. Di agama Nasrani pernikahan wanita hamil dianggap kurang teapat dikarenakan dianggap mempercepat proses pernikahan yang seharusnya dibangun atas dasar cinta dan komitmen yang kuat. Didalam agama islam pernikahan tersebut tetaplah sah dan diperbolehkan selama syarat dan rukun nikahnya sudah terpenuhi
c. Tinjauan Yuridis
Dalam tinjauan yuridis,pernikahan ini dianggap sah dan diperbolehkan karena tidak melanggar hukum yang berlaku. Namun ada beberapa kasusu pernikahan wanita hamil dapat dilakukan dikarenakan adanya paksaan atau penipuan yang kemudian dapat dianggap sebagai tindakan kekerasan. Kemudian harus menimbangkan aspek-aspek hukum lainnya terkait pernikahan dan hak-hak keluarga yang terkait dengan pernikahan tersebut seperti halnya aspek waris,aspek perlindungan hak anak dan perempuan
5. Apa yang seharusnya dilakukan oleh generasi muda atau pasangan muda dalam membangun keluarga yang sesuai dengan regulasi dan hukum islam?
a. Saling mencintai dengan nama Allah SWTÂ
Perasaan cinta pasangan tidak boleh dilakukan untuk harta fisik atau materi. Perasaan cinta itu harus tumbuh dalam cinta kepada Allah SWT.Â
Cinta kepada Allah adalah cinta yang didasari oleh ketaatan kepada Allah SWT. Cinta yang dilandasi ibadah yang tulus, maka kebahagiaan bisa sampai ke dunia dan akhirat.Â
b. Mensyukuri segala pemberian Allah SWTÂ
Setiap rumah tangga mendapat rezeki dari Allah SWT. Kebahagiaan itu bukan hanya berupa uang atau harta benda melainkan apapun yang Allah SWT sediakan. Padahal, sakit dan kekurangan uang juga merupakan bentuk penghidupan.Â
Karena Allah SWT tidak ingin hamba-Nya lalai dengan harta yang melimpah. Mengetahui sakitnya dunia juga mengampuni kita atas dosa-dosa yang telah kita lakukan. Dari sini kita bisa melihat bahwa setiap kebahagiaan dan kesulitan memiliki hikmah tersendiri bagi rumah tangga.Â
c. Komunikasi yang teraturÂ
Kunci rumah tangga yang harmonis adalah suami dan anggota keluarga lainnya dapat berkomunikasi dengan baik. Perlu dicatat bahwa 70% aktivitas rumah tangga pasangan adalah berbicara satu sama lain.Â
Anda dan pasangan dapat berkomunikasi untuk membahas apapun, baik itu hubungan, pekerjaan, teman, liburan atau apapun. Oleh karena itu, komunikasi sangat penting agar rumah tangga menjadi sakinah. Sadar akan tugas dan tanggung jawabnyaÂ
Setiap anggota keluarga harus memiliki peran dan tanggung jawabnya masing-masing. Jika memungkinkan, pria dan wanita melakukan tugas dan tanggung jawab yang seimbang. Suami tidak hanya harus bekerja di luar, tetapi juga membantu pekerjaan rumah tangga agar istri tidak tenggelam.Â
Sebagai seorang istri, ia harus menyadari tanggung jawabnya sebagai seorang suami, sehingga ia selalu mengurus kebutuhan suaminya sebelum bekerja. Seorang wanita juga bisa bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri, tentunya dengan kesenangan sang pria.Â
d. Saling percaya dan pengendalian egoÂ
Orang yang menikah bukan lagi anak-anak, jadi egonya harus dikendalikan. Laki-laki dan perempuan harus bisa berpikir dengan kepala dingin ketika menghadapi konflik. Komunikasi masih cara yang paling penting untuk memecahkan masalah.Â
Selanjutnya, pria dan wanita harus saling percaya dan meminimalkan kecurigaan satu sama lain. Dengan begitu, rumah tangga bisa tenang dan jauh dari kesalahpahaman yang membayangi hubungan.
Kelompok 3:
Muhammad Afrizal Asy'ari (212121113)
Adib Nusantara (212121119)
Fatimah(212121122)
Revi Fanita (212121135)
Rahma Lia Kusnul Khotimah (212121146)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H