Pada awal sebelum penerapan otonomi daerah, diterapkan pola kepemimpinan yang sentralistik dimana semua hal diatur oleh pusat. Hal ini belum tentu sesuai dengan keinginan rakyat, dan sering sekali terjadi benturan antara masyarakat dan pemerintah. Banyak pandangan yang akhirnya melahirkan kebijakan otonomi daerah ini. Otonomi daerah memberi peluang kepada setiap daerah untuk mengurus keinginan dan tujuannya sendiri. Perempuan harus mengaambil peran dalam hal ini karena di berbagai daerah potensi dan kreativitas perempuan belum sepenuhnya diberdayakan.
Islam dan Seksualitas Perempuan
Perkawinan atau pernikahan merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Fungsi perkawinan disebutkan untuk menciptakann ketentraman dan kedamaian dengan ikrar atas nama Tuhan. Namun, dalam penafsirannya perempuan cenderung ditempatkan pada ranah domestik seperti mengurus anak, suami, dan rumah tangga. Perempuan memiliki peran terbatas sebagai ibu dan istri. Tidak sebagai manusia yang memiliki hak kebebasan atas dirinya sendiri. Selain itu, perkawinan juga berfungsi sebagai penerus keturunan. Keturunan ini juga berperan penting dalam melestarikan ajaran agama dari generasi ke generasi.
Perkawinan atau pernikahan juga berfungsi untuk menghindari zina. Semua agama mengecam dan mengganggap zina sebagai tindakan yang tidak bermoral. Dalam Islam zina dianggap sebagai perbuatan yang keji dan jalan yang terburuk. Sanksi sosial yang berlaku di Indonesia bagi pelaku zina adalah dipermalukan, dihukum secara fisik, memperoleh stigma yang buruk bahkan sampai di cap sebagai orang yang tidak bermoral di masyarakat. Â Posisi perempuan dalam hukum keluarga dalam Islam hanya menjadi sebuah objek dan tidak dipandang sebagai subjek yang dapat mengatur dirinya sendiri. Perumusan hukum yang dibentuk oleh para pemimpin mazhab cenderung mengekalkan kekuasaan kaum laki-laki ketimbang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Seharusnya perempuan memiliki kebebasan untuk menentukan berbagai pilihan di hidupnya. Ia memiliki memerdekaan atas tubuhnya dan dapat memimpin diri sendiri.
Selanjutnya ada pembahasan mengenai poligami, poligami ini adalah kondisi dimana seorang laki-laki memiliki dua orang istri atau lebih pada saat yang bersamaan. Poligami dilakukan banyak lelaki Muslim termasuk di Indonesia. Poligami sudah ada dari zaman Pra Islam. Praktik poligami yang tak terbatas telah mengakar pada masyarakat jazirah Arab. Rata-rata pemimpin suku pada saat itu memiliki puluhan bahkan ratusan istri. Seiring berjalannya waktu tradisi poligami oleh Islam dibatasi dengan sejumlah peringatan dan pembatasan yang ketat.
Pada masa Islam awal, poligami dilakukan untuk mengatasi beberapa persoalan yang mendesak. Banyak prajurit muslim yang gugur dalam perang Uhud  meninggalkan para istri dan anak mejadi janda dan yatim. Poligami dilakukan sebagai sebuah upaya untuk menopang perekonomian para janda dan anak-anak yatim yang kehilangan suami dan ayah pasca perang Uhud. Poligami juga dilakukan untuk meratakan perekonomian secara adil. Motif poligami pada masa kini cenderung berubah. yang pertama poligami menjadi keserakahan seksual dimana istri kedua biasanya cenderung lebih muda. Yang kedua, struktur masyarakat feodal mengawinkan dengan bertujuan agar keluarga perempuan dapat terangkat status sosialnya oleh para lelaki yang memiliki status sosial lebih di masyarakat. Motif ekonomi juga ada hubungannya dengan kemiskinan yang banyak diderita oleh kaum perempuan.
Perempuan, Islam, dan Negara
Feminisme adalah teori yang berusaha menganalisis dan pemahaman menjadi perempuan. feminisme dalam Islam menopang keadilan syariah dan HAM di kedua sisi. Feminisme Islam berpedoman pada ajaran Al Qur'an, Hadis, dan hukum islam. Namun, banyak hadis yang menggambarkan perempuan dalam citra yang buruk. Hukum islam perlu merumuskan aturan baru yang menempatkan perempuan dalam posisi yang setara dan adil. Feminisme dimulai sekitar tahun 1990an. Pada saat Indonesia memasuki era reformasi menjadi jalan baru Islam yang menghargai, menghormati, dan menegakkan martabat dan hak-hak perempuan.
Pelembagaan feminisme dalam wujud pemikiran dan gerakan sosial dilakukan dalam organisasi Islam yang progresif di Indonesia. Salah satunya seperti Perhimpunan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Transformasi sosial dikembangkan oleh Masdar F. Masudi dari P3M lahirlah banyak tokoh pesantren yang memperjuangkan keadilan perempuan. salah satunya Kiai Hussein Muhammad yang mengembangkan pemberdayaan perempuan di pesantrennya. di tingkat nasional, para pemikir dan aktivis pembaharuan pemikiran Islam untuk perubahan hukum keluarga dan kesetaraan gender dari kalangan kaum muda NU.
Meskipun gerakan perempuan di era reformasi ini sudah maju. Nyatanya masih ada marginalisasi dan diskriminasi perempuan dari kelompok kepercayaan minoritas. Dalam buku disebutkan bagaimana perempuan yang menganut Ahmadiyah mendapat berbagai macam diskriminasi hanya karena Ahmadiyah dianggap sebagai aliran yang sesat. Hal ini berdampak sangat buruk terhadap perempuan dan anak. mereka mendapat pengucilan dari masyarakat. Padahal seharusnya dalam UUD 1945 setiap warga negara berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, setiap warga negara juga berhak bebas dari perlakuan diskriminatif. Namun, pada implementasinya tidak sesuai dengan konstitusi tersebut. Hal ini bisa terjadi karena belum tertanam dan terinternalisasinya nilai-nilai UUD 1945 yang menjadi landasan berpikir didukung dengan lemahnya penegakan hukum oleh negara.
Dalam bab ini dibahas juga mengenai patriarki dan sektarian yang membahas dakwah sebagai doktrin mengenai pandangan kebenaran yang menjanjikan keselamatan hidup manusia. Dakwah bertujuan mengingatkan agar manusia hidup dalan prinsip-prinsip etika universal (akhlak) yang digambarkan dalam kitab suci. Namun, dalam perkembangannya dakwah tidak seperti apa yang dicita-citakan dan mengalami penurunan makna dari konteks dasarnya. Dakwah disebarkan melalui komunitas majelis taklim. Majelis taklim biasanya dipimpin oleh seorang pemuka agama yang dianggap memiliki pengetahuan agama secara luas. Komunitas ini juga menjadi ajang pengukuhan nilai-nilai patriarki. Pengajaran agama dalam komunitas cenderung membentuk fanatisme buta kelompok, dan tidak mengimbanginya dengan kelompok lain. Perbedaan pendapat hanya pertentangannya yang lebih ditonjolkan namun tidak pernah dijelaskan asal usulnya. Hal ini memunculkan berbagai prasangka dan mengakibatkan benturan antar kelompok sosial.