Layanan Paylater memberikan kemudahan yang luar biasa dalam bertransaksi, terutama di platform e-commerce. Pengguna hanya perlu beberapa klik untuk menyelesaikan pembelian, tanpa harus memikirkan pembayaran langsung. Kemudahan ini secara tidak langsung mengurangi penghalang psikologis untuk berbelanja, karena beban finansial dipindahkan ke masa depan. Akibatnya pengguna lebih cenderung membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.
Paylater dengan segala kemudahannya, bisa menjadi salah satu pemicu utama budaya konsumtif dalam masyarakat modern. Kemudahan bertransaksi tanpa perlu langsung membayar dapat menggoda konsumen untuk membeli barang atau jasa secara impulsif. Banyak orang mungkin tergoda untuk membeli barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan, karena mereka merasa dapat menunda pembayaran tanpa harus memikirkan dampaknya di masa depan. Fenomena ini sering terjadi terutama pada generasi muda yang masih dalam tahap pembentukan pola konsumsi.
Media sosial juga berperan dalam mendorong budaya konsumtif, hal ini menjadi salah satu pengaruh besar dalam membentuk pola konsumsi masyarakat, terutama generasi muda. Banyak pengguna tergoda oleh konten yang menapilkan gaya hidup mewah, tren mode, atau teknologi yang terbaru yang seringkali dipromosikan oleh influencer. Kehadiran layanan Paylater membuat konsumen merasa "mampu" untuk mengikuti tren tersebut meski secara finansial belum siap. Hal ini menyebabkan munculnya FOMO (fear of missing out) yaitu rasa takut ketinggalan tren yang mendorong orang untuk membeli barang demi memenuhi tekanan sosial.
Salah satu strategi pemasaran yang sering digunakan oleh penyedia layanan Paylater adalah menampilkan jumlah cicilan dalam angka yang sangat kecil. Sebagai contoh, pembelian barang seharga Rp 5 juta dapat dipecah menjadi 500 ribu per bulan selama 10 bulan.
Bagi konsumen angka ini terlihat jauh lebih "terjangkau" dibandingkan dengan membayar seluruhnya secara langsung. Namun, ilusi keterjangkauan ini seringkali menguburkan kenyataan bahwa akumulasi cicilan dari beberapa pembelian dapat membebani keungan pengguna dalam jangka panjang. Kondisi ini memicu budaya konsumtif dimana konsumen merasa dapat membeli lebih banyak barang karena beban pembayaran tersebar di masa depan dengan jangka waktu panjang.
Selain itu, beberapa platform online yang menawarkan fitur Paylater sering kali memberikan diskon atau cashback yang menggiurkan.tawaran-tawaran ini meningkatkan kecenderungan konsumen untuk membeli barang yang seharusnya tidak menjadi prioritas mereka. Dalam jangka panjang, kebiasaan ini dapat merusak keungan pribadi dan meningkatkan ketergantungan pada kredit.
Budaya konsumtif yang dipicu oleh layanan Paylater dapat berdampak buruk pada ekonomi individu dan masyarakat. Ketergantungan pada utang untuk memenuhi kebutuhan konsumsi akan menciptakan beban finansial yang berat, terutama jika pengguna tidak mampu membayar cicilan tepat waktu. Dalam skala yang lebih luas, perilaku ini dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi masyarakat karena meningkatnya angka kredit bermasalah. Oleh karena itu penting untuk meningkatkan kesadaran akan  penggunaan layanan Paylater secara bijak, sekaligus memperkuat literasi finansial masyarakat.
Salah satu tantangan utama dalam penggunaan layanan Paylater adalah rendahnya literasi finansial di kalangan sebagian besar pengguna. Banyak orang yang belum sepenuhnya memahami bagaimana cara mengelola keuangan pribadi, termasuk cara mengatur cicilan dan menilai kemampuan untuk membayar kembali setelah jangka waktu tertentu. Ketika seseorang tidak memiliki pemahaman yang baik tentang manajemen keuangan, mereka cenderung menggunakan fitur Paylater secara berlebihan, yang berpotensi menyebabkan masalah keuangan jangka panjang.
Literasi finansial mencakup kemampuan seseorang untuk memahami, menganalisis, dan mengelola aspek keungan seperti pengelolaan uang, investasi dan utang. Dalam konteks layanan Paylater, literasi finansial berperan penting untuk membantu pengguna memahami risiko yang terkait dengan utang konsumtif dan bunga yang dikenakan. Di Indonesia tingkat literasi finansial masyarakat masih relatif rendah dari survei Otoritas Jasa Keungan (OJK) tahun 2022, tingkat literasi finansial masyarakat Indonesia hanya mencapai 49,68% sementara tingkat inklusi keuangan mencapai 85,10% dari kesenjangan ini mencerminkan bahwa banyak orang memiliki akses ke layanan keuangan seperti Paylater, tapi tidak meiliki pemahaman yang baik untuk mengelola resiko yang menyertainya.
Kurangnya pemahaman terhadap risiko utang, banyak pengguna Paylater tidak sepenuhnya memahami bahwa layanan ini adalah bentuk utang yang harus dibayar kembali, sering kali dengan bunga tambahan atau biaya keterlamabatan. Hal ini terutama berlaku bagi generasi muda yang cenderung fokus pada manfaat jangka pendek tanpa mempertimbangkan risiko jangka panjang. Misalnya, pengguna mungkin tergoda untuk menggunakan fitur cicilan dengan bunga 0%, tetapi tidak menyadari adanya biaya administrasi atau denda keterlamabatan yang signifikan jika pembayaran melewati jatuh tempo.
Rendahnya kesadaran akan batas kemampuan finansial salah satu dampak kurangnya literasi finansial adalah tidak mampunya masyarakat untuk menghitung batas kemampuan finansial. Banyak pengguna Paylater merasa bahwa mereka mampu membayar cicilan kecil dalam jangka pendek, tanpa memperhitungkan pengeluaran lain atau kewajiban finansial yang lebih mendesak.