FITUR PAYLATER YANG DISEDIAKAN OLEH BEBERAPA PLATFORM ONLINE MERUPAKAN SOLUSI CERDAS ATAU BUDAYA KONSUMTIF
Di era digital yang serba cepat ini, kemajuan teknologi mempengaruhi hampir setiap aspke kehidupan manusia, termasuk dalam dunia transaksi keuangan. Salah satu inovasi yang telah berkembang pesat adalah fitur Paylater yang disediakan oleh berbagai platform online. Fitur ini memungkinkan konsumen untuk membeli barang atau jasa terlebih dahulu dan membayar dikemudian hari, dengan ketentuan yang fleksibel. Meski menawarkan kemudahan bagi pengguna, keberadaan fitur ini juga memunculkan berbagai pertanyaan mengenai dampaknya terhadap pola konsumsi masyarakat. Terlebih lagi, apakah fitur Paylater ini dapat memicu budaya konsumtif, atau justru menjadi solusi cerdas bagi mereka yang memerlukan fleksibilitas dalam berbelanja.
Fitur Paylater pertama kali diperkenalkan untuk memberikan solusi bagi konsumen yang ingin berbelanja namun tidak memiliki dana yang cukup di saat yang sama. Seiring berkembangnya teknologi dan sistem pembayaran digital, Paylater semakin diterima luas oleh masyarakat. Di Indonesia, beberapa platform e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee mengadopsi fitur ini untuk memperluas aksebilitas dan kenyamanan bagi para penggunanya. Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan penggunaan Paylater di Indonesia melonjak pesat, terutama setelah pandemi Covid-19 yang memicu adopsi digitalisasi lebih cepat dikalangan masyarakat.
Menurut laporan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap bahwa piutang pembiayaan produk bayar sekarang bayar nanti atau buy now pay later (BNPL) sebesar Rp5,54 triliun pada Januari 2024. Data OJK menunjukkan bahwa piutang pembiayaan BNPL meningkat 21,66% secara tahunan (year-on-year/YoY) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Rp4,56 triliun. Alhasil, porsi piutang pembiayaan BNPL terhadap total piutang pembiayaan adalah 1,17% pada Januari 2024. Hal ini menunjukkan bahwa Paylater telah menjadi salah satu fitur yang mendominasi pasar transaksi digital, sekaligus mengubah cara masyarakat dalam berbelanja.
Fitur Paylater di platform online berkembang pesat, terutama sejak pandemi Covid-19 yang mengubah kebiasaan belanja masyarakat. Kemudahan transaksi yang ditawarkan memicu peningkatan penggunaan layanan ini. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa adanya kemudahan tersebut dapat menyebabkan beberapa dampak negatif, seperti meningkatnya pengeluaran yang tidak terencana dan ketergantungan pada fasilitas kredit. Belum lagi, rendahnya tingkat literasi finansial dikalangan sebagian besar penggunaan dapat memperburuk keadaan. Fenomena ini perlu diperhatikan secara serius, mengingat dampaknya terhadap stabilitas keungan individu maupun masyarakat.
Paylater dapat memberikan dampak yang signifikan pada perilaku konsumsi seseorang, ketika sseseorang berbelanja dengan menggunakan layanan Paylater, mereka merasa seolah-olah tidak terbebani oleh pembayaran yang harus dilakukan di masa depan. Hal ini membuat mereka lebih cenderung untuk membeli barang yang mungkin tidak benar-benar dibutuhkan atau membeli lebih banyak daripada yang seharusnya.
Generasi muda, terutama Gen Z sering kali merasa tertekan untuk membeli barang atau produk yang sesuai dengan tren atau untuk mempertahankan citra sosial mereka. Hal ini semakin diperburuk dengan adanya platform media sosial yang menampilkan berbagai barang konsumtif "yang wajib dimiliki" sehingga membuat banyak orang merasa terpaksa untuk membeli barang menggunakan Paylater, meskipun barang yang "wajib dimiliki" tersebut tidak sesuai kebutuhan
Beberapa studi kasus di negara maju menunjukam bahwa penggunaan Paylater dapat berpotensi menyebabkan masalah keuangan jangka panjang bagi penggunanya. Misalnya, Di Australia sebuah penelitian yang dilakukan oleh lembaga keungan menunjukkan bahwa pengguna layanan Paylater yang tidak memiliki perencanaan keungan yang baik rentan terjebak dalam keungan konsumtif. Data menunjukkan bahwa sekitar 20% dari penguna Paylater di negara tersebut akhirnya mengalami kesulitan membayar utang mereka dalam waktu lebih dari 60 hari setelah jatuh tempo. Di Indonesia, meskipun data serupa belum sepenuhnya tersedia, beberapa laporan dari lembaga keungan menunjukkan bahwa ketergantungan pada Paylater juga mulai meningkat. Hal ini dibuktikan dengan survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia pada tahun 2023, yang menemukan bahwa lebih dari 35% pengguna Paylater tidak dapat membayar tagihan mereka tepat waktu dan terpaksa menaggung bunga yang tinggi. Kasus ini menunjukkan perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap penggunaan kredit digital di Indonesia.
Â
Dari sudut pandang psikologi, belanja impulsif sering dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan emosional, seperti mencari kepuasan, mengurangi stres, atau meningkatkan suasana hati. Kehadiran layanan Paylater memperkuat dorongan ini dengan menawarkan solusi cepat untuk mendapatkan barang yang diinginkan tanpa hambatan finansial.
Kurangngya pengendalian diri dalam berbelanja menggunakan layanan Paylater, cenderung memperburuk kebiasaan berbelanja impulsif. Studi menunjukkan bahwa konsumen yang memiliki kontrol diri rendah lebih mudah tergoda untuk memanfaatkan fitur kredit digital, hal ini dapat berdampak pada kondisi keungan individu sehingga menciptakan siklus utang yang sulit dihentikan.