Mohon tunggu...
Fathur Novriantomo
Fathur Novriantomo Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Seringnya menulis soal film.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Lembaga Sensor Film: Dari Tuduhan "Tukang Mutilasi" sampai Kampanye Sensor Mandiri

18 Oktober 2020   18:00 Diperbarui: 20 Oktober 2020   09:16 2062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aturan sensor mandiri yang memberi kebebasan pembuat dan penonton film untuk membuat dan menonton film secara utuh tanpa pemotongan, tentu memerlukan perubahan undang-undang dan kode etik penyensoran untuk dapat mengimplementasikan sensor mandiri yang benar-benar bebas secara utuh pada film-film yang tayang di bioskop.

Pada acara webinar Brawijaya Movie Day (10/10) Ketua LSF, Rommy Fibri Hardianto mengatakan bahwa LSF yang sekarang tidak seperti dulu yang asal potong, asal gunting, namun lebih 'demokratis' dalam melakukan penyensoran. 

Selain memberikan kebebasan penonton untuk memilih tontonannya, lewat gerakan Sensor Mandiri, LSF juga memberi kebebasan kepada para pembuat film untuk menyensor filmnya sendiri. 

Rumah produksi memberikan permintaan kategori rating usia untuk film mereka sebelum LSF melakukan screening, lalu pihak LSF akan memberikan beberapa catatan adegan tertentu yang harus dipotong, dan menyerahkannya kepada pihak rumah produksi untuk diedit ulang. 

Sebelum itu, LSF akan melakukan diskusi dengan pihak rumah produksi setelah selesai menonton dan membuat catatan tentang adegan-adegan yang harus dipotong. Dari pihak rumah produksi pun boleh memberikan argumen jika adegan yang tercatat oleh LSF merupakan adegan yang vital dan punya konteks yang penting untuk keseluruhan cerita. 

Hal tersebut dilakukan setelah banyaknya kritik yang menganggap LSF memotong secara asal tanpa pertimbangan konsep, konten, dan konteks dari film yang disensor. 

Proses penyensoran yang sekarang memang lebih 'demokratis' ketimbang proses penyensoran yang dulu asal potong, asal penggal, asal mutilasi habis secara sepihak oleh lembaga penyensoran.

Namun pada akhirnya, semua mekanisme penyensoran tetap berada di bawah undang-undang dan kode etik penyensoran, sineas tanah air dituntut wajib untuk 'tunduk' kepada aturan mainnya. Ya kesimpulannya, sineas lokal tetap harus main aman, ya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun