Pernahkah kalian menonton sebuah film di bioskop, yang mana film tersebut mengalami pemenggalan adegan ditengah-tengah alur yang sedang berjalan, sehingga mempengaruhi koherensi cerita dalam film tersebut? Ya, itu merupakan 'ulah' dari Lembaga Sensor Film (LSF).Â
Sejak Lembaga ini masih bernama Panitia Pengawas Film pada dekade 40-an akhir, tugas dan fungsinya adalah untuk menyensor bagian-bagian dari film yang dianggap tidak sesuai dengan cerminan nilai-nilai luhur Pancasila dan Undang-Undang tentang perfilman.Â
Seiring perkembangan zaman dan perubahan pemerintahan, aturan penyensorannya ikut mengalami perubahan. Seperti pada zaman Nippon masih menjajah Indonesia, film-film Hollywood yang boleh ditayangkan hanyalah film dengan muatan soal kejahatan barat, dan persahabatan dengan benua Asia.Â
Nippon juga mengontrol penuh konten propaganda yang wajib dikandung dalam film berupa muatan soal kehebatan tentara Jepang, budaya Jepang, hingga penggambaran Jepang yang merangkul pribumi.
Memasuki era pasca kemerdekaan, tepatnya pada awal lahirnya perfilman nasional pada 1950-1951, aturan penyensoran jadi berfokus pada pelarangan film-film yang memuat anjuran perang, pelanggaran codex perwira, hingga penggambaran upaya untuk merobohkan pemerintahan sendiri.Â
Hingga pada 1965, diterbitkan ketentuan utama atas pelarangan film yang mengandung unsur ideologi lain, selain ideologi Pancasila, hal tersebut bisa dianggap sebagai buntut dari peristiwa Gerakan 30 September PKI.
Walau begitu, Badan Sensor Film (BSF) tidak begitu konservatif soal konten yang berbau seksual, sehingga maraknya film-film dengan muatan BuPaTi & SekWilDa (Buka Paha Tinggi, Sekitar Wilayah Dada) sampai dekade 80-an.Â
Memasuki dekade 90-an, perkembangan media televisi nasional yang semakin marak dan dibuatnya undang-undang penyiaran sehingga mempengaruhi peraturan sensor yang menganut pencacahan rating usia.
Dari situ mulailah timbul aturan yang cukup ketat dalam penyensoran film dan konten di televisi. Aturan tersebut hingga saat ini masih dianut oleh KPI dan LSF dalam menjalankan tugasnya.
Menyikapi hal tersebut, tidak sedikit para pembuat dan penonton film malah mengeluhkan kalau LSF dituduh sebagai 'tukang mutilasi' dan 'tukang kebiri' kreativitas. Lebih parahnya, LSF dipandang sebagai Lembaga sensor yang asal penggal tanpa memperdulikan koherensi dan esensi cerita dari film tersebut.Â