Pendahuluan
Proses penyebaran Islam di Nusantara merupakan salah satu peristiwa bersejarah yang paling berdampak pada kehidupan sosial, politik dan budaya. Proses Islamisasi telah berlangsung sejak abad ke-13 yang dilakukan melalui berbagai jalur, termasuk perdagangan, perkawinan, serta peran para ulama dan pedagang Muslim dari Timur Tengah, India dan Asia Tenggara.Â
Nusantara, sebagai wilayah yang strategis di jalur perdagangan internasional, menjadi tempat persinggungan berbagai peradaban, yang mempercepat penyebaran ajaran Islam ke pelosok-pelosok Nusantara.
Penyebaran Islam di kepulauan Indonesia, khususnya melalui Aceh dan Madura, menunjukkan interaksi yang kompleks antara perdagangan, pertukaran budaya dan pemerintahan lokal.Â
Aceh diakui sebagai pintu gerbang awal bagi Islam, membangun kerajaan-kerajaan Islam yang signifikan seperti Samudra Pasai, yang memfasilitasi ekspansi agama melalui rute perdagangan dan interaksi damai (Novita et al., 2023). Sebaliknya, Islamisasi Madura, yang terjadi sekitar abad ke-15, juga didorong oleh perdagangan daripada konflik, dengan tokoh-tokoh terkenal seperti Sunan Padusa memimpin upaya (Zikra et al., 2023).
Pada proses penyebaran Islam, Aceh dan Madura memiliki peran yang sangat penting. Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekah, merupakan pusat keilmuan dan dakwah Islam sejak awal masuknya Islam ke Nusantara.Â
Aceh menjadi pusat pendidikan agama, tempat lahirnya banyak ulama besar yang menyebarkan ajaran Islam ke berbagai wilayah lain di Asia Tenggara. Sementara itu, Madura, dengan tradisi pesantren yang kuat, menjadi salah satu pusat perkembangan Islam di Jawa Timur.Â
Madura memainkan peran penting dalam menyebarkan ajaran Islam melalui jaringan ulama dan pesantren yang tersebar luas di kawasan pesisir.
Adapun peran Aceh dalam penyebaran Islam menjadi gerbang ke Islam. Aceh menjabat sebagai kerajaan Islam pertama, mempromosikan perdagangan dan pertukaran budaya yang menarik pedagang Muslim (Novita et al., 2023).Â
Secara integrasi budaya, orang Aceh mengadaptasi ajaran Islam dengan adat istiadat setempat, sehingga menumbuhkan perpaduan unik antara yurisprudensi Islam dan kebijaksanaan lokal (Syarbaini, 2022). Sementara peran Madura bergerak melalui jaringan Perdagangan.Â
Penyebaran Islam di Madura terkait erat dengan hubungan perdagangannya, terutama karena memudarnya pengaruh kerajaan Majapahit (Zikra et al., 2023).
Melaui konversi damai, proses Islamisasi ditandai dengan cara-cara damai dan menekankan perdagangan serta dialog atas terjadinya konflik. Sementara Aceh dan Madura memainkan peran penting dalam penyebaran Islam.
 Narasi Islamisasi yang lebih luas di nusantara tetap beragam, dipengaruhi oleh berbagai faktor lokal dan eksternal, termasuk koneksi Arab yang signifikan yang dibangun melalui jalur perdagangan (Saragih & Siregar, 2023).
Penulisan artikel ini bertujuan untuk menelusuri hubungan sejarah antara Aceh dan Madura dalam konteks Islamisasi Nusantara. Meskipun kedua wilayah ini memiliki karakteristik geografis dan budaya yang berbeda, keduanya berbagi peran penting dalam penyebaran agama Islam. Menyelami koneksi antara Aceh dan Madura dapat mengungkap jejak-jejak sejarah yang terlupakan, terutama dalam peran mereka sebagai pusat penyebaran dakwah dan pengaruh keislaman di Nusantara.Â
Melalui penelusuran yang lebih dalam keterkaitan sejarah ini, diharapkan dapat ditemukan benang merah yang menghubungkan kedua wilayah dalam proses Islamisasi. Hal ini tidak hanya akan memperkaya pemahaman kita terhadap sejarah Islam di Nusantara, tetapi juga mengangkat kembali kontribusi penting Aceh dan Madura yang mungkin belum sepenuhnya diakui dalam narasi sejarah Islam di Indonesia.
Aceh: Pusat Penyebaran Islam di Barat Nusantara
Aceh dikenal sebagai salah satu pusat penting penyebaran Islam di bagian barat Nusantara, dengan Kesultanan Aceh Darussalam memainkan peran utama. Kesultanan ini berdiri pada awal abad ke-16 dan tumbuh menjadi kekuatan maritim dan politik yang besar.Â
Berada di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda pada tahun (1607-1636), menjadikan Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya, menjadi pusat perdagangan, kebudayaan serta intelektual Islam di wilayah tersebut.Â
Pengaruh Aceh tidak hanya terasa di wilayah Sumatra, tetapi juga meluas ke Semenanjung Malaya dan kawasan Hindia Timur lainnya, menjadikannya penghubung penting dalam jaringan dunia Islam internasional.Â
Secara historis, Aceh berfungsi sebagai pusat penting bagi Islam di kepulauan barat, terutama selama kesultanan Aceh terkenal pada abad ke-17. Periode ini ditandai dengan kontribusi signifikan dari tokoh-tokoh ulama yang berpengaruh dan jaringan keilmuan Islam yang kuat.Â
Kesultanan Aceh muncul sebagai negara Islam yang kuat, mempromosikan interpretasi Islam yang moderat dan menumbuhkan toleransi beragama (Huwaid & Arbi, 2024).
 Ini menjadi pusat pembelajaran Islam, menarik para cendekiawan dan mahasiswa dari seluruh wilayah, yang memfasilitasi penyebaran pemikiran Islam (Saby, 2014).
Salah satu ulama besar yang lahir di Aceh dan berkontribusi signifikan dalam penyebaran ajaran Islam adalah Syekh Abdurrauf as-Singkili, yang lebih dikenal sebagai Syiah Kuala. Ulama ini merupakan cendekiawan besar yang menguasai berbagai bidang ilmu agama, termasuk tafsir, hadis dan fikih.
 Syiah Kuala mendirikan pusat pendidikan Islam di Aceh yang menjadi rujukan para ulama dari berbagai daerah. Karya-karyanya turut memperkaya literatur Islam di Nusantara dan memiliki pengaruh besar dalam membentuk pemahaman serta praktik keislaman di kawasan ini.Â
Selain itu, terdapat ulama terkenal seperti Hamzah Fansuri dan Nur al-Din al-Raniri memainkan peran penting dalam mengembangkan filsafat Islam dan Sufisme, mempengaruhi praktik lokal dan regional(Rosatria, 2014) (Hadi, 2003). Ajaran mereka berkontribusi pada pembentukan Aceh sebagai pusat intelektualisme Islam, dengan fokus pada tradisi Sufi yang menekankan persatuan dan spiritualitas(Affan, 2023).
Aceh juga dikenal sebagai pintu gerbang bagi penyebaran Islam ke wilayah-wilayah lain di Asia Tenggara. Kesultanan Aceh menjalin hubungan erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di luar Nusantara, seperti Kesultanan Utsmaniyah di Turki.Â
Dukungan ini memperkuat posisi Aceh sebagai pusat dakwah Islam, serta menghubungkan Nusantara dengan arus utama peradaban Islam internasional.Â
Melalui jaringan perdagangan dan diplomasi yang dibangun oleh Kesultanan Aceh, ajaran Islam tersebar ke berbagai wilayah, dari Semenanjung Malaya hingga Kepulauan Filipina. Hadirnya pengaruh dari internasional karena posisi maritim strategis Aceh, sehingga memungkinkannya untuk terhubung dengan dunia Islam yang lebih luas melalui perdagangan dan diplomasi, meningkatkan perannya dalam jaringan Islam global (Affan, 2023).
Sufi dari Aceh melakukan perjalanan secara ekstensif, membangun pusat-pusat spiritual dan membina interkoneksi dengan wilayah Islam lainnya, sehingga mempromosikan penyebaran Islam secara internasiona (Affan, 2023).Â
Sementara peran historis Aceh sebagai pusat Islam terdokumentasi dengan baik, tantangan kontemporer seperti radikalisme dan sektarianisme menimbulkan ancaman signifikan terhadap warisan moderasi dan inklusivitasnya.Â
Secara internasional, Aceh memainkan peran signifikan dalam menyebarkan Islam melalui jalur perdagangan. Pedagang-pedagang Aceh sering berlayar ke berbagai bagian Asia dan bahkan ke Timur Tengah, membawa serta pengaruh agama dan kebudayaan Islam. Hubungan diplomatik Aceh dengan kekhalifahan Utsmaniyah di Turki turut memperkuat posisi Aceh sebagai bagian dari jaringan global umat Islam.Â
Oleh karena itu, peran Aceh dalam sejarah Islam tidak hanya terbatas pada Nusantara, tetapi juga dalam menghubungkan komunitas Muslim di seluruh dunia.
Madura: Penyebaran Islam Melalui Jalur Pesantren dan Ulama
Penyebaran Islam di Madura sangat dipengaruhi oleh peran pesantren dan ulama lokal yang telah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Madura sejak lama.Â
Jalur dakwah utama yang digunakan adalah melalui pendidikan agama di pesantren-pesantren. Pesantren menjadi pusat penyebaran ajaran Islam serta pembinaan moral dan sosial.Â
Madura dikenal sebagai salah satu wilayah dengan jumlah pesantren terbanyak di Indonesia dan setiap desa atau kecamatan di Madura hampir selalu memiliki pesantren. Melalui pesantren, Islam disebarkan dengan cara yang lebih terstruktur, berpusat pada pendidikan keagamaan, terutama melalui kajian kitab kuning yang menjadi fondasi utama dalam pengajaran Islam.
Islam menyebar di Madura secara signifikan melalui pendirian sekolah asrama (pesantren) dan pengaruh ulama lokal (kiai). Lembaga-lembaga ini tidak hanya menyediakan pendidikan agama tetapi juga berfungsi sebagai pusat budaya dan sosial, membina ikatan masyarakat dan nilai-nilai Islam.Â
Peran Pondok Pesantren di Madura menjadi tuan rumah sejumlah besar wilayah, diantaranya 114 di Bangkalan, 352 di Sampang, 218 di Pamekasan, dan 177 di Sumenep (Adawiyah et al., 2023).
 Sekolah-sekolah ini secara historis sangat penting dalam menghasilkan ulama dan menyebarluaskan pengetahuan Islam, sehingga memainkan peran penting dalam penyebaran Islam (Pither, 2023).
Salah satu tokoh ulama yang paling berpengaruh dalam penyebaran Islam di Madura adalah Syaikhona Kholil Bangkalan. Beliau merupakan sosok yang sangat dihormati, bukan hanya di Madura, tetapi juga di seluruh Nusantara. Â Selian itu, Syaikhona Kholil mendirikan Pesantren Syaikhona Kholil di Bangkalan, yang menjadi salah satu pesantren paling berpengaruh. Bahkan banyak murid-murid beliau yang menyebar di berbagai wilayah Nusantara yang mendirikan Pondok Pesantren.Â
Ulama-ulama besar Indonesia seperti Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), pernah menjadi santrinya. Selain itu, pesantren ini juga menjadi tempat penggemblengan spiritual yang melahirkan banyak ulama berpengaruh lainnya di Madura dan sekitarnya.
Selain Pondok Pesantren Syaikhona Kholil di Bangkalan, ada beberapa pesantren lain di Madura yang memiliki peran besar dalam menyebarkan ajaran Islam. Pesantren Annuqayah di Guluk-Guluk, Sumenep, merupakan salah satu pesantren tertua dan terbesar di Madura yang juga menjadi pusat dakwah Islam di kawasan ini.Â
Pesantren ini terus berkembang dan menjadi salah satu pesantren paling berpengaruh, dengan ribuan santri yang datang dari berbagai daerah. Pesantren-pesantren lainnya seperti Pesantren Al-Amien Prenduan di Sumenep dan Pesantren Al-Hikam Burneh di Bangkalan juga menjadi pusat pendidikan agama yang berperan penting dalam penyebaran Islam di Madura.
Sebagai ulama yang berpengaruh Shaikhona Kholil menjadi tokoh terkemuka dalam perkembangan Islam Madura, yang dikenal karena kontribusinya yang signifikan terhadap pendidikan agama dan kepemimpinan komunitas.Â
Kiai, sebagai otoritas Islam tradisional, telah menjadi pusat untuk menjaga identitas agama dan budaya rakyat Madura, mengintegrasikan hukum Islam ke dalam kehidupan sehari-hari (Pribadi, 2013). Sementara sistem pesantren telah berkembang, peran dasarnya dalam membentuk pendidikan Islam dan nilai-nilai masyarakat tetap penting di Madura, mencerminkan perpaduan unik antara tradisi dan modernitas.
Para ulama lokal dan kiai di Madura juga berperan aktif dalam menjaga tradisi keislaman di tengah masyarakat. Kiai-kiai tersebut tidak hanya bertindak sebagai guru, tetapi juga sebagai tokoh masyarakat yang memberikan petunjuk dalam kehidupan sehari-hari.Â
Kehadiran para ulama dan pesantren di Madura telah membuat Islam sangat melekat dalam budaya masyarakat Madura, yang dikenal religius dan memiliki ketaatan tinggi terhadap ajaran agama. Tradisi keagamaan yang kuat di Madura juga memperkuat peran pesantren sebagai pusat penyebaran Islam yang terus berlanjut hingga sekarang.
Menyusuri Koneksi Sejarah: Hubungan Aceh dan Madura dalam Penyebaran Islam
Hubungan sejarah antara Aceh dan Madura dalam konteks penyebaran Islam dapat dianalisis melalui beberapa aspek yang relevan, salah satunya adalah jalur perdagangan.Â
Pada masa kejayaan Kesultanan Aceh di abad ke-16 hingga ke-17, Aceh dikenal sebagai pusat perdagangan di wilayah Asia Tenggara. Posisi strategis Aceh di Selat Malaka memungkinkan hubungan dagang dengan berbagai daerah, termasuk Jawa. Madura yang juga terlibat dalam aktivitas pelayaran dan perdagangan di Laut Jawa berpotensi memiliki koneksi dengan Aceh.Â
Jalur perdagangan ini bisa menjadi medium penyebaran agama Islam, di mana para pedagang Aceh yang membawa agama Islam ke Madura atau sebaliknya, pedagang dari Madura yang melakukan perjalanan ke Aceh membawa pengaruh keagamaan dari wilayah tersebut.
Hubungan historis antara Aceh dan Madura dalam konteks penyebaran Islam ditandai dengan jalur perdagangan, migrasi ulama, dan tradisi keagamaan yang sama.
 Kedua wilayah memainkan peran penting dalam jaringan Islam Asia Tenggara, khususnya selama abad ke-17. Dikaji dari Rute perdagangan dan koneksi ekonomi.Â
Aceh adalah pusat perdagangan maritim yang penting, terhubung ke dunia Islam melalui perdagangan rempah-rempah, yang memfasilitasi pertukaran budaya dan keagama (Affan, 2023). Selat Malaka berfungsi sebagai rute ziarah penting, meningkatkan pengaruh dan identitas Aceh di kalangan Muslim Asia Tenggara (Dhuhri, 2017).
Migrasi ulama antara Aceh dan Madura juga bisa menjadi salah satu faktor yang menghubungkan kedua wilayah dalam konteks penyebaran Islam. Aceh dikenal sebagai pusat pendidikan Islam, dengan berbagai pesantren dan ulama besar yang terkenal hingga ke pelosok Nusantara. Ulama dari Aceh sering melakukan perjalanan dakwah ke berbagai wilayah, termasuk ke Madura.Â
Sebaliknya, Madura juga memiliki tradisi kuat dalam mendidik ulama, yang kemudian melakukan perjalanan dakwah ke daerah-daerah lain. Pertukaran ulama ini memungkinkan adanya penyebaran ajaran Islam serta saling mempengaruhi antara kedua wilayah dalam praktik keagamaan dan tradisi keislaman.Â
Migrasi Ulama dan Tasawuf berawal dari sarjana sufi dari Aceh melakukan perjalanan ke Timur Tengah untuk pendidikan, kembali untuk mendirikan pusat-pusat spiritual yang lebih lanjut mengintegrasikan Aceh ke dalam jaringan Islam global (Affan, 2023).
Pertukaran intelektual antara Aceh dan daerah-daerah seperti Pahang menyoroti hubungan yang lebih luas yang terbentuk melalui praktik keagamaan bersama dan pengejaran ilmiah (Jalal et al., 2017). Selain perdagangan dan migrasi ulama, kesamaan dalam tradisi keagamaan antara Aceh dan Madura juga menarik untuk dianalisis.Â
Kedua wilayah ini memiliki pola keberagamaan yang cukup kuat dengan tradisi keagamaan yang kental. Misalnya, tradisi pengajian, perayaan Maulid Nabi, serta peran penting ulama dan pesantren dalam kehidupan masyarakat sehari-hari merupakan kesamaan yang dimiliki oleh Aceh dan Madura.Â
Kesamaan ini mungkin muncul akibat interaksi historis yang terjadi melalui jalur perdagangan dan penyebaran ajaran Islam oleh ulama-ulama yang berkeliling dari satu daerah ke daerah lainnya.
Lebih jauh lagi, hubungan ini juga dapat ditinjau dari peran tokoh-tokoh penting dalam sejarah Islam di kedua daerah. Misalnya, ulama dari Aceh yang dikenal sebagai penyebar Islam di luar daerahnya, seperti Syekh Abdurrauf as-Singkili, dapat menjadi tokoh penghubung yang penting.Â
Demikian juga dengan ulama-ulama Madura, yang sejak zaman dahulu dikenal aktif berdakwah hingga ke berbagai daerah di Nusantara. Pola pergerakan ulama ini menunjukkan bahwa terdapat potensi pertukaran pemikiran dan ajaran antara ulama-ulama dari kedua wilayah, sehingga memperkaya tradisi keagamaan di masing-masing daerah.Â
Kesamaan dalam Tradisi Agama baik di Aceh maupun Madura menunjukkan tradisi Islam yang kuat, dengan praktek-praktek lokal yang dipengaruhi oleh Sufisme dan komitmen bersama terhadap ilmu Islam, menumbuhkan rasa persatuan meskipun jarak geografis (Basri, 2017).
Sementara hubungan historis antara Aceh dan Madura terbukti, kompleksitas interaksi mereka menunjukkan bahwa konteks lokal dan agensi individu juga memainkan peran penting dalam membentuk identitas Islam mereka.Â
Secara konteks migrasi dan perdagangan, kedua wilayah juga mungkin berbagi pengaruh budaya yang turut memperkuat ikatan religius.
 Meskipun ada perbedaan dalam aspek kebudayaan lokal, agama Islam menjadi benang merah yang menyatukan berbagai tradisi di Nusantara, termasuk di Aceh dan Madura. Tradisi maritim yang kuat di kedua wilayah memungkinkan interaksi sosial, budaya dan keagamaan yang lebih intens, membentuk jalur-jalur pengaruh keagamaan yang bersifat dua arah antara Aceh dan Madura selama berabad-abad.
Pengaruh Ulama di Kedua Wilayah: Tokoh-tokoh yang Menghubungkan Aceh dan Madura
Aceh dan Madura memiliki sejarah panjang dalam penyebaran Islam, dengan tokoh-tokoh ulama yang berperan penting di masing-masing wilayah. Salah satu tokoh yang dikenal di kedua wilayah ini adalah Syekh Yusuf al-Makassari.Â
Meskipun lebih dikenal di Sulawesi, ajarannya menyebar hingga Aceh dan Madura melalui jaringan ulama dan perantau. Tokoh-tokoh seperti Syekh Yusuf berperan dalam memperkuat hubungan lintas wilayah melalui penyebaran ilmu agama dan pendidikan Islam.Â
Penyebaran Islam di Aceh dan Madura secara signifikan dipengaruhi oleh tokoh-tokoh ulama yang bertindak sebagai penghubung intelektual dan spiritual antar daerah. Tokoh-tokoh ini memfasilitasi pertukaran ajaran dan praktik Islam, menumbuhkan rasa persatuan di antara komunitas Muslim.
Adanya hubungan intelektual ulama dari Aceh menjalin hubungan dengan ulama di Pahang, meningkatkan tradisi intelektual Islam di seluruh wilayah. Pertukaran ini sangat penting dalam membentuk lanskap politik dan sosial kedua wilayah(Jalal et al., 2017) (Rahim et al., 2017).Â
Potensi peran ulama dalam menghubungkan penyebaran Islam di Aceh dan Madura dapat ditelusuri melalui jaringan pesantren dan murid-murid mereka. Banyak ulama di Madura yang pernah belajar di Aceh, terutama di masa kejayaan Kesultanan Aceh sebagai pusat pembelajaran Islam.Â
Ulama-ulama di Aceh juga sering berdakwah di wilayah-wilayah Jawa, termasuk Madura. Jalur laut menjadi salah satu faktor yang mempermudah mobilitas para ulama, yang turut menyebarkan nilai-nilai Islam dan memperkuat ikatan keagamaan antara dua wilayah tersebut.
Selain melalui pendidikan, migrasi dan pernikahan lintas wilayah juga menjadi sarana penting dalam memperluas pengaruh Islam di Aceh dan Madura. Keluarga ulama yang menikah dengan masyarakat setempat di kedua wilayah sering kali membawa serta tradisi dan pemahaman keagamaan dari satu wilayah ke wilayah lainnya.Â
Ini menciptakan sebuah jaringan lintas daerah yang memperkuat persaudaraan Islam dan menyebarkan praktik-praktik keagamaan yang serupa di kedua daerah tersebut.Â
Hal ini dapat dilihat dari implementasi hukum syariah di mana peran ulama dalam mengadvokasi hukum Syariah di Aceh telah memiliki efek riak di provinsi Indonesia lainnya, termasuk Madura. Pengaruh mereka sering mendikte munculnya dan penegakan peraturan daerah, yang mencerminkan kekuatan politik dan sosial para ulama (Huda, 2020).
Sementara tokoh-tokoh ulama memainkan peran penting dalam menghubungkan Aceh dan Madura, efektivitas pengaruh mereka bervariasi, seringkali tergantung pada dinamika politik lokal dan kebutuhan masyarakat. Ini menyoroti interaksi yang kompleks antara otoritas agama dan pemerintahan daerah.
 Pengaruh lintas wilayah ini juga diperkuat oleh perdagangan maritim antara Aceh dan Madura. Para pedagang, banyak di antaranya adalah Muslim, sering berinteraksi dengan ulama dan membawa ajaran Islam ke daerah-daerah baru.Â
Pada konteks ini, ulama tidak hanya berperan sebagai penyebar agama, tetapi juga sebagai mediator yang menjembatani perbedaan budaya dan memperkuat jaringan sosial keagamaan di seluruh Nusantara.
Praktik Keagamaan: Kesamaan dan Perbedaan dalam Tradisi Islam di Aceh dan Madura
Praktik Islam di Aceh dan Madura memiliki banyak kesamaan, terutama dalam aspek tasawuf dan tarekat. Keduanya dikenal sebagai wilayah dengan tradisi tarekat yang kuat, seperti Tarekat Naqsyabandiyah dan Qadiriyah. Tarekat ini di Aceh berfungsi sebagai pondasi spiritual yang memperdalam hubungan umat dengan Tuhan melalui ritual zikir dan meditasi.Â
Hal ini juga tampak di Madura, di mana tarekat berperan besar dalam kehidupan religius masyarakatnya, menggabungkan zikir sebagai aktivitas harian yang mengukuhkan ikatan spiritual. Namun, terdapat perbedaan dalam cara praktik keagamaan ini diselenggarakan. Pengaruh ulama besar dan sejarah kerajaan Islam yang kuat di Aceh, menjadikan ritual seperti zikir massal atau acara maulid Nabi lebih terstruktur dan seringkali melibatkan komunitas besar.Â
Sementara itu, di Madura, praktik-praktik keagamaan lebih sederhana, seringkali berlangsung di pesantren-pesantren kecil yang tersebar di seluruh pulau. Meski sama-sama mengutamakan tarekat, ritual di Madura lebih bersifat lokal dan intim, cenderung dilakukan dalam kelompok kecil.
Adapun praktek-praktek Islam di Aceh dan Madura menunjukkan persamaan dan perbedaan, terutama di ranah tarekat (ordo sufi), zikir (ingatan), dan ritual lainnya. Praktik-praktik ini dapat ditelusuri kembali ke koneksi historis yang telah membentuk perkembangannya.Â
Kesamaan dalam praktek tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama Pengaruh Tarekat, dua daerah ini merangkul ordo Sufi, terutama Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, yang menekankan ritual komunal dan latihan spiritual yang menumbuhkan komunitas yang kohesif (Priyana et al., 2024). Kedua Praktek Zikir: Zikir adalah praktik sentral di Aceh dan Madura, berfungsi sebagai sarana koneksi spiritual dan ikatan komunitas.
 Majlis Zikir Tastafi di Aceh memainkan peran penting dalam meningkatkan kehidupan sosial-religius(Arifin, 2023). Kemudian perbedaan dalam praktik yakni adaptasi budaya. Meskipun praktik sufi Aceh sangat terkait dengan tradisi lokal dan tokoh sejarah seperti Abdurrauf As-Singkili, praktik Madura mungkin mencerminkan adat istiadat dan interpretasi lokal yang berbeda dari ajaran Islam(Shadiqin, 2017).
Selain itu, kontes teologis di Aceh, praktik-praktik Sufi tertentu telah menghadapi pengawasan teologis, kontras dengan lanskap spiritual Madura yang berpotensi kurang diperdebatkan (Quinsten, 2022).Â
Terlepas dari perbedaan ini, hubungan historis antara daerah menunjukkan bahwa warisan Islam bersama telah mempengaruhi praktik mereka, meskipun disesuaikan dengan konteks lokal. Kesamaan ini dapat dikaitkan dengan koneksi sejarah yang sering terabaikan, yaitu jalur perdagangan dan penyebaran Islam melalui samudera.Â
Pada masa lalu, hubungan Aceh dan Madura tidak hanya terjalin melalui jalur dagang, tetapi juga penyebaran dakwah oleh para ulama. Baik Aceh maupun Madura menjadi tempat persinggahan pedagang dan ulama dari Arab, Gujarat dan Persia yang membawa tarekat serta ajaran tasawuf, sehingga ada pengaruh Islam yang sejalan meski lokasinya berjauhan.
Namun, perbedaan dalam corak kultural dan politik setempat juga membentuk variasi dalam penerapan ajaran Islam tersebut. Sejarah politik di Aceh, lebih kuat dalam mempertahankan identitas Islam, praktik-praktik ini berkembang lebih formal. Sementara di Madura, yang lebih agraris dan cenderung memiliki hierarki sosial sederhana, Islam berkembang lebih bersahaja, meski tetap mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari.
Kesimpulan
Temuan artikel ini menyoroti adanya kesamaan dalam praktik Islam di Aceh dan Madura, terutama dalam tradisi tarekat dan ritual zikir. Koneksi sejarah melalui jalur perdagangan dan dakwah oleh para ulama menjadi faktor penting yang menjelaskan penyebaran ajaran tasawuf di kedua wilayah.Â
Ulama dari Arab, Gujarat dan Persia membawa tarekat yang kemudian berakar dalam kehidupan spiritual masyarakat Aceh dan Madura. Meskipun terdapat perbedaan dalam pelaksanaan ritual karena pengaruh kultural dan politik setempat, fondasi ajaran tetap serupa.
Penelusuran sejarah penyebaran Islam di Aceh dan Madura mengungkapkan peran penting kedua wilayah ini dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara.Â
Aceh, sebagai pusat Islam di bagian barat Nusantara, memfasilitasi penyebaran Islam melalui rute perdagangan maritim dan interaksi damai, sementara Madura menonjol melalui peran ulama dan pesantren dalam memperkokoh jaringan Islam lokal.Â
Meskipun keduanya memiliki karakteristik dan konteks sosial-politik yang berbeda, ditemukan bahwa koneksi sejarah melalui perdagangan, migrasi ulama dan kesamaan tradisi keagamaan, terutama dalam praktik Sufisme, memainkan peran signifikan dalam memperkuat identitas Islam di kedua wilayah ini.
Koneksi yang terabaikan antara Aceh dan Madura menggarisbawahi pentingnya jalur intelektual dan spiritual yang melintasi wilayah Nusantara, yang memungkinkan pertukaran ajaran Islam dan integrasi dengan tradisi lokal. Hubungan ini, meskipun kurang terdokumentasi secara langsung, memiliki pengaruh besar dalam membentuk praktik Islam di Madura yang sangat dipengaruhi oleh jaringan ulama dari Aceh.
Rekomendasi
Rekomendasi untuk studi lebih lanjut adalah memperdalam penelitian tentang peran jalur laut sebagai penghubung antara dua wilayah ini, serta menggali lebih jauh pengaruh para ulama yang mungkin terabaikan dalam sejarah.Â
Studi etnografi yang fokus pada pesantren tradisional di Madura dan institusi keagamaan di Aceh juga akan memperkaya pemahaman tentang bagaimana ajaran tarekat dipertahankan dan berkembang hingga saat ini.Â
Saran untuk studi lebih lanjut, perlu menelusuri lebih dalam jalur perdagangan dan migrasi ulama antara Aceh dan Madura. Selain itu, perlu diadakan penelitian lebih detail tentang pengaruh Sufisme yang dapat mengungkap interaksi intelektual lebih lanjut antara kedua wilayah ini. Penelitian tentang naskah-naskah lama dan arsip keagamaan juga dapat membantu memperjelas hubungan historis yang lebih kuat.
Referensi
Adawiyah, R., Ardiansyah, M., Sholehah, N, A. (2023). A Islamic Boarding School Economic Empowerment Strategy Through an OPOP (One Persantren One Product) Model in The Digital (Case Study on Boarding School in Madura). Â doi: 10.19105/iqtishadia.v10i1.8162
Arifin, M. (2023). The Impact of Recitation and Zikr Tastafi on Religious Social Life; Studies in the City Areas of Banda Aceh, Pidie, and North Aceh. Tribakti (Kediri), 34(1):95-110. doi: 10.33367/tribakti.v34i1.3035
Affan, M. (2023). The Role of Sufis in Connecting Aceh to the Global Islamic Network in the 17th Century. ISLAM NUSANTARA, doi: 10.47776/islamnusantara.v4i2.700
Basri, H. (2017). Potret islam aceh: diskursus keulamaan dan tradisi penulisan kitab melayu. Â 5(2)
Dhuhri, S. (2017). ACEH SERAMBI MEKKAH (Studi tentang Peran Ibadah Haji dalam Pengembangan Peradaban Aceh). Â 16(2):188-195. doi: 10.22373/JIIF.V16I2.750
Huwaid, M, R., & Arbi. (2024). Islam Pada Masa Kesultanan Di Asia Tenggara : Kajian Terhadap Kesultanan Aceh Darussalam Sebagai Penguat Isu-Isu Sosisl Moderasi Beragama Dan Menolak Radikalisme. Menara Ilmu, 18(1) doi: 10.31869/mi.v18i1.5551
Huda, Y. (2020). Islamic sharia in aceh and its implications in other regions in indonesia. Â 5(2):189-201. doi: 10.22373/PETITA.V5I2.98
Jalal, A, F, A., Affandi, R, Rahim, Abd., Kahal, S, M., Imran, M, Razak, A. (2017). Jalinan intelektual dan persaudaraan islam aceh di pahang: the aceh's intellectual and muslim brotherhood linkages in pahang. Journal of Southeast Asian Studies, 22(1):103-127. doi: 10.22452/JATI.VOL22NO1.8
Novita, Y., Mochlasin., Nirmalasari, S, A., Mubarok, S, Z, S., Febrianto, A, D., Umar, A, U, A, A. (2023). Analisis Sistem Ekonomi Kerajaan Aceh Darussalam pada Masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Journal on Education, 5(3):8333-8339. doi: 10.31004/joe.v5i3.1621
Pither, M, A. (2023). Lembaga Pendidikan Pesantren di Indonesia. JURNAL SIPATOKKONG BPSDM SULSEL, 3(4):239-249. doi: 10.58643/sipatokkong.v3i4.180
Pribadi, Y. (2013). RELIGIOUS NETWORKS IN MADURA Pesantren, Nahdlatul Ulama and Kiai as the Core of Santri Culture. Al-Jami'ah: journal of islamic studies, 51(1):1-32. doi: 10.14421/AJIS.2013.511.1-32
Priyana, Y., Rusdi, M., Tjahyadi, M, I., Imron, A. (2024). Ritual Dynamics and Spiritual Practices in the Teaching of Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Â doi: 10.58812/wsiss.v2i03.1132
Quinsten, A, S. (2022). Sufism, spiritual performativity and theological contestations: parallelisms of the aceh and perak sultanates across the centuries. International Journal of Asia-Pacific Studies, 18(2):315-337. doi: 10.21315/ijaps2022.18.2.13
Rahim, R, A., Jalal, A, F, A., Ismail, A, H., Ismail, H., Kadir, N A, A., Rosele, M , I., Kahal, S, M, B. (2017). Jalinan intelektual dan persaudaraan islam acheh di pahang. Â 1(1) doi: 10.22373/ARICIS.V1I0.955
Rosatria, E. (2014). 'Alqat arakat Nashr al-Islm wa al-Tarbyah al-Islmiyyah f ultanah Aceh. Studia Islamika, 3(1) doi: 10.15408/SDI.V3I1.815
Shadiqin, S, I. (2017). Di Bawah Payung Habib: Sejarah, Ritual, Dan Politik Tarekat Syattariyah Di Pantai Barat Aceh. Â 19(1):75-98. doi: 10.22373/SUBSTANTIA.V19I1.2914
Syarbaini, A. (2022). Konsep khilafah menurut ar-raniry dan syiah kuala. 17(1) doi: 10.58645/jurnalazkia.v17i1.206
Saragih, M, R, B, F., & Siregar, Y, D. (2023). The Islamization in the Malay Archipelago: a Study of Azyumardi Azra's Thought. Yupa: historical studies journal, Â doi: 10.30872/yupa.vi0.2045
Saby, Y. (2014). The Ulama in Aceh: A Brief Historical Survey. Studia Islamika, 8(1) doi: 10.15408/SDI.V8I1.694
Zikra, A., Irham, M., Wanto, S. (2023). Sejarah Peradaban Islam di Pulau Madura. Journal on Education, 5(2):3129-3136. doi: 10.31004/joe.v5i2.975
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H