Saat ini pemerintah melakukan pengembangan 1.000 desa organik di 23 Provinsi mendukungan pengembangan sistem pertanian organik. Sampai dengan tahun 2019 adalah 600 desa organik, berbasis tanaman pangan, 250 desa berbasis hortultura, dan 150 desa berbasis tanaman perkebunan. Selain itu pemerintah telah melakukan bimbingan teknis termasuk dalam sertifikasi produk organik. Berdasarkan data statistik yang dikemukakan oleh FiBL & IFOAM Indonesia merupakan salah satu negara yang masuk dalam kelompok 10 negara dengan luasan pahan pertanian organik tertinggi di Asia. Meningkatkan adaptasi sektor pertanian penting dilakukan dengan cara memperbaiki sarana penyediaan air. Program ini dilakukan melalui pengembangan teknik panen air hujan dan aliran permukaan dengan membangun embung, long storage, dan dam parit, pengembantan sistem irigasi, peningkatan upaya efisiensi pemanfaatan air irigasi dengan melakukan rehabilitasi jaringan tersier, pemasangan pipa, perbaikan pintu air, dan sistem irigasi suplemen, perbaikan daerah hulu dan hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) serta peningkatan kelembagaan pengelolaan air (Reuter dan Dariah, 2019).
Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 497 MTonCO2e pada tahun 2030 atau setara dengan 29% dari tingkat emisi dasar (baseline emission); dan lebih jauh yaitu sampai 650 MTonCO2e dengan dukungan internasional (setara 38% emisi BAU). Sektor pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lannya (AFOLU) ditargetkan berkontribusi sebesar 61% dari target penurunan emisi tersebut. Sementara untuk sektor energy ditargetkan sebesar 38% (MoEF, 2016). Sedangkan menurut (Boer dkk (2019) strategi kebijakan lainnya adalah :
- Mempercepat pembangunan unit pengelolaan hutan (KPH) yang dapat mengurangi kegiatan ilegal di dalam kawasan hutan dan meningkatkan keberhasilan kegiatan restorasi dan rehabilitasi hutan.
- Menerapkan sistem sertifikasi wajib pengelolaan hutan lestari (PKPHPL) dan perkebunan (ISPO)
- Mengurangi ketergantungan pada hutan alam dan memenuhi permintaan kayu dengan meningkatkan penggunaan kayu dari perkebunan khususnya karet dan sawit.
- Mengurangi tekanan pada hutan alam untuk perluasan pertanian melalui optimalisasi penggunaan lahan tidak produktif atau perbaikan tata ruang dan peningkatan produktivitas tanaman dan intensitas tanam.
- Memoratorium izin konsesi baru di lahan gambut.
Terdapat tantangan dalam menerapkan aplikasi Good Agrculture Pratices (GAP) dan High Yelding Variety (HYV) untuk petani kecil yakni akses ke pendanaan dan impor pertanian, khususnya bagi warga masyarakat yang tidak memiliki hak atas tanah untuk kegiatan pertanian mereka. Warga yang melakukan budidaya pertanian di dalam kawasan hutan sebagaian besar tidak dapat mengakses atau menerima dukungan dari pemerintahan karena berada di dalam kawasan hutan. Oleh karena itu target produksi jangka menengah minyak sawit (2030) harus dikurangi dari 160 juta ton CPO menjadi sekitar 80 juta ton Crude Palm Oil (CPO). Sehingga Indonesia masih dapat mengeskpor CPO dengan nilai sekitar US$50 miliar dan memenuhi permintaan domestik untuk produksi biofuel yang ditargetkan untuk energi NDC. Pengurangan target produksi sawit memberikan peluang perluasan areal bagi komoditas pertanian lainnya tanpa harus mendorong konversi hutan (Boer dkk, 2019). Mitigasi sektor energi dan program efisiensi energi juga melibatkan sektor pertanian. Konsumsi energi final digolongkan dalam sektor industri transportasi, rumah tangga, komersial, sera sub sektor pertanian konstruksi dan pertambangan. Target pencapaian 17% pada tahun 2025 yang diterapkan ke dalam sektor rumah tangga, sektor industri, bangunan gedung atau komersial, dan transportasi (Sutijastoto dkk, 84:2019).
KESIMPULAN
Jaringan bonding petani berhasil mempertahankan mekanisme adaptasi kolektif yang merupakan kapasitas perencanaan kolektif yang difasilitasi oleh aktor petani berpengetahuan. Mekanisme adaptasi kolektif berupa penentuan waktu tanam padi kolektif yang telah ditetapkan menjadi mekanisme formal sejak tahun 1998 pasca berakhirnya pengayaan pengetahuan petani dari SLPHT yang berupa kegiatan petani dalam hal pengamatan hama maupun perhitungan siklus pertumbuhan hama. perkembangan mekanisme ini menghadapi penyempurnaan yang berasal dari WIL yang memberikan informasi iklim sebagai tambahan komponen untuk keputusan waktu tanam padi yang lebih akurat. Mekanisme adaptasi kolektif petani menciptakan interaksi antara jaringan bonding dan jaringan bridging dalam membangun kapasitas perencanaan kolektif berbasis pembelajaran kelompok.
Perubahan iklim yang terjadi mengakibatkan musim kemarau lebih panjang dari tahun sebelumnya sehingga jumlah pasokan air berkurang bahkan petani mengalami kekeringan pada usahanya. Perekonomian rumah tangga petani juga terpengaruh sehingga petani memiliki keterbatasan finansial untuk melakukan adaptasi perubahan iklim. Pilihan adaptasi yang bisa dilakukan oleh petani adalah membersihkan irigasi secara rutin, mengganti varietas yang lebih tahan pada kondisi musim panas dan menyesuaikan waktu tebar benih dengan kondisi iklim, dimana adaptasi perubahan iklim yang dilakukan oleh petani tidak memerlukan biaya yang mahal. Usia serta pengalaman mempengaruhi keputusan petani melakukan adaptasi perubahan iklim yakni petani yang berusia lebih tinggi dan produktif lebih mampu merespon perubahan iklim dengan lebih baik karena memiliki pengalaman lebih lama dalam mengelola usahataninya.
SARAN
Memperkenalkan program edukasi perlu pemahaman adanya hal yang dipertimbangkan diantanya memperkenalkan kepada petani bahwa petani sebagai peneliti dan pembelajar merupakan hal penting guna mendukung pengembangan program penelitian kolaboratif transdisiplin. Mengakui kepemilikan petani atas temuan dan data mereka dalam kapasitas mereka sebagai pengukur curah hujan dan penyedia pengetahuan agar memotivasi petani untuk menyuarakan pandangan. Mendorong petani untuk saling bertukar pengalaman di dalam pertemuan-pertemuan rutin sehingga mendorong timbulnya motivasi untuk berpartisipasi dalam program berjangkan panjang. Membuka akses petani terhadap pengetahuan melalui dialog dan diskusi dengan pakar dan sumber-sumber pengetahuan lain untuk memperbaiki praktik-praktik uji adopsi dan budidaya tanaman. Meningkatkan kemampuan antisipasi dan adaptasi petani berdasarkan pengamatan dan pembelajaran agrometeorologi yang telah mereka lalui agar meningkatkan posisi tawar petani dalam setiap negosiasi dengan pihak-pihak lain yang berkepentingan termasuk pemerintah sebagai upaya meraih peluang mendapatkan proyek dan dukungan pendanaan.
Pemerintah pusat dan perangkat daerahnya perlu bekerja sama membuat peta jalan untuk membangun pusat pengetahuan perubahan iklim guna mendukung penguatan masyarakat akan pengetahuan dampak perubahan iklim dan sikap perilaku yang perlu dilakukan sebagai tindakan mitigasi adaptasi. Perlu dilakukan kampanye baik langsung maupun tidak langsung melalui berbagai media sosial, sehingga akan timbul kesadaran bagi masyarakat terkait perubahan iklim. Perlu membentuk kelompok kecil dan penuebaran tenaga ahli terintegrasi dengan tenaga penyuluh pertanian serta program kegiatan pembangunan yang lain akan sangat efektif dan efisien bisa segera terbangun dan terlaksana hingga sampai ke pelosok perdesaan.
DAFTAR PUSTAKAÂ
Boer, R. Immanuel, G, S. Anggraeni, L. Penulisan, A. Las, I. Ardiansyah, M. Sugardiman, R,A. dan Margono, B, A. 2019. Jalur Emisi Alternatif NDC Untuk Pertanian, Penggunaan Hutan Dan Lainnya (AFOLU) Dalam Memenuhi Target Paris Dan Implikasinya Pada Kedaulatan Pangan. Pembangunan dan Emisi Gas Rumah Kaca. Trilogo Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta : Penerbit Buku KompasÂ