Pengembangan dan pertukaran informasi prakiraan cuaca bulanan terkini dalam format skenarion curah hujan musiman;
Pertukaran pengetahuan baru terkait dengan kelima hal yang telah disebutkan;
Melakukan eksperimen lapangan untuk mengembangkan praktik-praktik budidaya tanaman yang terbaik dan memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan urgen yang muncul di tingkat lokal.
ADAPTASI PERTANIAN DALAM PERUBAHAN IKLIM
Beberapa negara telah menerapkan kampung cerdas iklim sebagai bentuk adaptasi perubahan iklim yaitu kampung cerdas iklim (Climate Smart Village/CSV). Konsep ini mempunyai 5 pendekatan yang bisa diaplikasikan dalam pengembangan kampung cerdas iklim (Climate Smart Village/CSV), yaitu:
- Pendekatan pengelolaan DAS
- Pendekatan multimodel futuristic
- Pendekatan teknologi digital
- Pendekatan sistem pertanian dengan acuan iklim, dan
- Pendekatan iklim dan pemodelan tanaman.
Berdasarkan perbandingan pengembangan CSV di Asia, Afrika dan Amerika Latin kebanyakan berupa adaptasi bidang pertanian. Pendekatan desa cerdas iklim (CSV) mengarusutamakan pertanian cerdas iklim (CSA) menunjukkan peningkatan produktivitas, pendapatan, dan pengurangan risiko iklim. Sedangkan program kampung iklim bertujuan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai perubahan iklim dan memahami dampak dari perbuhan iklim. Melalui adanya pemahaman tersebut diharapkan dapat mendorong tindakan nyata agar meningkatkan ketahanan masyarakat serta memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan berkontribusi terhadap upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (Peraturan Direktur Jenderal Pengedalian Perubahan Iklim Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, (2017). Program Kampung Iklim dalam tahap pelaksanaan mencakup 2 kegiatan utama yang dijadikan sebagai prioritasi program, meliputi: adaptasi perubahan iklim dan mitigasi perubahan iklim (Zo et al., 2022).
Ketahanan iklim dalam era rovolusi industri 4.0 menjadi tantangan yang semakin berat seiring dengan peningkatan populasi penduduk karena semakin banyak kebutuhan sumber daya alam. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Prof. Dr Siti Nurbaya Bakar (2019) yakni bertambahnya populasi tekanan pada sumber daya alam yang sudah terbatas akan semakin meingkat, maka Indonesia perlu membangun ketahanan iklim dalam sistem pangan, air dan energi nasional melalui aksi pertanian dan perkebunan yang berkelanjutan, pengelolaan daerah aliran sungai terpadu, rekduksi deforestasi hutan, konservasi lahan, pemanfaatan lahan terdegradasi untuk energi terbarukan, perbaikan efisiensi energi dan pola konsumsi.
Salah satu intervensi kebijakan yang dapat dilakukan dalam rangka pembangunan rendah karbon adalah meningkatkan produktivitas pertanian, intensifikasi pertanian dan efisiensi pemanfaatan sumber daya alam. Kemudian memastikan upaya reforestasi, pencegahan deforestasi, restorasi lahan dan gambut, implementasi RTRW, memoratorium kelapa sawit dan hutan primer (Brojonegoro & Rudiyanto, 2019). Kedua tindakan tersebut sangat mengarah pada sektor pertanian dalam rangka menghadapi perubahan iklim. Dampak dari perubahan iklim juga menyebabkan semakin langkanya sumerdaya air untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian dan industri (Yuwono dkk, 2019). Selain itu sektor pertanian didominasi metana dan budidaya padi sawah mengalami penggenangan (Murdiyarso & Adiwibowo, 2019).
Terdapat faktor yang membuat golongan miskin menjadi rentan terhadap dampak negatif dari perubahan iklim global yakni negara-negara miskin di negara sedang berkembang umumnya bergantung pada sekotr yang sensitif terhadap gejolak perubahan iklim, yaitu pertanian, peternakan dan perikanan. Di negara-negara tersebut penduduk miskin menggantungkan kehidupan pada sektor-sektor yang sensitif iklim sehingga dampak perubahan iklim lebih dulu dan lebih berat menimpa penduduk miskin (Sunito dkk, 2019). Oleh karena itu adaptasi perubahan iklim dapat dilakukan dengan program yang sesuai kapasitas seperti Proklim (Program Kampung Iklim). Ada keunggulan dan keunikan Proklim yaitu pada upaya mitigasi dan adaptasi yang dilakukan bersama-sama di tingkat lokal meliputi (Peraturan Menteri LHK No 84/MENLHKSETJEN/KUM.1. 11/2016, tentang program kampung iklim :
- Mitigasi : Pengelolaan sampah, limbah padat cair, penggunaan energi baru terbarukan dan konservasi energi, budidaya pertanian rendah emisi GRK, peningkatan tutupan vegetasi dan pencegarahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan;
- Adaptasi : pengendalian kekeringan, banjir dan longsor, peningkatan ketahanan pangan (food resiliency), penanganan antisipasi kenaikan muka iar laut, rob, intrusi air laut, abrasi, ablasi, atau erosi akibat angina dan gelombang tinggi dan pengendalian penyakit terkait iklim (Justianto dkk, 2019).
Konsep Integrated Forestry Farming System (IFFS), merupakan konsep dan sekaligus program Forest Conservation Policy. Pada konsep tersebut menekankan pertanian yang renah emisi. Menurut Justianto dkk (2019) kegiatan yang terkait dengan penurunan atau pengurangan emisi gas rumah kaca salah satunya Pertanian Kota (Urban Farming) yang merupakan prakarsa cerdas untuk mendukung keamanan pangan, mengatasi keterbatasan lahan dan mengurangi produksi sampah di kawasan perkotaan. Hal ini sejalan dengan konsep penurunan emisi yang ditempuh melalui 5 sektor yaitu energi, limbah industri, pertanian dan kehutanan (land use, lan-use change, and forestry), termasuk lahan gambut (NDC Indonesia dalam Sugardiman dkk, 2019). Selai itu sektor pertanian juga mempunyai fungsi ekologis, karena mampu menghasilkan jasa lingkungan, termasuk perannya dalam upaya penurunan emis Gas Rumah Kaca. Hingga saat ini salah satu target utama pembangunan pertanian adalah mewujudkan kedaulatan pangan dan agar Indonesia dapat mengatur dan memenuhi kebutuhan pangannya secara berdaulat (Reuter dan Dariah, 2019).
Fenomena perubahan iklim sangat berdampak terhadap variabilitas produksi pertanian, tertama terhadap produktivitas komoditas tanaman pangan. Adapun dampak perubahan iklim di sektor pertanian ada yang bersifat langsung maupun tidak langsung, continue (terus menerus) dan permanen (sulit atau tidak bisa dipulihkan), atau discontinue (tidak berlanjut) dampak ini mencakup aspek biofisik maupun sosial ekonomi. Berdasarkan First Biennal Update Report (2015) pada skala nasional, proporsi emisi dari aktivitas pertaian (non farm) adalah sekitar 122.727 Gg CO2eq atau 7,8% dari total emisi nasional. Sember emisi terbesar dari aktivitas pertanian bersumber dari lahan sawah (31%), direct N20 tanah yang bersumber dari peggunaan pupuk N yaitu urea, ZA, dan NPK (29%), dan peternakan (27%), indirect N20 (7%), sisanya emisi CO2 dari aplikasi urea (4%), pembakaran biomassa (3%) dan kapur (2%). Pertanian juga berkontribusi dalam menghasilkan yang bersumber dari perubahan penggunaan lahan yang proporsinya sekitar 48% dari total emisi nasional (Reuter dan Dariah, 2019). Maka dengan cara teknologi budidaya sektor pertanian bisa memenuhi penurunan emisi melebihi yang ditargetkan, yaitu sebesar 8-11 juta ton CO2 equivalen pertahuan sebelum 2020.