Adaptasi yang berkelanjutan dipengaruhi oleh pengetahuan pengetahuan, kapasitas adaptif, keterampilan, sumberdaya, kelembagaan yang dapat diakses untuk bisa menrapkan adaptasi secara efektif dan persepsi. Sejatinya pemikiran terhadap dampak perubahan iklim yang memengaruhi adaptasi. Pemahaman terhadap adaptasi dapat membantu dalam merespon dampak perubahan iklim agar dapat mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan. Oleh karena itu dalam artikel ini akan dibahas tentang pertanian cerdas iklim sebagai modal adaptasi pertanian di tengah terjadinya perubahan iklim.
Menerapkan mekanisme kolektif diperlukan adanya kepercayaan para petani akan pengetahuan baru sehingga memberikan dukungan dalam memperkuat keputusan kolektif gunan menentukan penanaman padi. Maka akan ada peningkatan kapasitas kolektif petani dalam hal koordinasi berdasarkan informasi dari masing masing bonding, bridging, dan linking. Kapasitas koordinasi menjadi cerminan gabungan distribusi daya dari masing-masing jaringan dalam hal informasi yang mendukung perencanaan waktu tanam padi. Informasi yang relevan adalah informasi pertumbuhan hama di lahan sawah yang berasal dari jaringan bonding, informasi ketersediaan air di saluran irigasi berasal dari jaringan linking dan informasi iklim berasal dari jaringan bridging.
Beberapa indikator dalam bonding social capital yakni kohesi sosial, identitas sosial, keterikatan dengan tempat, komunitas yang partisipatif dalam pengambilan keputusan, kesiapan sosial dalam menghadapi bencana, kesukarelaan dan kepemimpinan dalam komunitas. Fungsi dari bridging social capital sebagai pelekat hubungan di luar kelompok yang bekerja dalam lingkup kelembagaan dengan indikator yang meliputi jaringan komunitas dan jaringan informasi. Bridging social capital mampu memberikan pengaruh positif dalam resiliensi sosial komunitas dalam menghadapi bencana maupun relasi dalam lingkungan sosial. Selanjutnya jaringan linking social capital adalah hubungan dan interaksi sosial di antara aktor-aktor lembaga formal yang memiliki kuasa yang penerapannya berupa hubungan patron client. Adanya hubungan patron client pada komunitas nelayan dapat memberikan ketersediaan alat produksi. Hal ini menjadi faktor yang memperkuat mekanisme resiliensi komunitas berbasis tempatan (place-based). Jaringan kapital sosial memberikan kapasitas terbatas bagi nelayan dalam hal akses kapital fisik dan distribusi sumber daya (Izmen & Grel, 2020).
Implementasi pertanian cerdas dapat pula menerapkan konsep SLPHT (Sekolah Lapang Pengendali Hama Terpadu) yang menekankan pada prinsip PHT (Pengelolaan Hama Terpadu) sebagai bagian praktek pertanian yang berbasis pada pengamatan petani di lahan sawahnya. Menurut Wulansari (2022) SLPHT memperkenalkan petani pada prinsip PHT (Pengelolaan Hama Terpadu) dengan menitikberatkan pada kehadiran predator alami hama. Penggunaan pestisida dapat dilakukan jika hama di lahan sawah tidak bisa dikendalikan oleh predator alami hama. Prinsip ini menekankan bahwa pestisida dapat dipakai jika proses pengamatan hama telah dilewati. Apabila ditemukan 10 ekor hama dalam satu rumpun padi maka sudah mencapai ambang batas hama namun jika di bawah itu, maka pengendalian hama cukup bergantung pada keberadaan musuh alami hama seperti tomcat, capung, maupun laba-laba. Selai itu SLPHT menekankan pemakaian pestisida yang tidak bersifat sistemik atau tidak membunuh musuh alami hama.
Selanjutnya metode penerapan pertanian cerdas dapat dilakukan dengan menerapkan Warung Ilmiah Lapangan (WIL) yang memiliki tujuh jasa pelayanan iklim bagi petani meliputi pengukuran curah hujan harian dengan pengamatan di lahan sendiri, pengamatan harian agroekologi, pengukuran panen dan memahami perbedaan antara penanaman, musim dan tahun, pelembagaan, pembangunan dan pertukaran prediksi iklim musiman yang diperbaharui perbulan berbentuk skenario curah hujan musiman, pertukaran pengetahuan baru serta pembangunan percobaan lahan untuk membangun praktek baik. WIL juga memberikan dampingan kepada petani melalui Kelompok Petani Pengukur Curah Hujan. Keterlibatan petani tersebut ditandai dengan kerelaan untuk melakukan pembelajaran melalui mengukur curah hujan, mencatat dan mengamati di lahan sawah setiap harinya. Kerelaan untuk melakukan pembelajaran menjadi hal yang signifikan terbentuknya pembelajaran petani secara berkelompok. Pencatatan dilakukan sebagai proses pembelajaran yang melibatkan partisipasi petani secara aktif guna mengukur curah hujan, membuat observasi terkait kondisi tanah, pengelolaan air, pengamatan hama serta perkembangan pertumbuhan tanaman, yang penting sebagai dasar keseharian, serta berpartisipasi dalam diskusi (Wulansari, 2022).
Menurut Winarto dkk (2019) ada sejumlah tujuh jasa layanan iklim telah dikembangkan dalam WIL, termasuk panduan diantaranya :
Pengukuran curah hujan harian dilakukan oleh semua pengukur curah hujan di petak pertanian mereka sendiri;
Pengamatan agroekosistem dilakukan setiap hari;
Perhitungan hasil panen dan memahami perbedaan antarpetak, musim dan tahun;
Pengorganisasian WIL;