Besok Emak pulang. Rasanya aku sudah tak sabar lagi, melihat langsung seperti apa wajah wanita yang melahirkanku itu. Apakah benar seperti yang selama ini kubayangkan atau diceritakan Kakek dan nenek setiap kali menjelang tidur.
Malam semakin larut. Eyang Kakung dan Uti sudah tertidur lelap. Namun mataku rasanya tetap susah dipejamkan. Aku ingin waktu berjalan dengan begitu cepat. Sudah lama aku menginginkan saat-saat seperti ini. Aku ingin memeluk emak. Aku ingin bisa pergi kemana-mana bersama emak seperti teman-temanku yang lain. Sungguh, tak bisa kugambarkan kebahagiaan yang kini kurasakan. Setelah sekian lama akhirnya aku bakal berjumpa sosok yang selalu kurindukan setiap mimpiku. Sosok yang selalu kuucapkan dalam doa-doaku. Aku rindu emak.
Hingga sekarang ini, saat usiaku menginjak duabelas tahun, aku belum pernah berjumpa dengan emak. Selama ini aku mengenali emak melalui telepon atau melihat foto-fotonya yang dikirim lewat pos. Itupun hanya sesekali saja. Emak bilang tak ingin menghambur-hamburkan duit. Lebih baik duit ditabung buat biaya sekolahku nanti.
Emak ingin aku jadi anak pintar dan bisa menjadi dokter seperti Pak Doni, menantu pak lurah. Ia tak mau aku jadi orang bodoh seperti dirinya. Maka dari itulah meski jarang menelpon, ia selalu mengingatkan aku selalu belajar dan jangan jadi anak bandel.
Setiap bulan emak selalu kirim duit buat biaya sekolahku. Meski begitu Emak tak pernah cerita soal pekerjaanya selama ini. Aku hanya tahu dari cerita Eyang, delapan tahun lalu saat umurku belum genap tiga tahun Emak pergi ke Saudi Arabia menjadi TKW, atas ajakan teman semasa di SMPnya. Semua beban harus emak tanggung setelah cerai dengan Bapak. Dari omongan tetangga aku pernah dengar Bapak kawin lagi dengan orang seberang setelah setahun jadi TKI di Malaysia. Karena itulah emak selalu marap setiap kali aku bertanya soal Bapak. “ Bapakmu sudah mati. Tak usah dicari-cari lagi,” begitu kata Emak dengan nada kesal.
Sebenarnya sudah beberapa kali Emak pernah bilang akan pulang kampung. Tapi selalu saja ia tak pernah menepati ucapanya. Aku masih ingat terakhir kali ia janji pulang tiga tahun lalu saat aku ulang tahun. Rasanya masih tergambar jelas bagaimana senangnya perasaanku waktu itu.
Malam itu persis seperti malam ini, aku juga tak bisa tidur. Meski badanku sudah capek karena seharian selepas pulang sekolah mencari hadiah istimewa buat Emak. Sengaja aku mencari aneka macam daun kering dan kubuat menjadi sebuah album foto kecil. Seperti yang sudah diajarkan ibu guru di sekolah. Aku ingin pamer pada emak, aku sudah pandai membuat banyak hal salah satunya figura dari karton berhias daun-daun kering. Rencananya, di figura itu bakal kupasang fotoku saat juara lomba baca puisi tingkat kecamatan. Pada lomba yang diselenggarakan dalam rangka memperingati hari ibu itu, aku menjadi juara kedua.
Semalaman jantungku berdebar-debar. Aku ingin memeluk Emak. Meski sebenarnya bukan itu satu-satunya alasanku bertemu dia. Aku ingin menagih janjinya bakal membelikanku tas dan sepetu baru jika nilai raporku berhasil masuk rangking tiga besar. Aku ingin sepatu baru seperti teman-temanku lain, model terbaru. Tak seperti sepatu pemberian Eyang, sudah hampir rusak. Sebelumnya aku beberapa kali merengek minta sepatu baru pada Eyang tapi duitnya memang tak ada.
Pagi hari sekali, sebelum adzan Subuh aku sudah bangun. Bahkan lebih dulu dari Eyang dan Uti. Aku langsung mandi dan sholat Subuh. Aku ingin terlihat lebih dewasa di depan emak, meski usiaku baru delapan tahun.
Aku menunggu Emak pulang. Satu jam kemudian Emak tak jua datang. Dua jam kemudian juga belum datang. Hingga siang hari ada pak pos datang membawa sebuah kardus besar. Eyang yang menerima kiriman itu. Setelah dibuka isinya aneka macam hadiah ada tas, sepatu, baju baru buatku.
“ Ini kiriman dari Emakmu. Selamat ulang tahun ya sayang,” kata Eyang sambil memelukku. Namun, aku hanya diam saja, cemberut, dan bertanya : “Emak mana? Emak katanya pulang?”
“Emak belum bisa pulang sayang. Ia masih sibuk cari duit buatmu. Bukankah emak sudah mengiirim banyak hadiah,” kata Eyang terus mencoba menghiburku.
Semenjak peristiwa itu aku kecewa dengan Emak. Ia tak menepati janji. Selama beberapa hari aku menangis dan ngambek tak mau pergi ke sekolah. Eyang dan Uti sempat kewalahan mencoba menghiburku bahkan suatu hari ketika Emak menelpon, aku tak mau bicara dengannya. “Aku benci emak. Emak tukang bohong. Aku tak punya emak,” kataku sambil teriak setiap emak memaksa bicara denganku lewat telepon.
Mungkin emak merasa bersalah padaku. Sampai-sampai untuk menebus kesalahan setiap bulan ada saja hadiah dari emak. Awalnya aku tak mau menerima. Semua barang itu tersimpan begitu saja di sudut kamar. Namun lambat laun aku kasihan juga dengan emak. Ada perasaan bersalah padanya sehingga suatu hari ketika emak menelpon aku bersedia bicara denganya sambil menangis. “ Emak janji, jangan bohong lagi ya,” kataku pada emak.
Sekarang tentunya Emak sudah sadar. Aku bukanlah anak kecil lagi yang gampang dibohongi. Aku sudah lulus bangku sekolah dasar dan duduk di kelas satu SMP. Aku juga sudah lebih dewasa. Semoga saja kali ini emak benar-benar memenuhi janjinya. Mataku pun sudah terasa berat. Bayangan Emak terasa makin dekat. Sambil mendekap guling aku terlelap.
Pagi buta, kami terbangun oleh kedatangan pak lurah. Aku masih mengantuk sehingga tak jelas mendengar apa yang sedang dibicarakan dengan Eyang dan Uti. Tak lama Pak Lurah bertamu dan sepertinya ada sesuatu yang terjadi.
“Indah, cepat bangun. Segera mandi, Sholat Subuh. Nanti ikut Eyang dan Uti ke rumah sakit,”
“Baik Eyang,”
Segera saja aku bangun. Aku masih menyimpan satu tanda tanya apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa harus ikut Eyang dan Uti. Bukankah hari ini rencananya Emak pulang. Jika semua keluar siapa yang akan membukakan pintu. Kasihan Emak sudah datang jauh-jauh dari Saudi Arabia.
Selepas Sholat aku pun bersiap. Aku memakai celana kain, kaos lengan panjang dan kerudung warna merah marun. Sebenarnya aku ingin memakai kerudung ini di depan emak tapi ya sudahlah sama saja daripada harus gonta-ganti baju.
Ternyata Eyang dan Uti sudah menungguku di teras rumah. Tak hanya mereka berdua saja tapi ada juga pak Lurah dengan membawa mobil vannya. “Aku sudah siap Eyang,”
Kamipun segera berangkat. Aku masih bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi. Kami mau pergi kemana. Pasti ada sesuatu yang sedang terjadi. Satu demi satu kuamati wajah Eyang, Uti dan pak Lurah. Semuanya seperti sedang menyimpan sesuatu. Bahkan sempat air mata menetes dari mata Uti namun secepat kilat Eyang memberi sapu tangan meminta Uti mengusapnya.
Setelah mengitari jalanan kota aku baru sadar akan kemana tujuan mobil ini. Tak salah lagi, kami menuju Rumah Sakit daerah. Sebulan lalu Eyang dan Uti pernah mengajakku ke tempat itu membesuk Mbah Warni, adik kandung Eyang. ”Lalu siapa yang sekarang sakit?” pertanyaan itu masih mengusikku.
Sesampainya di rumah sakit daerah kami langsung menuju ruang rawat inap. Kami bertiga mengikuti langkah pak Lurah. Di depan sebuah kamar pak lurah berhenti dan mengucapkan sesuatu pada Eyang dan Uti. Ia menunggu di depan sementara Eyang, Uti dan aku masuk.
Di dalam aku langsung ketakutan. Seseorang tergolek dengan lemas di ranjang. Kondisinya sungguh mengenaskan. Tanganya penuh dengan luka, begitu pula dengan wajahnya. Selang infus tertancap di tangan dan selang oksigen ada di hidungnya. Seorang perawat mencatat sesuatu dan seorang lagi mungkin saja dokter yang bertugas berbicara pada Eyang. Setelah berbisik sesuatu keduanya lalu meninggalkan ruangan.
“Indah, kemari nak!” Uti memanggilku,
Dengan ragu-ragu aku mendekat. Begitu mendekat Uti langsung memelukku.
“Yang sabar ya nak,” kata Uti sambil terisak dan meneteskan air mata,
Aku masih belum mengerti apa maksud Uti berkata demikian.
“Kau lihat siapa yang tengah dirawat itu?”
“Tidak Uti,”
“Itu Emakmu nak,”
Kata-kata Uti sontak mengagetkanku. Seperti petir yang menyambar-nyambar.
“Tidak mungkin Uti. Itu bukan Emak. Itu bukan Emak,’
Aku masih belum percaya semua yang dikatakan Uti. Aku meronta-ronta dan tiba-tiba saja tubuhku lemas. Seketika itu juga aku tak sadarkan diri.
Rupanya cukup lama aku tak sadarkan diri. Saat siuman sayup-sayup kudengar lantunan ayat-ayat suci di rumah Eyang. Di dekatku ada bu lurah. Melihatku sadar ia langsung memelukku.
“Sabar ya, nak,”
“Emak bohong lagi,” kataku sambil terisak sementara bu Lurah terus mengusap-usap rambutku.
Karanggede, 29 Juli 2011
Fathoni Arief
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H