Setelah mengitari jalanan kota aku baru sadar akan kemana tujuan mobil ini. Tak salah lagi, kami menuju Rumah Sakit daerah. Sebulan lalu Eyang dan Uti pernah mengajakku ke tempat itu membesuk Mbah Warni, adik kandung Eyang. ”Lalu siapa yang sekarang sakit?” pertanyaan itu masih mengusikku.
Sesampainya di rumah sakit daerah kami langsung menuju ruang rawat inap. Kami bertiga mengikuti langkah pak Lurah. Di depan sebuah kamar pak lurah berhenti dan mengucapkan sesuatu pada Eyang dan Uti. Ia menunggu di depan sementara Eyang, Uti dan aku masuk.
Di dalam aku langsung ketakutan. Seseorang tergolek dengan lemas di ranjang. Kondisinya sungguh mengenaskan. Tanganya penuh dengan luka, begitu pula dengan wajahnya. Selang infus tertancap di tangan dan selang oksigen ada di hidungnya. Seorang perawat mencatat sesuatu dan seorang lagi mungkin saja dokter yang bertugas berbicara pada Eyang. Setelah berbisik sesuatu keduanya lalu meninggalkan ruangan.
“Indah, kemari nak!” Uti memanggilku,
Dengan ragu-ragu aku mendekat. Begitu mendekat Uti langsung memelukku.
“Yang sabar ya nak,” kata Uti sambil terisak dan meneteskan air mata,
Aku masih belum mengerti apa maksud Uti berkata demikian.
“Kau lihat siapa yang tengah dirawat itu?”
“Tidak Uti,”
“Itu Emakmu nak,”
Kata-kata Uti sontak mengagetkanku. Seperti petir yang menyambar-nyambar.