Sebagai mahasiswa sosiologi yang mau tidak mau harus bisa berpikir kritis, analitis, juga reflektif. Oleh karena itu, saya merasa memiliki kewajiban untuk melek terhadap berbagai isu-isu atau fenomena-fenomena sosial atau budaya yang terjadi di sekitar. Salah satunya adalah fenomena Indonenglish.
Mungkin sedikit asing di telinga kita terkait  istilah Indonenglish ini karena kita biasa menyebutnya sebagai "bahasa anak Jaksel". Fenomena Indonenglish atau Englonesian, yakni penggunaan percampuran bahasa antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris atau sebaliknya. Penggunaan Indonenglish ini sudah merasuk dan tersebar hampir di seluruh daerah, bahkan juga menjadi standar agar bisa 'diterima' di sebuah pergaulan di kalangan muda mudi Gen Z. Kebanyakan dari generasi muda sekarang merasa lebih mudah dan lebih nyambung ketika berbicara menggunakan bahasa Inggris. Namun ada juga yang berpendapat bahwa berbicara dengan kalimat-kalimat Indonenglish dapat mengasah kemampuan berbicara bahasa Inggris.
Fenomena ini tersebar begitu cepat disebabkan oleh beberapa faktor, yakni semakin canggihnya teknologi internet, pengaruh dari para influencer di media sosial, dan pengaruh globalisasi. Adapun beberapa contoh kalimat Indonenglish yang biasa kita jumpai, "duh cape banget kerja seharian, kayanya butuh healing deh", "kayanya weekend ini mau di rumah aja deh, social battery-ku udah habis", dan masih banyak contoh lainnya.
Tentunya hal ini menjadi perdebatan diantara kalangan ahli bahasa dan kritikus sastra. Mereka khawatir bahwa Indonenglish ini menggeser posisi bahasa Indonesia yang murni sebagai bahasa ibu. Hingga kini, Penulis esai referensi saya, masih belum menemukan sumber historis yang dapat dijadikan rujukan bagaimana awal mula terjadinya fenomena Indonenglish. Penulis mengungkapkan alasan mengapa sulitnya ditemukan sumber histori yang cukup kuat dikarenakan fenomena ini sudah menjadi praktik yang lumrah di masyarakat dan tidak perlu diperdebatkan.
Serupa dengan IndonenglishÂ
Fenomena yang serupa dengan Indonenglish juga terjadi di negara Filipina yang disebut dengan Taglish, yakni percampuran antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris. Masyarakat Filipina sering menggunakan Taglish ini dalam situasi informal, seperti percakpan sehari-hari, televisi,radio, dan film. Hal ini disebabkan karena saat ini, bahasa Tagalog dan bahasa Inggris menjadi dua bahasa resmi di Filipina. Adapun beberapa contoh dari pengunaan Taglish:
- "Mag-lunch tayo sa mall" (Ayo kita makan siang di mal)
- " Nag-drive ako papunta sa office" (Saya mengemudi ke kantor)
- "Text mo ako later" (kirim pesan teks ke saya nanti)
Dari esai referensi yang saya baca, Penulis menyebutkan bahwa fenomena Indonenglish ini merupakan hasil dari captive mind. Syed Husein Alatas menggunakan istilah ini untuk menggambarkan bagaimana pemikiran-pemikiran di negara berkembang di dominasi oleh pemikiran Barat secara tidak kritis dan imitasi. Penulis setuju dengan pendapat Alatas yang menyatakan bahwa terjadinya captive mind ini disebabkan oleh pemimpin dan orang-orang yang menjalankan roda pemerintahan dikelilingi oleh bakat-bakat yang inferior dan payah, juga tidak punya tujuan yang berbasis pada hakikat kebudayaan dan pengetahuannya sendiri.
Dalam konteks Indonenglish, penggunaan campuran bahasa Indonesia dan Inggris mencerminkan bagaimana generasi muda, terutama yang terpengaruh oleh media sosial dan canggihnya teknologi, lebih memilih untuk menggunakan bahasa yang dianggap lebih modern dan lebih cool. Captive mind ini tentu memiliki beberapa dampak yang signifikan, diantaranya penururnan apresiasi terhadap bahasa lokal, inferioritas budaya, dan ketergantungan terhadap budaya asing.
Bagaimana solusinya?
Dari sumber yang saya gunakan untuk tulisan ini, dijelaskan bahwa Mendikbud-Ristek mengusulkan upaya untuk mereduksi berkembangnya Indonenglish yaitu dengan internasionalisasi bahasa Indonesia. Nadiem menawarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa perantara bahasa resmi ASEAN. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan dan melindungi bahasa dan sastra Indonesia. Penguatan kebijakan bahasa dalam konten-konten lokal seperti film, iklan, konten media sosial juga perlu ditegaskan. Apalagi kalau kita melihat kondisi masa kini, segala informasi sangat mudah tersebar dan terserap masyarakat melalui jejaring internet dan teknologi. Dengan memperkuat kebijakan bahasa dalam konten-konten lokal, diharapkan bahasa Indonesia dapat tetap mendominasi di tengah arus globalisasi.
Selain itu, pengedukasian yang mendalam untuk masyarakat tentang pentingnya bahasa Indonesia sebagai identitas budaya, bagaimana caranya menumbuhkan serta menguatkan sikap apresiasi terhadap bahasa nasional, juga edukasi bagaimana kita menyikapi globalisasi dan pengaruh budaya asing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H