Mohon tunggu...
Fathia Hammany
Fathia Hammany Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Sosiologi UIN Sunan Kalijaga

Apapun yang aku lihat, rasa, dengar, akan kutulis disini

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Indonenglish: Fenomena Bahasa Anak Jaksel dan Pengaruh Captive Mind

21 September 2024   10:04 Diperbarui: 21 September 2024   10:07 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai mahasiswa sosiologi yang mau tidak mau harus bisa berpikir kritis, analitis, juga reflektif. Oleh karena itu, saya merasa memiliki kewajiban untuk melek terhadap berbagai isu-isu atau fenomena-fenomena sosial atau budaya yang terjadi di sekitar. Salah satunya adalah fenomena Indonenglish.

Mungkin sedikit asing di telinga kita terkait  istilah Indonenglish ini karena kita biasa menyebutnya sebagai "bahasa anak Jaksel". Fenomena Indonenglish atau Englonesian, yakni penggunaan percampuran bahasa antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris atau sebaliknya. Penggunaan Indonenglish ini sudah merasuk dan tersebar hampir di seluruh daerah, bahkan juga menjadi standar agar bisa 'diterima' di sebuah pergaulan di kalangan muda mudi Gen Z. Kebanyakan dari generasi muda sekarang merasa lebih mudah dan lebih nyambung ketika berbicara menggunakan bahasa Inggris. Namun ada juga yang berpendapat bahwa berbicara dengan kalimat-kalimat Indonenglish dapat mengasah kemampuan berbicara bahasa Inggris.

Fenomena ini tersebar begitu cepat disebabkan oleh beberapa faktor, yakni semakin canggihnya teknologi internet, pengaruh dari para influencer di media sosial, dan pengaruh globalisasi. Adapun beberapa contoh kalimat Indonenglish yang biasa kita jumpai, "duh cape banget kerja seharian, kayanya butuh healing deh", "kayanya weekend ini mau di rumah aja deh, social battery-ku udah habis", dan masih banyak contoh lainnya.

Tentunya hal ini menjadi perdebatan diantara kalangan ahli bahasa dan kritikus sastra. Mereka khawatir bahwa Indonenglish ini menggeser posisi bahasa Indonesia yang murni sebagai bahasa ibu. Hingga kini, Penulis esai referensi saya, masih belum menemukan sumber historis yang dapat dijadikan rujukan bagaimana awal mula terjadinya fenomena Indonenglish. Penulis mengungkapkan alasan mengapa sulitnya ditemukan sumber histori yang cukup kuat dikarenakan fenomena ini sudah menjadi praktik yang lumrah di masyarakat dan tidak perlu diperdebatkan.

Serupa dengan Indonenglish 

Fenomena yang serupa dengan Indonenglish juga terjadi di negara Filipina yang disebut dengan Taglish, yakni percampuran antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris. Masyarakat Filipina sering menggunakan Taglish ini dalam situasi informal, seperti percakpan sehari-hari, televisi,radio, dan film. Hal ini disebabkan karena saat ini, bahasa Tagalog dan bahasa Inggris menjadi dua bahasa resmi di Filipina. Adapun beberapa contoh dari pengunaan Taglish:

  • "Mag-lunch tayo sa mall" (Ayo kita makan siang di mal)
  • " Nag-drive ako papunta sa office" (Saya mengemudi ke kantor)
  • "Text mo ako later" (kirim pesan teks ke saya nanti)

Captive Mind

Dari esai referensi yang saya baca, Penulis menyebutkan bahwa fenomena Indonenglish ini merupakan hasil dari captive mind. Syed Husein Alatas menggunakan istilah ini untuk menggambarkan bagaimana pemikiran-pemikiran di negara berkembang di dominasi oleh pemikiran Barat secara tidak kritis dan imitasi. Penulis setuju dengan pendapat Alatas yang menyatakan bahwa terjadinya captive mind ini disebabkan oleh pemimpin dan orang-orang yang menjalankan roda pemerintahan dikelilingi oleh bakat-bakat yang inferior dan payah, juga tidak punya tujuan yang berbasis pada hakikat kebudayaan dan pengetahuannya sendiri.

Dalam konteks Indonenglish, penggunaan campuran bahasa Indonesia dan Inggris mencerminkan bagaimana generasi muda, terutama yang terpengaruh oleh media sosial dan canggihnya teknologi, lebih memilih untuk menggunakan bahasa yang dianggap lebih modern dan lebih cool. Captive mind ini tentu memiliki beberapa dampak yang signifikan, diantaranya penururnan apresiasi terhadap bahasa lokal, inferioritas budaya, dan ketergantungan terhadap budaya asing.

Bagaimana solusinya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun