Sudah lebih dari tujuh bulan Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) diundangkan dan berlaku di Indonesia. UUTPKS merupakan salah satu undang-undang yang proses penyusunan, pengesahan, dan pengundangannya memerlukan waktu yang cukup panjang.Â
Setidaknya, UU TPKS ini membutuhkan waktu 10 tahun untuk diundangkan sejak Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menginisiasinya pada 2012 lalu. Berbagai forum diskusi dan penyelarasan fakta di lapangan pun dilakukan banyak pihak untuk menyusun Rancangan UU TPKS ini.Â
Untuk pertama kalinya, Rancangan UU TPKS ini dibahas di DPR RI pada Mei 2016, dan harus berulang kali keluar masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas.Â
Pembahasannya pun baru dimulai pada 2018 dan berlangsung lamban. Rancangan UU TPKS ini sempat dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas pada Juli 2020, kemudian dimasukkan kembali pada 2021. Â Setelah melalui proses panjang, Rancangan UU TPKS ini pun akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang pada 12 April 2022 dan berlaku sejak 9 Mei 2022.Â
Berlakunya UU TPKS memberikan harapan perlindungan yang lebih kuat kepada masyarakat Indonesia, khususnya perempuan, anak, dan kelompok disabilitas dari ancaman kekerasan seksual dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.Â
Setidaknya, perlindungan hukum di dalam UU TPKS tercermin dari pengaturan (i) enam elemen kunci, yakni pemidanaan, pencegahan, pemulihan, tindak pidana, pemantauan, serta hukum acara, dan (ii) sembilan bentuk kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual nonfisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, penyiksaan seksual, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual, kekerasan seksual dengan sarana elektronik, dan eksploitasi seksual.
Pengaturan enam elemen kunci dan sembilan bentuk kekerasan seksual tersebut di dalam UU TPKS menjadi terobosan hukum penanganan tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia. Oleh karena itu, berlakunya UU TPKS menjadi harapan banyak pihak untuk dapat menghadirkan keadilan, pemulihan bagi korban, dan upaya pencegahan yang lebih efektif.Â
Di tengah upaya pemerintah untuk menekan laju tingkat kekerasan seksual di tengah masyarakat, khususnya pasca berlakunya UU TPKS, kita masih dikejutkan dengan berbagai pemberitaan tindak pidana kekerasan seksual yang terjadi di beberapa kota di Indonesia. Juli 2022 lalu, masyarakat Jombang digemparkan dengan kasus pemerkosaan santriwati oleh putra pengasuh pondok pesantren. Atas kasus tersebut, Pengadilan Negeri Surabaya dalam Putusan No. 1361/Pid.B/2022/PN Sby tertanggal 17 November 2022 memvonis pelaku dengan hukuman tujuh tahun penjara. Berita teranyar, pada awal Desember 2022 lalu beredar rekaman video seorang remaja putri di Kota Medan yang berupaya melarikan diri dari terduga pelaku pemerkosaan.Â
Berdasarkan Siaran Pers Komnas Perempuan pada 23 November 2022, diketahui bahwa pada periode Januari sampai dengan November 2022 Komnas Perempuan telah menerima 3.014 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk 860 kasus kekerasan seksual di ranah publik, dan 899 kasus di ranah personal. Â
Lalu, bagaimana upaya penanganan tindak pidana kekerasan seksual tersebut? Bukankah dengan berlakunya UU TPKS penegakan hukum yang seadil-adilnya terhadap pelaku, pemulihan hak korban, dan upaya pencegahan yang lebih efektif seharusnya dapat terwujud?Â
Menyegerakan Peraturan Pelaksana UU TPKSÂ
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 17 UU TPKS, penanganan adalah tindakan yang dilakukan untuk memberikan layanan pengaduan, layanan kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan hukum, layanan hukum, pemulangan, dan reintegrasi sosial. Â
Selain penanganan, UU TPKS juga mengatur bentuk-bentuk lain hak-hak korban, yaitu pelindungan dan pemulihan. Pelindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan korban, sedangkan pemulihan adalah segala upaya untuk mengembalikan kondisi fisik, mental, spiritual, dan sosial korban.Â
Lalu, bagaimana tatacara penanganan, pelindungan, dan pemulihan tersebut? Berdasarkan ketentuan Pasal 66 ayat 3 UU TPKS, ketiga bentuk hak korban tersebut akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.Â
Selain tatacara penanganan, pelindungan, dan pemulihan, setidaknya terdapat empat perihal lain yang diamanatkan oleh UU TPKS untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah, yakni mengenai (i) sumber, peruntukan, dan pemanfaatan dana bantuan korban (restitusi) sebagai pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga atas kerugian material dan imaterial yang diderita korban atau ahli warisnya (Pasal 35), (ii) penghapusan dan pemutusan akses informasi dan dokumen elektronik yang bermuatan tindak pidana kekerasan seksual (Pasal 46), (iii) penyelenggaraan pencegahan tindak pidana kekerasan seksual (Pasal 80), serta (iv) koordinasi dan pemantauan secara lintas sektor dalam rangka efektivitas pencegahan dan penanganan korban tindak pidana kekerasan seksual (Pasal 83).Â
Sementara itu, terdapat pula lima perihal yang diamanatkan oleh UU TPKS untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan presiden, yakni mengenai (i) tim terpadu untuk layanan jaminan sosial berupa jaminan kesehatan dan bantuan sosial lainnya dalam rangka proses pemulihan korban (Pasal 70), (ii) penyelenggaraan pelayanan terpadu yang terintegrasi, multiaspek, lintas fungsi dan sektor bagi korban, keluarga korban, dan/atau saksi tindak pidana kekerasan seksual (Pasal 75), Â (iii) Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) (Pasal 78), (iv) penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum, tenaga layanan pemerintah, dan tenaga layanan pada Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat (Pasal 81), dan (v) kebijakan nasional tentang pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Pasal 84).Â
Penulis berpendapat, kesepuluh perihal di dalam UU TPKS yang harus ditindaklanjuti pengaturannya dengan peraturan pemerintah dan peraturan presiden di atas memiliki peran penting dalam upaya penanganan tindak pidana kekerasan seksual, termasuk penegakan hukum yang adil, pemulihan bagi korban, dan pencegahan yang lebih efektif.Â
Oleh karena itu, semua pihak harus berupaya mendorong pemerintah untuk segera menyusun dan mengundangkan peraturan-peraturan pelaksana yang mengatur kesepuluh perihal tersebut. Tentunya penyusunan tersebut harus dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) sehingga peraturan-peraturan pelaksana tersebut sesuai dengan cita-cita hukum nasional yang melindungi warga negara beserta hak-haknya.Â
Suatu partisipasi publik dikatakan sebagai partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) jika memenuhi tiga persyaratan, yaitu publik (i) didengarkan pendapatnya (right to be heard), (ii) dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan (iii) mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Â Partisipasi publik tersebut terutama ditujukan kepada kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian terhadap rancangan peraturan yang akan dibahas.Â
Sosialisasi Efektif UU TPKS
Harus diakui bahwa UU TPKS merupakan sebuah produk hukum yang sarat mengandung semangat perlindungan korban serta pengakuan dan jaminan pemenuhan hak korban. Namun demikian, pelaksanaan substansi dan semangat tersebut akan menjadi tidak optimal apabila tidak diketahui dan dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan penanganan kekerasan seksual di Indonesia, khususnya korban dan keluarganya.Â
Oleh karena itu, menjadi suatu catatan penting menjelang akhir Tahun 2022 ini, untuk dilakukan sosialisasi UU TPKS secara masif, efektif, dan berkelanjutan kepada aparat penegak hukum, kementerian atau lembaga di pemerintah pusat maupun daerah, lembaga layanan dan masyarakat, sekolah dan perguruan tinggi, serta masyarakat pada umumnya. Â
Salah satu indikasi sosialisasi UU TPKS terlaksana secara efektif adalah munculnya keberanian korban, keluarganya ataupun pihak lain yang mengetahui, menyaksikan, atau mengalami kasus kekerasan untuk berbicara dan melaporkan kekerasan seksual yang dialami kepada lembaga-lembaga yang telah diberikan mandat oleh UU TPKS, seperti UPTD PPA, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, penyedia layanan berbasis masyarakat, dan/atau kepolisian, baik di tempat korban berada maupun di tempat terjadinya tindak pidana.Â
Pembentukan Lembaga dan Penyediaan Fasilitas Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan
Yang tidak kalah pentingnya dalam penanganan tindak pidana kekerasan seksual, termasuk untuk pendampingan dan pelayanan terpadu yang dibutuhkan korban, adalah pembentukan ataupun penguatan lembaga dan penyediaan fasilitas penanganan, pelindungan, dan pemulihan hak-hak korban.Â
Setidaknya UU TPKS telah mengamanatkan kepada pemerintah untuk membentuk UPTD PPA dan penyedia layanan berbasis masyarakat untuk dapat memastikan penyediaan fasilitas-fasilitas layanan kesehatan, layanan penguatan psikologis, layanan psikososial, rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial, dan reintegrasi sosial, layanan kebutuhan korban penyandang disabilitas, dan layanan pendidikan.Â
Lembaga-lembaga tersebut haruslah diisi oleh orang-orang yang memiliki kredibilitas dan kapabilitas yang baik, serta rekam jejak (track record) yang dapat diterima publik, tidak cacat dan penuh cela.Â
Oleh karena itu, yang juga menjadi pekerjaan rumah pasca berlakunya UU TPKS adalah pembentukan ataupun penguatan lembaga-lembaga dan penyediaan fasilitas-fasilitas tersebut, di samping penguatan dan optimalisasi peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).Â
Penutup
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masih terdapat beberapa pekerjaan rumah yang harus dituntaskan oleh pemerintah bersama para pemangku kepentingan lainnya terkait penanganan kekerasan seksual di Indonesia.Â
Meskipun pemerintah bersama DPR telah mengundangkan UU TPKS, yang secara substansi lebih memberikan perlindungan hukum kepada para korban kekerasan seksual, namun pelaksanaan UU TPKS tersebut masih memerlukan berbagai perangkat lainnya.Â
Perangkat-perangkat tersebut di antaranya adalah peraturan-peraturan pelaksananya, sosialisasi masif dan efektif kepada berbagai kalangan, serta pembentukan ataupun penguatan lembaga dan penyediaan fasilitas penanganan, pelindungan, dan pemulihan hak-hak korban.
Tentunya ketiga perangkat pendukung tersebut hanyalah sebagian di antara sekian banyak perangkat yang dibutuhkan untuk penanganan tindak pidana kekerasan seksual, termasuk dalam rangka penegakan hukum yang adil, pemulihan bagi korban, serta pencegahan yang lebih efektif. Penulis berharap pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan dapat menyegerakan penuntasan perangkat-perangkat tersebut pada 2023. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H