Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 17 UU TPKS, penanganan adalah tindakan yang dilakukan untuk memberikan layanan pengaduan, layanan kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan hukum, layanan hukum, pemulangan, dan reintegrasi sosial. Â
Selain penanganan, UU TPKS juga mengatur bentuk-bentuk lain hak-hak korban, yaitu pelindungan dan pemulihan. Pelindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan korban, sedangkan pemulihan adalah segala upaya untuk mengembalikan kondisi fisik, mental, spiritual, dan sosial korban.Â
Lalu, bagaimana tatacara penanganan, pelindungan, dan pemulihan tersebut? Berdasarkan ketentuan Pasal 66 ayat 3 UU TPKS, ketiga bentuk hak korban tersebut akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.Â
Selain tatacara penanganan, pelindungan, dan pemulihan, setidaknya terdapat empat perihal lain yang diamanatkan oleh UU TPKS untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah, yakni mengenai (i) sumber, peruntukan, dan pemanfaatan dana bantuan korban (restitusi) sebagai pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga atas kerugian material dan imaterial yang diderita korban atau ahli warisnya (Pasal 35), (ii) penghapusan dan pemutusan akses informasi dan dokumen elektronik yang bermuatan tindak pidana kekerasan seksual (Pasal 46), (iii) penyelenggaraan pencegahan tindak pidana kekerasan seksual (Pasal 80), serta (iv) koordinasi dan pemantauan secara lintas sektor dalam rangka efektivitas pencegahan dan penanganan korban tindak pidana kekerasan seksual (Pasal 83).Â
Sementara itu, terdapat pula lima perihal yang diamanatkan oleh UU TPKS untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan presiden, yakni mengenai (i) tim terpadu untuk layanan jaminan sosial berupa jaminan kesehatan dan bantuan sosial lainnya dalam rangka proses pemulihan korban (Pasal 70), (ii) penyelenggaraan pelayanan terpadu yang terintegrasi, multiaspek, lintas fungsi dan sektor bagi korban, keluarga korban, dan/atau saksi tindak pidana kekerasan seksual (Pasal 75), Â (iii) Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) (Pasal 78), (iv) penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum, tenaga layanan pemerintah, dan tenaga layanan pada Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat (Pasal 81), dan (v) kebijakan nasional tentang pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Pasal 84).Â
Penulis berpendapat, kesepuluh perihal di dalam UU TPKS yang harus ditindaklanjuti pengaturannya dengan peraturan pemerintah dan peraturan presiden di atas memiliki peran penting dalam upaya penanganan tindak pidana kekerasan seksual, termasuk penegakan hukum yang adil, pemulihan bagi korban, dan pencegahan yang lebih efektif.Â
Oleh karena itu, semua pihak harus berupaya mendorong pemerintah untuk segera menyusun dan mengundangkan peraturan-peraturan pelaksana yang mengatur kesepuluh perihal tersebut. Tentunya penyusunan tersebut harus dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) sehingga peraturan-peraturan pelaksana tersebut sesuai dengan cita-cita hukum nasional yang melindungi warga negara beserta hak-haknya.Â
Suatu partisipasi publik dikatakan sebagai partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) jika memenuhi tiga persyaratan, yaitu publik (i) didengarkan pendapatnya (right to be heard), (ii) dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan (iii) mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Â Partisipasi publik tersebut terutama ditujukan kepada kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian terhadap rancangan peraturan yang akan dibahas.Â
Sosialisasi Efektif UU TPKS
Harus diakui bahwa UU TPKS merupakan sebuah produk hukum yang sarat mengandung semangat perlindungan korban serta pengakuan dan jaminan pemenuhan hak korban. Namun demikian, pelaksanaan substansi dan semangat tersebut akan menjadi tidak optimal apabila tidak diketahui dan dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan penanganan kekerasan seksual di Indonesia, khususnya korban dan keluarganya.Â
Oleh karena itu, menjadi suatu catatan penting menjelang akhir Tahun 2022 ini, untuk dilakukan sosialisasi UU TPKS secara masif, efektif, dan berkelanjutan kepada aparat penegak hukum, kementerian atau lembaga di pemerintah pusat maupun daerah, lembaga layanan dan masyarakat, sekolah dan perguruan tinggi, serta masyarakat pada umumnya. Â