Mohon tunggu...
Fathan Mubina
Fathan Mubina Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Pelajar

Bios-Theoretikos | S1 Ilmu Politik Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta | "Paid for with pride and fate" | E-mail: fathanm96@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

UU Cipta Kerja dalam Dominasi Oligarki: Memahami Arti, Melacak Implikasi

21 Oktober 2020   19:31 Diperbarui: 15 November 2020   01:30 973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kegagalan hukum dan penegakannya menjelaskan mengapa keberhasilan kelembagaan yang menyertai transisi demokratis tidak mendorong Indonesia ke jalur menuju oligarki sipil. Indonesia justru bergerak ke arah oligarki penguasa kolektif yang tidak berfungsi dengan baik, yang terorganisasi sebagai suatu demokrasi elektoral, di mana pelaku yang bisa mendominasi panggung politik hanyalah oligark yang memiliki kekayaan pribadi yang besar, dan elite yang mampu menarik atau mengambil sumber daya negara cukup besar. Hasilnya adalah demokrasi kriminal di mana para oligark yang tidak terjinakkan bersaing dalam politik melalui pemilihan umum.

Bagi para oligark, kekuasaan bukanlah tujuan utama. Tidak penting bagi mereka siapa yang berkuasa---berasal dari partai mana, yang lebih mendasar adalah bagaimana kekuasaan dapat melindungi dan mempertahankan aset dan kekayaan. Instrumen demokrasi (pemilu) tidak luput dari belenggu oligark. 

Relasi langsung dan kuat terjalin antara oligark dan kandidat (legislatif / eksekutif), sedangkan masyarakat sebagai pemilih tidak memiliki hubungan yang kuat dengan para kandidat yang nantinya akan masuk pada lembaga publik. Sehingga kuantitas partisipasi tidak berbanding lurus dengan kualitas partisipasinya. 

Masyarakat dapat memilih bakal calon Presiden, Gubernur, Bupati, DPR, DPRD; akan tetapi tidak mempunyai kontrol atas sikap politik yang akan diambil oleh para kandidat. Setelah menguasai lembaga publik, mereka akan menyebrang untuk mengendalikan ruang publik, hal ini dirasa mudah bagi oligark karena biasanya mereka memiliki akses-akses informasi yang lebih luas. 

Berbagai upaya dilakukan untuk mendistorsi dan memanipulasi ruang dan suara publik, basis argumentasi pro-kontra yang seharusnya dapat menyehatkan ruang publik justru terpolarisasi sehingga semuanya dianggap sebagai kegiatan elektoral. Hal ini sangat ampuh untuk dilakukan karena ekosistem sosial-politik Indonesia sudah tercemar oleh polarisasi semacam ini. 

"The opportunity to use our voice for the voiceless" -Joaquin Phoenix

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun