BOEJANG LAPOEK
OLEH FATMI SUNARYA
Namaku Syamsul Baringin, orang sekampung ini memanggilku Bari padahal aku lebih suka dipanggil Syam. Aku satu-satunya sarjana S1 di kampung ini, hampir semua pemuda hanya tamatan SD. Aku berprofesi sebagai guru SMA di satu-satunya SMA di sini. Pernah mendapat  gelar guru teladan se-kecamatan memberi nilai plus untukku. Jadi kehidupanku mendekati sempurna di mata orang sekampung ini.
Hidup di kampung yang tenang dan damai semula memang menyenangkan. Cuma satu yang jadi masalah, usiaku yang sudah 40 tahun dan belum kawin-kawin juga dicap orang sekampung ini sebagai si bujang lapuk alias tidak laku-laku. Ini bedanya antara kota dan kampung seperti ini. Kalau di kota usia 40 tahun kalau belum kawin tak masalah. Lagian disini perempuan-perempuannya  tidak ada yang berpendidikan tinggi, paling tamatan MIS. Tidak cocoklah dengan aku yang sarjana. Bagaimana dia akan mendidik anakku nantinya kalau pendidikannya rendah. Itu salah satu perbedaan pandangan dengan orang tuaku.
Menurut mereka, yang penting akhlak perempuanlah yang menjadi tolak ukur dalam keluarga. Kalau perempuan akhlaknya baik tentu saja anak yang di didiknya juga akan baik walaupun pendidikannya rendah. Sedangkan aku tidak begitu setuju dengan mereka. Tetap ngotot mesti perempuan berpendidikan tinggi dan ber hak sepatu tinggi. Sebenarnya ada satu perempuan yang menarik, namanya Surti Karmi. Seorang guru mengaji di surau kampungku ini. Sopan, baik, berambut panjang dan keibuan. Cuma gengsi sarjanaku ini yang membuatku harus mencari sosok perempuan yang mempunyai nilai lebih.
Sudah satu malam ini aku tak bisa tidur, aku ingin pindah ke kota. Setiap ada undangan pesta pernikahan aku memilih tidak datang. Setiap ada acara pemuda pemudi juga begitu, tidak datang. Mereka semua punya pasangan, ada yang sudah menikah bahkan punya anak sudah SMA. Terngiang-ngiang celotehan pemuda kampung ini, "oi....lihat Bari, si Bujang Lapuk lagi merana menunggu bidadari dari kota ha...ha". Hei...belum tahu mereka kalau misalnya aku pindah ke kota dan bertemu benar dengan seorang bidadari kota. Apalagi menurut temanku yang di kota, kalau di kota mencari perempuan sangatlah gampang. Asal ada uang katanya. Apa benar ya?
Sudah seminggu aku kasak kusuk mengurus kepindahanku ke kota dan akhirnya surat pindahnya belum keluar tapi bolehlah menumpang mengajar di salah satu SMA di kota. Rasanya aku ingin berteriak, Hoi... kalian yang memanggilku si Bujang Lapuk, sebulan lagi aku akan kembali membawa bidadari kotaku.
Dikota menumpang di rumah teman tidaklah sama ketika dia yang menumpang dirumahku dikampung. Kalau dia ke kampungku mau apa-apa gratis. Eh tiba giliranku menumpang di rumahnya tidak ada yang gratis. Ternyata hidup di kota benar-benar menguras dompet. Gaji sebulan di kampung cuma bisa buat seminggu di kota. Baru satu kali jalan cabiklah dompetku. Tapi demi si bidadari kota tidaklah apa-apa.
Sesuai petunjuk temanku, kalau di kota kalau tidak jalan keluar rumah manalah dapat pasangan. Kau jalanlah di taman kota, kata temanku. Malam minggu aku ke taman kota, wah dari jauh sudah kelihatan perempuan-perempuannya cantik-cantik. Tapi makin dekat kok makin ....umpama lukisan makin abstrak. Oh..oh ternyata wanita berjakun. Pucat pasilah awak dibuatnya, perempuan berkelas mungkin bisa ditemui di kafe-kafe.
Beranjak ke kafe, aku bertemu perempuan yang ini asli. Perawakan domestik tapi penampilan sungguhlah internasional. Mata biru, rambut kuning, pakaian minim, lagak bak selebriti. Gigi berpagar pula ditambah kulit muka putih mengkilat beda jauhlah dengan kakinya yang keling. Ngobrol ngalor ngidul sebentar dengan Si Siska namanya, membuatku mulai bosan. Omongannya tinggi jauh dari jangkauanku.
Abang kerja dimana? Punya kartu kredit?
Abang mobilnya merek apa?
Tinggal di komplek mana?
Cuci mata yuk, lagi ada pameran otomotif.....
Abang pengusaha kan?
Pertanyaan yang membingungkan, kartu kredit itu apa ya? Sebagai seorang guru tahunya ya Kartu Siswa/i. HP pun merek lama tapi suaranya masih kencang, kalau bunyi orang sekampung bisa dengar. Punya mobil? Alah mak...naik mobil saja awak mabuk. Di kampung biasa naik sepeda kumbang. Tinggal menumpang pula dirumah teman. Pakai acara mengajak ke pameran otomotif, cuci mata katanya.
Setelah pertanyaan terakhir di jawab, awak ini bukan pengusaha tapi guru. Reaksinya sangat mengagetkan, si Siska mengumpat, "guru?? manalah laku di kota ini, yang dicari pengusaha-pengusaha muda dan tampan. Kampungan dan tak berduit!!! " Duh kata terakhirnya membuatku drop juga. Kembali aku berkonsultasi dengan temanku, apa tidak ada tempat lain bisa ketemu perempuan baik-baik. Perempuan yang cantik  katanya, itupun di cantik-cantik-kan tapi omongannya kasar. Sesuai saran temanku jangan putus asa.
Setiap pulang mengajar, kadang dengan berjalan kaki demi menghemat ongkos. Survey tetap berjalan. Tapi tetap saja aku bertemu dengan perempuan-perempuan yang rambutnya kuning, merah, coklat dan pelangi. Senada dengan bola matanya, ada yang biru, coklat, hijau dan putih hi... Yang berambut ikal sudah lurus seperti sapu ijuk. Tidak ada yang berambut hitam panjang seperti  Surti Karmi. Muka mereka putih seperti mayat karena kebanyakan cream pemutih. Tidak ada rona-rona merah di pipi mereka seperti  Surti Karmi ketika ku goda. Muka mereka seperti boneka, plastik dan palsu. Mereka sangat memaksakan diri mirip bule atau korea-korea-an. Sangat tidak cocok dengan postur tubuh domestiknya.
Tidak ada senyum yang tulus, yang ada senyum bersponsor. Ada duit senyumnya selebar mungkin. Mungkin karena giginya sudah berpagar warna-warni. Tangan mereka tidak bisa kujabat dengan hangat, tangan mereka sibuk dengan gadget mereka. Telinga merekapun mungkin sudah pekak dengan headset yang tak lepas. Pakaian, sepatu, aksesoris semuanya bermerek.
Mereka sangat menikmati dunia ini tapi hati mereka, apakah bahagia? Penampilan mereka bak selebritis tapi hati mereka menangis. Mereka tidak pernah mendapatkan cinta yang sebenar-benarnya cinta. Karena mereka bukanlah diri mereka, mereka perempuan palsu tentu saja mendapat cinta palsu. Yang muda nelangsa mencari cinta sementara yang tua ditinggal cinta. Kadang mereka mesti menjual harga diri demi membeli yang menurut mereka itu harga diri yaitu penampilan.
Semakin banyak aku bertemu dengan mereka semakin aku putus asa. Â Perempuan Indonesa berwajah sawo matang, berbola mata indah, berambut panjang, beralis tebal alami, berbulu mata lentik alami, pipi yang merona, senyum yang tulus dan bertutur kata santun hilanglah sudah. Akhirnya aku depresi juga dan menangis ingin pulang kampung saja. Komentar temanku yang mengatakan tidak bisa menikmati hidup kuabaikan saja. Aku ingin cepat pulang.
Aku tak sabar ingin cepat pulang ke kampung. Sudah kususun rencanaku sampai di kampung. Aku akan mengajar kembali di sekolah lama dan aku akan melamar Surti Karmi. Hanya Surti Karmi dambaanku yang akan menjadi istriku. Aku akan membangun rumah yang didekatnya ada sungai, sawah, kolam ikannya. Aku akan menjadi seorang Bapak yang akan mencari belut di sawah dengan anaknya atau memancing ikan di kolam dan mandi di sungai bersama keluargaku. Impian ini seakan sudah di depan mata. Aku seperti sudah melihat Surti Karmi memakai kerudung menyambutku di pintu. Oh Surti Karmi....aku pulang. Hari yang ku nanti datang juga, pulang ke kampung dengan oleh-oleh seadanya karena tak berduit lagi. Untuk Surti Karmi aku membeli Mukena, mudah-mudahan dia berkenan.
Sampai di rumah yang kutanya dulu adalah kabar Surti Karmi pada Ibuku. "Kenapa sekarang kau tanyakan dia nak?", kata Ibuku dengan wajah murung. "Iyalah bu, aku rindu sama Surti Karmi. Aku bermaksud mau melamarnya". Ibuku menitikkan air mata dan berkata, "sabar ya nak, Surti Karmi sudah menikah dengan seorang ustad minggu lalu, dia patah hati karena kau ke kota. Dikiranya kau sudah mendapat jodoh di kota".Â
Aku terduduk dan dunia ini seperti gelap. Aku melihat bintang-bintang berputar-putar di kepalaku. Dan akhirnya aku hanya melihat satu titik cahaya, aku melihat Surti Karmi sedang tersenyum dan melambaikan tangan. Aku melihat orang-orang berkerumun banyak. Aku melihat Ibu menangis. Aku melihat semuanya. Aku meraung-raung menangis. Aku meneriakkan nama Surti Karmi sekeras-kerasnya. Dan aku mendengar suara sayup sayup sampai, "oi...tolong si Bari, si Bari pingsan, si Bujang Lapuk kita ini pingsan, tolong bawa ke Puskesmas, malang nian nasib si Bari ini.......". Suara itu terngiang-ngiang sampai aku tersadar.
Aku melihat Ibu dan orang-orang sekampung ini. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Mereka tetap orang-orang yang mengasihi aku. Aku tidak akan berputus asa. Aku akan tetap mencari Surti Karmi yang lain. Untuk sementara biarlah mereka mengatakan aku si Bujang Lapuk tapi nanti mereka akan memanggilku si Bujang Bertanduk, si Bujang yang beruntung.
Sungai Penuh, Maret 2014
Untuk semua yang terkasih
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI