Sampai di rumah yang kutanya dulu adalah kabar Surti Karmi pada Ibuku. "Kenapa sekarang kau tanyakan dia nak?", kata Ibuku dengan wajah murung. "Iyalah bu, aku rindu sama Surti Karmi. Aku bermaksud mau melamarnya". Ibuku menitikkan air mata dan berkata, "sabar ya nak, Surti Karmi sudah menikah dengan seorang ustad minggu lalu, dia patah hati karena kau ke kota. Dikiranya kau sudah mendapat jodoh di kota".Â
Aku terduduk dan dunia ini seperti gelap. Aku melihat bintang-bintang berputar-putar di kepalaku. Dan akhirnya aku hanya melihat satu titik cahaya, aku melihat Surti Karmi sedang tersenyum dan melambaikan tangan. Aku melihat orang-orang berkerumun banyak. Aku melihat Ibu menangis. Aku melihat semuanya. Aku meraung-raung menangis. Aku meneriakkan nama Surti Karmi sekeras-kerasnya. Dan aku mendengar suara sayup sayup sampai, "oi...tolong si Bari, si Bari pingsan, si Bujang Lapuk kita ini pingsan, tolong bawa ke Puskesmas, malang nian nasib si Bari ini.......". Suara itu terngiang-ngiang sampai aku tersadar.
Aku melihat Ibu dan orang-orang sekampung ini. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Mereka tetap orang-orang yang mengasihi aku. Aku tidak akan berputus asa. Aku akan tetap mencari Surti Karmi yang lain. Untuk sementara biarlah mereka mengatakan aku si Bujang Lapuk tapi nanti mereka akan memanggilku si Bujang Bertanduk, si Bujang yang beruntung.
Sungai Penuh, Maret 2014
Untuk semua yang terkasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H