Isu ini tidak terlalu menarik untuk dibahas, namun terlalu seksi untuk ditinggalkan.Â
Â
Mahapatih Gajahmada yang setingkat Wazir Agung itu tak akan membiarkan Dyah Pitaloka mati bunuh diri bersama para dayangnya bila ia seorang muslim.Â
Â
Ia akan dengan senang hati menerima tamu pasundan yang datang, karena di undang oleh sang raja. Tidak akan ada namanya Bubat.
Â
Gajahmada yang kita kenal perkasa itu, biarlah menjadi Gajahmada dan tetap akan terus menjadi Gajahmada. Wajahnya yang sangar itu (sepintas mirip M. Yamin) entah sengaja atau tidak, biarlah tetap menghiasi khazanah sejarah ibu pertiwi.Â
Â
Jika ingin mengatasnamakan Islam, marilah populerkan Ibnu Sina, Al Khawarizmi, Piri Rheis, Ibnu Khaldun dan ilmuwan islam kontemporer lainnya. Pada saat Gajah Mada yang agung itu bersama pasukannya bergerilya menembus kerajaan di Tumasik, Al Khawarizimi telah menemukan hakikat bilangan nol. Saat Gajahmada mengobati luka yang didapatnya dari pertempuran dengan pelepah pisang, Ibnu Sina telah mempelajari sistem syaraf manusia. Saat Gajahmada memerintahkan penulisan prasasti atas keberhasilannya, Â Phiri Reis sudah membuat peta bumi yang sangat detail tanpa satelit masa itu. Ketika Gajamada memerintahkan pembuatan Prasasti Singashari berikut candinya, Ibnu Khaldun telah menuliskan sejarah Filsafatpolitik dengan mukaddimahnya. Juga Al Farabi telah menemukan konsep negara ideal atau kota ideal.Â
Â
Lupakah kita, di saat Eropa yang sekarang hingar-bingar itu dulunya di abad pertengahan mereka gelap segelap-gelapnya! Â Para ilmuwan Islam, cendekiwawan Islam memperkenalkan kembali pemikiran filsafat klasik Yunani yang dilupakan Eropa ketika itu. Pemikiran para filsuf itu dibawa kembali oleh para ilmuwan kontemporer kita dimasanya. Kembali mengingatkan Eropa, pemimiran Thales, Anaximenes, Xenophanes Hingga Socrates Plato dan Aristoteles yang terkenal itu. Barulah Eropa bangun dari dia punya tidur, bangkit dari ia punya kejatuhan.Â