Mohon tunggu...
Fatah Baginda Gorby Siregar
Fatah Baginda Gorby Siregar Mohon Tunggu... -

-Anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia - Ketua Komisi Politik Konferensi Cabang XIX GMNI Kota Medan -Ketua Lembaga Studi Elang-Rajawali Indonesia - Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis USU

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ahok dan Politik Taichi-nya

31 Juli 2016   02:14 Diperbarui: 2 Agustus 2016   02:53 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar :https://scontent.cdninstagram.com

Taichi adalah sebuah bentuk seni bela diri dari senam kesehatan aliran halus, yang berasal dari Tioangkok. Taichi terbagi menjadi berbagai “gaya” yang berasal dari satu akar dan konsep dasarnya hampir sama, namun memiliki gerakan yang berbeda-beda. Adapun gaya-gaya yang terkenal dibanyak kalangan yakni gaya Chen, gaya Yang, gaya Wu, dan gaya Sun. Taichi menjadi sangat terkenal dikalangan luas karena jurus ini yang pernah dipopulerkan dalam berbagai film kungfu yang sebagian besar diperankan oleh Jet Li.

Menurut legenda Taichi diciptakan oleh Thio Sam Hong, seorang pendeta Tao yang hidup di abad ke-12, yang kemudian terus di kembangkan oleh para penerusnya. Pada akhirnya senam Taichi berkembang menjadi bentuk latihan yang digemari, dan bisa digunakan dalam pembelaan diri. Oleh karena itu, pemerintah Tiongkok menetapkan senam Taichi kedalam bagian olahraga Wushu (Wikipedia.org).

Gerakan Taichi berupa campuran antara kontak ringan (tanpa serangan-menangkis) dan kontak penuh (serangan, tendang, dll). Inilah alasan penulis mengibaratkan jurus politik ahok yang bentuknya halus dibandingkan kelugasannya didalam kata-kata dan tindakannya dalam memimpin DKI Jakarta. Ketika ia berpolitik, ia lebih halus, banyak menghindar walau sesekali dapat menyerang.

1. Awal Mula Gubernur Ahok

Jika kita melihat lebih jauh kebelakang pasca terpilihnya Joko Widodo menjadi presiden,Ahok seakan menjadi “single fighter” di pemprov DKI Jakarta. Ditambah lagi ia kemudian tidak sejalan dengan si “empunya” partai Gerindra ia di keroyok oleh partai-partai yang berkomplot di parlemen DKI.

Masih segar di ingatan kita bagaimana hubungan ahok dengan “mitra” legislatifnya, meruncingnya hubungan Ahok dengan Pimpinan DKI Haji Lulung cs. Tidak main-main Haji Lulung ingin melengserkan ahok dari kursi Gubernur DKI Jakarta. Namun ahok tidak tinggal diam, ia membalas dengan nyanyian “merdu” UPS yang menghebohkan. Adanya manipulasi anggaran, tender-tender yang dimenangkan badan usaha fiktif hingga milyaran rupiah yang cukup menghebohkan publik tanah air.

Haji Lulung cs (cs maksudnya dengan teman-temannya) sempat berkali-kali dipanggil menjadi saksi oleh pengadilan Tipikor Jakarta dan sempat mendadak artis didunia maya karena pernyataan-pernyataannya yang menghebohkan. Kisruh ahok dengan DPRD tidak hanya sampai disitu, tentu saja kita sama-sama tahu alotnya pembahasan APBD DKI tahun 2015 hingga mengakibatkan “dissenting opinion” dengan kemendagri.

Dari beberapa perihal diatas menjadi catatan kepada kita bagaimana ahok sebenarnya, didalam hati kecilnya mungkin saja ia ingin melakukan konsolidasi politik, agar agar pemerintahannya tidak diganggu oleh parlemen. Disisi lain entah mengapa media terus menggambarkan ahok sebagai pendekar yang mendapat jurus dari langit untuk memperbaiki ketidak-beresan birokrasi yang ada didalam pemerintahannya. Jika kita melihat apa yang dilakukan Ahok dalam “membina” bawahannya, bagaimana gaya ia memimpin rapat dengan para Walikota, kepala dinas dan unsur pemerintahan DKI lainnya, ditambah lagi pemecatan ditempat kepada bawahannya yang ketahuan nyeleweng dan masih banyak lagi.

Ahok dapat memenangkan hati rakyat Jakarta dengan program-programnya yang membumi, mulai dari membangun rusun, optimalisasi waduk, relokasi Kalijodo hingga program-program lainnya. Terlepas dari pro dan kontra bagaimana langkah teknis yang dilakukan para bawahannya, namun ia telah berhasil memenangkan massa rakyat hingga grass roots (akar rumput).

Karakter masyarakat Jakarta memang agak berbeda dibandingkan dengan masyarakat kota lainnya, seperti masyarakat Medan, Ambon hingga Papua. Masyarakat Jakarta jauh lebih “melek” politik, kuatnya jaringan informasi yang dihasilkan oleh media, dan pola-pola distribusi informasi yang tersebar merata, membuat rakyat dari kalangan atas hingga kalangan marhaen tidak gagap dalam berpolitik. Mereka bisa membahas isu yang hangat , yang terbaru, ketimbang isu yang telah usang.

Rakyat yang terkena program Ahok secara langsung maupun tidak langsung , walaupun dari segi keberhasilannya masih relatif atau masih dapat diperbincangkan , akan tetapi rakyat sudah terlanjur “jatuh cinta” kepada pendekar yang bernama Basuki Tjahaya Purnama.

2.Ahok ditahun berikutnya…

Ahok lihai membaca situasi politik, di awal-awal tahun ini muncul isu dipermukaan , isu yang mengangkat bagaimana Ahok mencalonkan dirinya kembali pada pilkada DKI Jakarta 2017. Ia juga sadar bahwa dibelakangnya tidak ada partai yang mendukungnya, yang siap membelanya, melakukan lobi-lobi ke partai lain agar mengsungnya. Ia juga eling melihat mekanisme pencalonan kepala daerah yang termaktub didalam UU, yang agak sedikit “merepotkan” calon non-partisan, orang-orang yang maju lewat dari jalur independen. Dengan watak cerdiknya ia memanfaatkan citra yang sudah dibangun oleh media , ia mengumpulkan semacam “simpatisan aktif” yaitu Teman Ahok.

Ia melibatkan berbagai kalangan, yang awalnya dimotori oleh kaum muda, yang mungkin didalam pikiran Ahok mudah diajak berkompromi, mempunyai ide-ide segar dan agak militan agar aktif membantu dalam proses pencalonan dirinya. Namanya anak muda, pasti banyak ide segar yang kreatif, membuat gerakan Teman Ahok ini menjadi popular dikhalayak ramai. Awalnya teman Ahok ini hanyalah ular kecil, ular mainan barangkali (bila para elit parpol melihatnya) namun lama-kelamaan menjadi naga yang mengibaskan ekornya kemana-mana.

Dengan berbagai variasi “jualan”, seperti mengadakan konser, menjual merchandise dan kegiatan lainnya membuat KTP yang terkumpul yang awalnya hanya ribuan, menjadi puluhan ribu, dan terus menjadi ratusan ribu hingga menjadi satu juta. Maka berhasillah gerakan yang dinamakan gerakan satu juta KTP untuk ahok, kemudian berhasil juga mengumpulkan banyak uang untuk dana kampanye, ahok juga agak bisa jemawa, ia berhasil menunjukkan kekuatannya sekali lagi sebagai figur DKI. Didalam dialog imajiner ahok berkata kepada para elit parpol dengan gayanya “iniloh gue, gue punya sejuta lu punya berapa?” lalu elit partai berkata “ damai sajalah hok…”.

Ditahun ini jalan ahok tidak semulus yang dibayangkan, bila dibandingkan tahun lalu ahok menghadapi “stage” berikutnya, menghadapi lawan-lawan yang lebih matang, yang levelnya jauh lebih tinggi.Misalnya kasus RS sumber waras yang cukup menyita perhatian. Adanya perbedaan hasil audit BPK dengan KPK yang membuat situasi politik semakin memanas.BPK lembaga yang lebih tua dan lebih kuat didalam konstitusi melakukan audit yang bisa dikatakan sampai kepada kesimpulan bahwa pembelian lahan pada rumah sakit tersebut, nilainya sangat fantastis dan tidak wajar. Bertolak belakang dengan KPK, lembaga ini mengatakan bahwa pembelian lahan tersebut adalah wajar dan tidak ada berbau penyelewengan yang dilakukan. Kasus ini menyebabkan perdebatan sengit, yang oleh karena melibatkan dua institusi besar, maka pembahasannya hingga ke DPR, perdebatan antara BPK dan KPK , antara “tidak wajar” dan “wajar”. Ini menjadi catatan kita kembali betapa ahok memang membutuhkan kekuatan politik ekstra, ia tidak bisa begitu saja menyepelekan kursi parlemen.

Kembali kepada pembahasan partai-partai yang ingin bertarung dalam pilkada Jakarta 2017, adapun partai-partai yang mendapatkan perolehan kursi minim di DPRD cepat-cepat segera merapatkan diri ke Ahok.  Melihat fenomena metamorfosis “Teman Ahok” maka partai-partai yang tidak dapat mengusung calonnya sendiri cepat-cepat menyatakan sikap.

Batas minimal partai atau gabungan partai politik yang ingin mengusung pasangan cagub dan cawagub ialah 22 kursi. Partai-partai ini awalnya bergerak sendiri-sendiri, mencari batas aman sendiri, Nasdem yang hanya memperoleh 5 kursi, cepat-cepat mendeklarasikan mendukung Ahok. Hanura yang awalnya malu-malu akhirnya juga mendekat kepada Ahok, Hanura memiliki 10 kursi. Kemudian terakhir setelah pemberesan kondisi internal, penyatuan “dua matahari” di kubu Golkar, Golkar langsung mendekat kepada Ahok. Jika dihitung jumlah dukungan kepada Ahok sebanyak 24 kursi(5 Nasdem+ 10 Hanura +dan 9 Golkar), sudah melewati batas syarat pencalonan cagub dan cawagub.

Kita tidak tahu apa yang menjadi komoditas pada saat melakukan barter politik Ahok dengan partai yang bersangkutan, tidak ada yang tahu apakah Ahok benar-benar tidak melakukan lobi politik kepada partai-partai tersebut, tidak ada juga yang tahu mahar apa yang diminta oleh partai tersebut kepadanya. Mungkin disini Ahok menjaga sebisa mungkin, bila disatu sisi “Teman Ahok” meneriakkan anti mahar politik, dan disatu sisi Ahok juga membutuhkan dukungan parpol diparlemen. “Teman Ahok” sebesar apapun naga itu, namun ia tetap tidak menjadi nyata didalam parlemen, mungkin itu pikir Ahok pada saat itu. Itulah mengapa ia merestui saja, menerima saja parpol-parpol mendekat kepadanya.

Setelah dinamika yang berjalan sedemikian rupa, mulai muncul pertanyaan “bagaimana ahok maju?” apakah ia tetap konsisten maju dari jalur satu juta KTP? Atau ia memilih dari jalur partai politik?”. Cukup lama Ahok diam, publik menanti-nanti. Ahok sepertinya menunggu? Lalu siapa yang ia tunggu? . Ya, ia menunggu partai pemenang Pilpres 2014, partai yang dahulu mengusungnya sebagai duet maut Gubernur dan Calon Wakil Gubernur,  kekuatan yang membentuk mereka menjadi garang mengalahkan incumbent , PDI-P.  dimata Ahok partai ini bukanlah partai “kemarin sore”, bukan juga partai gurem, namun partai yang cukup berprestasi. Partai yang  cukup dalam menancapkan pengaruhnya di jagat politik tanah air, partai yang memperoleh hampir 20% perolehan suara nasional, partai yang cukup mempunyai elit-elit yang berkompeten, basis massa dan loyalis yang sangat banyak, ditambah lagi partai yang memonopoli kursi parlemen DKI Jakarta sebanyak 28 kursi. Disatu sisi Ahok juga mempunyai hitungan matematis tersendiri, bila ia meninggalkan begitu saja PDI-P, walaupun ia mempunyai dukungan satu juta warga Jakarta, ditambah dengan 3 partai pendukung, melawan PDI-P diparlemen dan secara keseluruhan itu adalah hal yang absurd. Ia juga tidak mudah begitu saja menghilangkan romantismenya bersama PDI-P, akan ada jurang pemisah antara ia dan Jokowi jika ia meninggalkan PDI-P dan juga bisa saja PDI-P melakukan manuver didalam parlemen. PDI-P menjadi poros koalisi Indonesia Hebat, poros yang semakin kokoh diskala nasional, PDI-P bisa saja mendikte partai-partai lain (diluar partai yang 3) agar melangkah bersamanya ketika berbicara mengenai DKI Jakarta. Itu mungkin saja terjadi, hal ini yang cukup membuat kegalauan hati Ahok.

Dikubu PDI-P sendiri seperti hening, hening dalam arti melakukan pengamatan yang sedikit banyak menilai , melihat perkembangan situasi politik yang ada. Bila dari luar kita melihat PDI-P sangat elegan menentukan sikap politiknya, bagaimana para elitnya mengatakan ingin melewati mekanisme organisasi terlebih dahulu , ingin melakukan penjaringan nama dari internal partai dan diuji. Disini kita melihat kematangan PDI-P, mereka dengan percaya diri seakan melakukan “take hold position”, sikap mereka ini beralasan karena mereka mempunyai 28 kursi di parlemen DKI. Ada semacam kepercayaan diri didalam tubuh partai, karena perolehan mayoritas kursi diparlemen.  Namun bila kita telisik lebih dalam, bagaimanapun proses organisasi yang terjadi didalam partai, pasti akan dikembalikan lagi kepada tokoh sentral partai, yakni Ibu Mega sendiri.

Ibu Mega sendiri tidak cepat-cepat, tidak grasak-grusuk, dengan segudang pengalaman yang beliau dapat semenjak beliau terjun kedalam dunia politik, ia tentu mempunyai rumus sendiri, teknik sendiri, Ibu Mega seakan enak saja menghindar dari serangan taichi ala ahok. Publik sendiri sudah terbiasa dengan “diamnya” Mega, yang memang misterius, yang akhirnya bisa diluar dugaan publik dan kalangan pengamat. Ingat saja “Sabda Pandito Ratu” yang di-ejawantahkan didalam surat keputusan pencalonan Jokowi sebagai Presiden. Betapa sakralnya SK tersebut dibuat, bila SK sekarang pada umumnya diketik, maka ini di “sakralkan” dengan tulisan tangan Ibu Mega sendiri. Sebagai ketua umum PDI-P Ibu Mega menginstruksikan kepada rakyat banyak agar mendukung Jokowi didalam pilpres 2014, hingga terjadilah deklarasi di Gedung Joang’45 pada waktu itu, ini merupakan rangkaian peristiwa yang cukup mengagetkan publik, karena publik menilai sepertinya  Mega ingin mencalonkan kembali sebagai Presiden RI bersanding dengan Joko Widodo.

Kita meninggalkan PDI-P sejenak, kemudian kita kembali melihat kiprah Ahok. Ia kemudian menghadapi halangan yang cukup besar , setelah kasus Sumber Waras surut dari perhatian publik, muncul lagi kasus yang banyak menyita tenaganya yaitu kasus reklamasi Teluk Jakarta. Badai Teluk Jakarta ini sedikit membuatnya kelimpungan, kasus pembangunan pulau-pulau yang “diizinkan” oleh Ahok padahal rancangan peraturan daerahnya belum disahkan. Kedekatan Ahok dengan bos Podomoro Group , proses peradilan, bukti percakapan M.Sanusi ketua komisi D DPRD DKI-Jakarta dengan manajer perizinan PT Agung Sedayu Group, Saiful Zuhri alias pupung. Belum lagi soal tanda tangan dibeberapa berkas perizinan oleh Ahok,  ditambah lagi ada semacam perbedaan pendapat dengan Menko Kematiriman Rizal Ramli, membuat Ahok cukup berkeringat.

Ia tentu saja paham, bagaimana alotnya pembahasan raperda oleh DPRD, kejelasan bagi-bagi kue (walaupun ia berkelik tidak mengetahui hal itu) dan masih banyak lagi , ini adalah implikasi akibat ia tidak menguasai parlemen. Ia tidak bisa begitu saja meninggalkan legislatif.

Ini menjadi catatan tersendiri bagi PDI-P, bagaimana kondisi reklamasi ini seakan-akan terbentur dengan semangat “nawacita”nya pemerintah pusat,terbentur dengan trisaktinya Bung Karno dan menyentuh kepentingan “wong cilik”. Jangan kita lupakan pidato politik perdana Jokowi di pelabuhan Sunda Kelapa, diatas geladak kapalnya Marhaen, mungkin ini yang menyebabkan semakin panjang waktu untuk “diamnya” Mega.

Kesabaran Ahok kian menipis, dari berbagai situasi diatas , ia tidak lupa dengan penantian publik yang sekian lama menunggu sikapnya.  Ia memainkan jurus taichi nya kembali . Bila penulis menyukil kata-kata Anotnio Gramsci, filsuf dari Italia yaitu “politik bukanlah sekedar cara untuk mencapai kekuasaan, tetapi lebih dari itu politik adalah bagaimana kita mampu mengakomodasikan semua kentingan dari kelompok masyarakat tersebut dalam sebuah aktivitas yang mempunya sinergitas”. Kalimat ini cukup mewakili apa yang akan dilakukan Ahok kemudian, Ahok menyatakan sikapnya. Ia telah menghitung baik-buruknya, baik secara matematis, baik secara konsekuensi logis maupun tak logis bila ia memilih salah satu jalur.  Dengan gayanya didalam acara halal-bihalal, ia menyatakan sikapnya. Dimulai dengan pernyataan beberapa pentolan dari “Teman Ahok” yang mengatakan “tidak menjadi soal bapak maju dari mana, yang penting Teman Ahok telah menyediakan kendaraan buat bapak, ketika bapak tidak mempunyai kendaraan politik. Yang penting memuluskan langkah bapak menjadi gubernur”. Ini sebenarnya sudah mengindikasikan Ahok ingin maju lewat jalur parpol. Terbukti tidak banyak yang disampaikan Ahok, ketika ditanyakan perihal pencalonan dirinya, ia hanya menjawab dengan 3 kata yaitu “lewat partai sajalah”, 3 kata yang telah mewakili sikapnya dan menjawab pertanyaan publik selama ini.

Jika kita melakukan pembedahan terhadap satu juta orang pendukung Ahok, mungkin manusiawi ada sebagian yang kecewa melihat sikap Ahok, ada juga yang beranggapan Ahok tidak konsisten, dan masih banyak lagi. “Teman Ahok” ini sendiri terdiri dari beberapa kalangan, kalangan non-partisan yang mungkin diwakili oleh kalangan anak muda, ibu-ibu hingga pedagang kaki lima. Namun belum ada data pasti berapa dari satu juta orang tersebut kader murni dari partai politik yang menyumbangkan KTP nya, yang bisa saja terdaftar dipartai yang 3 atau partisipan partai pengusung ahok.  Disini juga ada semacam eksodus besar-besaran, massa yang berjumlah satu juta ini bisa juga yang awalnya non partisan, maenjadi partisan partai pendukung. Berbicara politik, semua kemungkinan bisa terjadi.  Kita melihat elektabilitas Golkar yang meningkat dari 9 % menjadi hampir 17% ,pasca keputusan Golkar merapat kepada pemerintah, dan mungkin saja setelah keputusan Golkar mendukung Ahok menjadi satu variabel pendukung kenaikan elektabilitas tersebut.  Bisa saja sebagian dari “Teman Ahok” yang masuk kedalam Golkar, atau mayarakat awam kembali lagi memilih Golkar. Ya, semuanya bisa.

Terlepas dari itu semua Ahok berhasil melakukan jurusnya, melakukan manuver, ia sadar betul bagaimana pahitnya menjalankan pemerintahan eksekutif tanpa dukungan dari legislatif. Bila kita sedikit liar berfantasi bisa-bisa saja dengan adanya 24 kursi pendukung , pembahasan Raperda disatu sisi bisa diselesaikan. Ahok juga agak sedikit bisa menarik nafas lega,  melihat bagaimana arah angin agak berpihak kepadanya. Reshuffle kabinet beberapa lalu bila dilihat kondisinya, Ahok akan sedikit bergembira. Menko Kemaritiman, Rizal Ramli yang sering berbeda pendapat dengannya mengenai reklamasi diganti dengan Luhut Pandjaitan, patih nya Bu Mega. Namun Ahok jangan terlalu senang dulu, bisa saja ini usaha PDI-P untuk menaikkan posisi tawar mereka terhadapnya. Waktu yang semakin sempit, membuat Ahok cepat bertindak dan tanpa membuang-buang waktu memanfaatkan momentum tersebut, hingga terjadilah insiden semobil bertiga.

3.Insiden Semobil Bertiga

Kejadian yang terjadi baru-baru ini dimana Presiden Jokowi, Ahok dan Ibu Mega semobil bersama menuju rapimnas partai Golkar. Terlepas siapa menebeng siapa, disini kita melihat jelas Presiden Jokowi tidak melupakan begitu saja sahabat karibnya dibalai kota sendirian, ia keluar dari istana membantu Ahok untuk mendapatkan restu dari Ibu Besar. Ahok begitu beruntung mempunyai kawan seperti Jokowi, yang dengan begitu saja meninggalkan embel-embel jabatan superiornya, melanggar protokoler demi membantu temannya menghadapi sang senior.

Ini tentu saja bukan drama, ini juga bukan settingan sinetron, tapi memang kejadian ini seperti sudah direncanakan matang. Kita tidak tahu bagaimana perbincangan yang terjadi didalam mobil, perbincangan yang mungkin bisa dibilang tingkat tinggi, bagaimana Jokowi melakukan pendekatan dengan Bu Mega melalui guyonannya, bagaimana wajah Ahok menunggu dan berharap-harap cemas , kata-kata yang keluar dari mulut Ibu Mega. Ia mungkin menunggu sambil membayangkan ketika kemarin itu ia menjadi penerima pertama buku hadiah dari Ibu Mega.

Diluar Ahok bisa saja mencandai wartawan dengan banyolan “enggak, kebetulan aja bareng sama-sama mau ke rapimnas”. Ketika ditanya pertanyaan seputar Ibu Mega, ia berdalih ”Ibu tetap ingin melihat mekanisme partai yang berjalan”, apapun pembahasannya hanya mereka bertiga dan sang supir yang tahu.

Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 Indonesia, putri tertua dari Bung Karno merupakan sosok yang sangat berpengalaman, yang telah melewati asam-garam pahit-getirnya politik. Mulai dari kudeta merangkak terhadap sang ayah, kuliahnya yang amburadul,berpolitik dalam pengebirian , kejadian Kudatuli yang tak akan pernah bisa dilupakan, hingga masalah  gender.

Ini membuat Mega sangat hati-hati meladeni jurus taichi­nya Ahok. Ia tentunya tidak mau hanya gara-gara Ahok partai yang telah susah payah dibangunnya lebih dari 2 dasawarsa hancur berantakan. Oleh karena proses mekanisme organisasi masih terus berjalan, ditambah lagi masalah reklamasi yang belum tuntas, yang bisa menjatuhkan elektabilitas partai dan berimplikasi pada pilpres period ke-2. Namun Mega pasti sadar betul, bagaimana kepopuleran Ahok dikalangan wong cilik.

Kita tunggu saja, bagaimana dinamika terjadi, bagaimana Ahok terus melakukan gaya-gaya taichi nya menghadapi lawan-lawannya, bagaimana biasnya apabila PDI-P tidak mendukung Ahok apakah dapat berimplikasi kepada perubahan besar-besaran koalisi Indonesia Hebat. Pecahnya pasangan mesra PDI-P – Nasdem, atau bahkan manuver yang akan dilakukan Golkar yang sudah terlanjur menerbitkan piagam pemenangan Jokowi 2019. Disatu sisi bisa saja Ahok tiba-tiba mendapatkan KTA sebagai kader aktif PDI-P, dan masih banyak kemungkinan lainnya.

Bila rumus politik mega berbeda dengan Ahok, tidak menutup kemungkinan hasilnya akan sama. Ibarat kita mencari keliling lingkaran, kita bisa menggunakan rumus yang berbeda untuk hasil yang sama.

Namun yang terpenting bagi kita rakyat yang cerdas, adalah bagaimana kepemimpinan nasional kita betul-betul berpihak kepada rakyat, kepada rakyat Marhaen , tidak ada penyelewengan, tidak ada perselingkuhan, tidak ada pengkhianatan dibalik keberpihakan. Sehingga trisakti yang didengung-dengungkan Bung Karno segera menjadi kenyataan!

“Kita bergerak karena kesengsaraan kita, kita bergerak karena ingin hidup lebih layak dan sempurna. Namun kita bergerak tidak karena ideal saja, kita bergerak karena ingin cukup makanan, ingin cukup pakaian, ingin cukup tanah, ingin cukup perumahan,  ingin cukup pendidikan, ingin cukup meminum seni dan cultuur. Pendek kata kita bergerak karena ingin perbaikan nasib didalam segala bagian-bagiannya dan cabang-cabangnya”.(Bung Karno didalam Risalah  Mencapai Indonesia Merdeka, tahun 1933)

Merdeka!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun