Mohon tunggu...
Fasya Ghania
Fasya Ghania Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Nama saya Fasya, seorang mahasiswa jurusan Hubungan Internasional yang tertarik dengan pengembangan politik antar negara.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Logika atau Manipulasi? Analisis Filsafat dalam Propaganda Politik

30 Desember 2024   21:11 Diperbarui: 30 Desember 2024   21:11 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Propaganda politik adalah alat yang digunakan untuk memengaruhi opini publik, membentuk persepsi, dan mengarahkan perilaku masyarakat demi kepentingan politik tertentu. Dalam konteks ini, filsafat menawarkan alat analisis kritis untuk memahami cara propaganda bekerja, dampaknya terhadap masyarakat, serta bagaimana kebenaran, etika, dan logika sering kali diabaikan demi tujuan tertentu. 

Plato menyatakan bahwa masyarakat yang Dikendalikan oleh "Bayangan"

Dalam Republik, Plato menggunakan metafora gua untuk menggambarkan bagaimana manusia sering terjebak dalam ilusi yang diciptakan oleh penguasa. Dalam konteks propaganda, Plato akan mengkritik bagaimana pemimpin atau media menciptakan narasi yang menyesatkan masyarakat, membuat mereka percaya pada "bayangan" (kebohongan) daripada realitas.

Pandangan Plato tentang Propaganda:

  • Propaganda menciptakan realitas semu yang menghambat masyarakat untuk mencapai pengetahuan sejati (episteme).
  • Penguasa yang bijaksana harus menciptakan narasi yang berdasarkan kebenaran, bukan manipulasi.

Relevansi:
Propaganda politik sering digunakan untuk menanamkan ideologi tertentu, seperti pada era totalitarianisme, di mana pemimpin menciptakan "realitas palsu" untuk mempertahankan kekuasaan.

Dalam dunia politik, di mana persuasi adalah kunci, sangat mungkin suatu argumen terselip kekeliruan logika, atau yang biasa disebut logical fallacy. Kekeliruan logika, jika tidak diwaspadai, dapat mempengaruhi pandangan publik. Tulisan ini ingin memberikan gambaran singkat tentang manipulasi logika dalam argumen politik dan bagaimana kita menyikapinya. Maka perlu adanya kewaspadaan dalam berlogika di dunia politik ini karena manipulasi logika merupakan jenis kekeliruan logika yang disengaja. Kesadaran terhadap manipulasi logika memungkinkan orang membuat keputusan politik secara lebih selektif. 

Kekeliruan logika, baik yang disengaja maupun tidak, dapat mengaburkan kejelasan suatu argumen. Seperti yang kita ketahui sedang maraknya buzzer di sosial media TikTok yang dengan mudahnya memutar balikan suatu informasi serta menggiring isu isu panas di media. Pernyataan ini jelas akan mengandung kekeliruan logika karena terlalu menyederhanakan isu dalam dua pilihan ekstrem. Padahal, kenyataannya, kita bisa mendukung pemberantasan korupsi dengan beragam cara, seperti bergabung dengan gerakan anti-korupsi, mempromosikan transparansi kebijakan, hingga mengawasi sistem anggaran. Kekeliruan ini umumnya terjadi secara informal dalam gaya berbahasa keseharian. Kekeliruan ini ada kalanya diciptakan secara disengaja, seperti dengan membangkitkan emosi atau perasaan audiens, memutarbalikkan suatu pernyataan, menarik kesimpulan secara sembarangan, atau dengan teknik manipulatif lain, untuk mencapai tujuan tertentu (Hurley, 2000). Oleh karena itu, kita butuh mengenali manipulasi logika agar bisa terhindar darinya.


Kampanye politik yang penuh hiruk-pikuk seringkali lebih mengutamakan retorika yang kuat daripada argumen yang logis. Di sini, kekeliruan logika terkadang sengaja dipakai sebagai teknik manipulatif untuk mempengaruhi pilihan politik audiens. Kekeliruan logika dapat merangsang reaksi emosional dari para pemilik hak suara. Terlebih, dalam masyarakat yang kurang terlatih secara logika, membangkitkan aspek emosional mereka akan lebih mendulang suara daripada menyajikan penjelasan rinci kepada mereka. Contoh teknik manipulatif dalam argumen politik adalah ketika seseorang menyerang karakter pribadi lawan politik, namun tidak menjelaskan substansi argumennya. Cara ini digunakan untuk merusak reputasi lawan politik secara pintas.

Contohnya 

Strawman Argument

Dimana pelaku menyalah artikan atau mendistorsi posisi lawan untuk membuatnya lebih mudah diserang. Contohnya seorang politisi mendukung reformasi pajak untuk membantu masyarakat kelas menengah, tetapi lawannya mengklaim, "Dia ingin mengambil uang dari orang kaya untuk mendanai proyek sosialisme." 

Manipulasi logika memiliki dampak berbahaya, baik bagi politisi maupun masyarakat. Pertama, manipulasi ini dapat mengganggu citra politisi. Ketika para pemilih menyadari adanya manipulasi logika yang diucapkan oleh seorang politisi, kepercayaan mereka terhadapnya akan menurun. Mereka yang menyadari nalarnya sedang dimanipulasi mungkin merasa dibodohi, tidak dihormati, dan perlahan-lahan akan kecewa. Dalam jangka panjang, kekecewaan ini dapat berakibat pada penurunan partisipasi pemilih dalam pemilihan umum. Bagi masyarakat, manipulasi logika cenderung memperkuat pola pikir hitam-putih. Di sini, kompleksitas suatu isu akan terabaikan dan tergantikan dengan pandangan yang bersifat biner, yakni "kami" versus "mereka". Hal ini dapat meningkatkan polarisasi di masyarakat, di mana orang terpecah menjadi kelompok yang saling bertentangan. Dalam situasi demikian, percakapan yang konstruktif di masyarakat menjadi terhambat karena fokusnya beralih dari substansi argumen menjadi permainan kata-kata atau taktik manipulatif. Untuk mengurangi dampak negatif dari manipulasi logika dalam argumen politik, penting bagi pemilih untuk bersikap lebih cerdas dalam mengonsumsi informasi. Beberapa langkah untuk menjadi pemilih yang cerdas antara lain dengan menjadi pendengar dan pembaca yang kritis dan selektif serta berilmu pengetahuan yang luas. Dalam hal ini, kita perlu mencermati suatu argumen politik dan mengidentifikasi apakah ada kekeliruan logika di sana.

Adapun contoh lain seperti 

Ad Hominem, dimana ia menyerang karakter lawan daripada membahas isu atau argumen yang disampaikan.
Contohnya, Daripada menjawab kritik terhadap kebijakan lingkungan, seorang politisi berkata, "Bagaimana kita bisa percaya pada dia? Dia bahkan pernah terlambat bayar pajak!"

Bandwagon, menggunakan tekanan sosial untuk mengarahkan orang agar mengikuti mayoritas.
Contohnya "Sebagian besar rakyat mendukung kebijakan ini. Kalau Anda tidak setuju, Anda tidak bersama rakyat!"

Fear-Mongering (Menebar Ketakutan, menggunakan rasa takut untuk memengaruhi keputusan tanpa memberikan solusi rasional.
Contohnya "Jika kita tidak segera mendukung kebijakan ini, negara kita akan berada di bawah ancaman serangan ekonomi dari luar!"

Cherry Picking, memilih fakta tertentu yang mendukung argumen sambil mengabaikan fakta yang bertentangan.
Contohnya "Pengangguran menurun 5% dalam dua tahun terakhir!" (Namun tidak disebutkan bahwa tingkat kemiskinan justru meningkat selama periode yang sama.)

False Dilemma, membingkai isu dengan memberikan dua pilihan ekstrem seolah-olah tidak ada alternatif lain.
Contohnya "Anda mendukung kebijakan ini, atau Anda mendukung kehancuran negara!"

Red Herring, mengalihkan perhatian dari isu utama dengan membahas topik yang tidak relevan.
Contohnya ketika ditanya tentang transparansi keuangan, seorang politisi menjawab, "Apa yang lebih penting adalah bagaimana kita meningkatkan kesejahteraan rakyat."

Appeal to Emotion, menggunakan emosi seperti rasa sedih, marah, atau bangga untuk memengaruhi audiens daripada memberikan argumen rasional.
Contohnya "Bayangkan anak-anak kita tumbuh di dunia tanpa peluang kerja. Apakah itu yang Anda inginkan?"

Loaded Questions, mengajukan pertanyaan yang mengandung asumsi negatif sehingga lawan terjebak dalam pembenaran.
Contohnya "Kapan Anda akan berhenti mendukung kebijakan yang merugikan rakyat kecil?"

Oversimplification, menyederhanakan masalah kompleks secara berlebihan sehingga solusinya terlihat mudah atau salah arah.
Contohnya "Kita hanya perlu memotong anggaran untuk menyelesaikan semua masalah ekonomi negara."

Repetition (Pengulangan), mengulangi klaim tertentu terus-menerus untuk menciptakan kesan bahwa itu benar.
Contohnya seorang politisi terus berkata, "Kami adalah partai yang peduli pada rakyat," meskipun kebijakannya tidak mencerminkan hal tersebut.

Teknik-teknik ini digunakan untuk mengarahkan opini publik, memengaruhi emosi, dan melemahkan lawan tanpa benar-benar berdebat secara rasional. Masyarakat yang sadar akan manipulasi ini dapat lebih kritis dalam mengevaluasi informasi dan argumen politik. Dengan berpikiran terbuka, kita akan dapat menghindari sikap yang kaku dan bersedia menerima perubahan pandangan manakala bukti dan argumentasi yang disajikan cukup memadahi. Keterbukaan ini bisa menciptakan ruang untuk diskusi yang konstruktif di alam demokrasi dan memungkinkan pengembangan perspektif yang lebih matang. Dengan mewaspadai potensi manipulasi logika dalam suatu argumen politik, kita berharap tercipta iklim politik yang lebih sehat dan transparan di negeri ini.


 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun