Beberapa menit menuju gelap, hujan sedang deras-derasnya dan angin terlalu riuh untuk bisa memahami omelan Ibu. Waktu terlalu cepat, bosan terlalu sering bersarang. Batuk Bapak membuat danau matanya berlinang, namun tidak juga membuatnya melepaskan rokok dari sela-sela jarinya. Ibu, tidak begitu betah dengan cahaya lampu di malam hari, lebih nyaman gelap semua dan tenang, katanya adem. Bukannya berpikir buruk, segala bentuk pemikiran dari yang paling juntrung sampai yang terburuk pasti ada. Yang aku tahu, waktu bergulir memakan jarak untuk ku membuat mereka bahagia semakin sempit. Aku terburu dan berimpit dalam ruang terbatas ini, lebih-lebih permasalahan asmara yang tak kunjung mujur. Dia masih keras kepala dan aku terlalu megah menyayanginya.
Masalah selalu datang setiap waktu, secara tiba-tiba, tak jelas dari mana sumbu perkaranya. Seperti biasa, ceroboh menggurui. Meluruh dampaknya bisa berhari-hari. Setiap kecurangan dan kenakalan selalu akan terjadi meski dalam sesipit kedipan matanya. Tidak seperti hujan yang dihunus terik, gembur tanah tidak juga membuat kaktus meninggi dan semakin berduri.
Mimpi menjadi media yang terbaik dalam hal merelakan dan mengiklaskan segala sesuatu yang telah kita alami. Biasanya mimpi diambil dari memori yang tertanam dalam otak kita lalu dikombinasikan dengan daya imajinasi yang kita miliki. mimpi tidak akan menjadi sesuatu yang ikhlas ketika kita bisa mengaturnya, belakangan ini muncul teori yang membahas kemampuan mengatur dan memanipulasi mimpi sendiri seperti dalam rangkaian sinema kejadian penanaman ide yang diperankan si Leo. Terkadang hidup juga seperti itu. Kita merasa tidak mengatur, tetapi juga kita tidak bisa mengikhlaskan sesuatu.
Sebelum bergegas padam alangkah baiknya setiap dari kalian memanjatkan sebuah doa. Doa yang terbaik untuk setiap Ibu yang melahirakan dan membesarkan anaknya bertahun-tahun. Untuk yang tidak merawat dan membesarkan, hanya melahirkan semata mendapat doa yang baik saja. Lalu untuk yang membunuh anaknya, beri saja doa. Sebab banyak alasan di balik setiap upaya yang manusia lakukan.
Magdalena masih seperti biasa, bahkan menjadi terlalu biasa untuk dianggap biasa, merebahkan wajah arogan nya tepat di penghujung jarak pandangku. dengan jari mengetuk -- ketuk pipi tirusnya menunggu pesanan dari sudut kantin datang sekaligus menunggu kekasihnya selesai menggelar aksi unjukrasa di halaman kantor Bupati.
"tidak perlu terlalu sinis memandangiku" kataku dalam hati.
Kendati mata kita selalu bertemu di koordinat yang sama dengan repetisi yang cukup teratur tidak akan merubah apapun, terlebih dengan kekasihmu yang pandai menjulurkan lidah dan mengunyah ludahnya di hadapan banyak orang.Â
Kendati tidak merubah keadaan apapun, dan bimasakti di bagi menjadi belasan lengkungan dimensi paralel dimana kau tidak dalam realita merasakan usapanku di punggung tanganmu. Tidak pernah menjadi sebuah masalah besar, karena dikepalan pikiranku kita berdua selalu dalam keadaan berpelukan telanjang bulat dengan iringan Mustapha Ibrahim dan Freddie Mercury tertawa karena tingkah jenakanya sendiri.
Kendati dalam keadaan telanjang bulat seperti lukisan sejarah abad pertengahan belakangan ini, dalam pikiranku terus-terusan kau tidak pernah menjadi jelek, selalu menarik, terlalu cantik.
Kendati wajahmu tidak pernah berantakan dalam pikiranku, bukan berarti aku selalu memujamu, justru membuatku terlalu terbiasa dengan keadaan cantikmu. Terkadang membuatku cepat bosan, terkadang bahkan sampai malas dan berat hati memikirkanmu sama sekali. Â
Kendati dengan tidak memikirkanmu sama sekali akan membuatku lupa. Malas yang berjingkrak menjadi lupa merupakan salah satu interval terbaik untuk kembali membangkitkan memori tentang mata tajam dan aroganmu di sudut kantin, lalu aku kembali pulang, rebahan di ranjang dan memutar Mustapha Ibrahim.
Kau terlihat baik, sehat, tak kurang satu dan lainnya. Terlihat jelas sapuan wajah dan raut sumringah menyambut kedatangan kekasihmu dari medan orasi. Mengabaikan teman-temanmu yang belum selesai menghabiskan beberapa sendok nasi terakhirnya. Pergi melenggang begitu saja kehilangan kesadaran akan dunia yang dihuni banyak orang sudah menjadi kebiasaan kasmaranmu. Melihat wajah dan mata teman-temanmu yang terbakar karenamu dan hidangan pedasnya merupakan momentum lucu yang menjengkelkan.
Maka dari itu aku tidak perlu mengkhawatirkan keadaanmu, begitu pula tentang kau yang tidak membutuhkan kekhawatiran orang lain lagi. Kau begitu mengerti terlalu banyak mendapat kekhawatiran hanya akan membebani dirimu sendiri. Dari sifat khawatir tersebut akan menjalar ke proses proteksi dan fanatisme berlebihan. Aku akan berada diantara jarak itu.
"Aku tidak suka musik seperti Mustapha Ibrahim"
"Aku bisa membuat kau tidak mendengarnya"
"Tapi sunyi pun aku tak mau"
"Aku akan membuatmu mendengar lagu kesukaanmu"
"Apa ... ???"
"Bukankah Sakura"
"Sakura.."
Ini alam pikiranku, tidak perlu menginterupsi. Urusanmu dengan David biarkan menjadi batasan garis waktu antara lantangnya orasi pemberontakan dengan romansa yang di hulu hilirkan di belakang telinga. Atau aku bunuh saja pria ini, sepertinya sikapnya tidak begitu menyenangkan, terlihat sedikit congkak meskipun gemar tertawa lepas dengan rekan demonstran nya bahkan karena candaan kering. Memandangnya pun enggan, meskipun terkadang dia menyempatkan menganggukan kepala kepadaku, mungkin karena aku kakak angkatannya. Bukan kah aku lebih matang dan jarang membuat onar.
Apakah benar yang di dengung-dengung kan selama ini apabila dominasi penghuni neraka adalah kaum wanita. mungkin karena kebanyakan dari mereka adalah kaum fanatik pemuja bara pedas seblak murah di pinggiran kampus. Lalu ketika kebanyakan wanita di neraka, apa yang akan tersisa di surga. Apakah homoseksual di legalkan di surga.
Bagaimana jika pria yang memiliki orientasi seksual menyimpang namun taat beribadah dan tidak pernah mengekspresikan kejanggalannya selama hidup, lalu dengan modal nekat dan beruntung berhasil menembus lapisan langit surga, jenis bidadari seperti apa yang akan di dapatkannya. Apakah di tempat yang di idam-idamkan itu hanya mencukupi kebutuhan saja, lalu bagaimana dengan keinginan yang terpendam semasa hidup. Nafsu yang di tahan sampai mati apakah akan di ganti atau masih harus di tahan lagi dalam kehidupan yang abadi.
Sekelebat hal yang paling bodoh dan sesuatu yang menakjubkan terbesit di kepalaku, bahkan ketika kau bersarang lalu bertelur dan menetas dalam rajutan kotak kepala ini. Mungkin kali ini Plato yang menang, ide dan dunianya menjadi garis horison utama yang di perintah oleh lelucon lucifer. Kedalamnya aku mampu menikam lehermu berkali-kali tanpa rasa sakit.
      Kita bertiga akan pulang sama -- sama tidak perlu menggandeng tangan, berseberangan pun tidak masalah. Jam pasir yang habis terlalu berat untuk di balik kawanan lebah pekerja, sementara ratu nya sibuk membuka kursus jahit, lalu serombongan pengangkut peti kemas berjalan merunduk ke arah barat.
"Kau manis, tapi tidak perlu berbicara, suaramu parau, mengganggu. "
"Jahadd !!"
Gejala flu menyerang sekujur pinggiran kota, aku adalah salah satu diantara mereka yang tidak memiliki begitu baik daya pertahanan tubuh. Magdalena sudah berada di rumah sejak aku masi dalam perjalanan pulang. Pekerjaan rumahnya sudah kelar dari pagi, hanya tersisa beberapa cucian yang hanyut kering sebelum dibilas. Aku mengeluh pening dan sengaja menggelayuti lehernya dengan lentur.
"Lupakan sebentar cucian mu, tolong pijat sebentar kepala ku ini"
"Jangan manja, sebentar lagi selesai"
"Apa perlu aku bantu"
"Tidak perlu, bantu dirimu sendiri dulu"
"Aku butuh pijatan bukan bantuan"
"Aku bukan juru pijat berijazah"
"Iya sih..."
      Beberapa menit berselang ternyata aku sudah terseka di pangkuan nya, meskipun kuku - kukunya panjang dan berhias warna-warna keemasan, ia tidak ragu untuk meremas jambak halus ubun -- ubun ku. Lalu aku sedikit linglung, ia kembali meremas -- remas daun telingaku yang memerah dan meremah. Aku berkata jangan di lepaskan, namun sepertinya ia sudah terlanjur lelah.
      Di jatuhkan nya kepalaku pada sebuah bantal empuk berenda, agak geli menusuk belakang leher tapi masih cukup nyaman. Entah apa yang di carinya di kolong meja, aku memandanginya dari sudut sipit ku. Kolong meja itu begitu kecil, begitu heran nya aku melihat tangannya bisa masuk dan menyisir sekitaran alasnya. Tidak lama berselang kepalanya ikut masuk tersedot, mungkin aku halusinasi, setengah memicingkan mata aku tinggal melihat hanya tumit nya yang tersisa dan bulu renda bantal ini kembali membuatku tertidur. Magdalena sudah masuk dalam kolong sepenuhnya.
      Dan aku sepenuhnya masih di atas bantal berenda yang gatal, meremas sendiri kepalaku yang pening, tiba- tiba pelipis mataku berlendir cukup licin, semakin di pencet semakin licin. Lalu tak terasa seluruh wajahku sudah bermandikan lendir seperti liur paus. Jangan -- jangan aku ada di atas lidah paus. Tidak begitu masalah, lidah paus juga hangat walau berlendir, pantas banyak yang terpeleset dan terpelosok.
Jangan mengunjunginya di malam hari, itu yang selalu di ucapkan oleh Kang Sis berulang kali setiap kali aku menceritakan tentang gadis itu. Dan entah apa tujuan ia memberi nasihat seperti itu, tapi seakan tertanam dalam pikiranku, meskipun aku mengabaikan kata-katanya pada akhirnya aku merenunginya pagi hari setelah semalaman dengan gadis tersebut.
"Hilang sekujur nafsu sangka dan praduganya. Bila mana sebujur tombak melerai, sumbu jentera kembali ke porosnya semula, plafon dan konstruksi penyangga rongga mata kian roboh, kian sayu. Bangun tidurmu akan teringat, jikalau dia memang begitu cantik. Dan apabila tidak, akan menjadi siklus masturbasimu yang merugi."
Kang Sis Mc Gregor sudah aku anggap sebagai abangku sendiri, meskipun tidak pernah bersembahyang atau melakukan ibadah seperti apa yang di anjurkan dalam agamanya, ia selalu berbuat baik kepada sesamanya. Katanya aku belum pantas beragama, tapi cinta kasih di turunkan menjadi anugerah sekaligus dosa pertama manusia di bumi. Beberapa kalimatnya memang terdengan filosofis, meskipun ia tidak pernah tamat sekolah menengah atas sama sekali, jangankan membaca buku-buku berbau petuah dan nasihat hidup, cerita silat pun jarang.
Orang seperti Kang Sis entah mendapat kebijakan dari mana dan perjalanan seperti apa yang membuat pola pikirnya terbentuk. Kesehariannya hanya mengenakan kupluk sampai menutup daun telinganya, lalu membuat kandang jangkrik untuk di jual ke pasar. Atau barangkali Jangkrik yang mengembik adalah Jangkrik yang sedang mengadakan simposium tentang cara pandang dan cara hidup manusia modern.
Seberapa jauh dosa yang bisa diperbuat, bahwa tidak memungkiri apabila cinta merupakan kesalahan awal yang dialami manusia. Hal tersebut dimulai dari nafsu yang akhirnya bercabang dan menjadi ranting-ranting dosa berikutnya yang tidak pernah dibayangkan. Kecemburuan dapat beresonansi terhadap objek apapun, nasib dan takdir menjadi opsi unggulan dalam bidang kajian ini. Lima perihal lainnya akan segera menyusul seperti daun tumbuh dan jatuh lalu menjadi bahan dasar penggemburan tanah membuat dahan dan ranting semakin tinggi lalu bercabang menumbuhkan rangkaian daun yang baru.
Mungkin interval yang terbaik adalah ketika kelambu langit menahan teduh membuat jeda dapur helai daun, membuat rasa sejuk dan tenang tanpa terik berlebih. Lalu aku mendapati diriku ber-orasi di depan gedung kabupaten tanpa ragu mengunyah seisi ludah dan melontarkannya dengan amarah. Tidak ada Magdalena yang menunggu di kantin dan Fred yang membalas tatapan sinisnya. "Proyeksi" merupakan anugrah yang mengambang, tanpa jelas makna dosa dan eksistensinya.
      Lalu lampu -- lampu rumah kembali padam, Ibu sudah terlelap dari jam 8 karena kelelahan mencetak Roti boneka. Ayah masih duduk bersila di depan layar ponsel nya menghisap rokok sampai tulang pipi nya cekung.
Selesai
Farobi Fatkhurridho
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H