Mohon tunggu...
Farobi Fatkhurridho
Farobi Fatkhurridho Mohon Tunggu... Freelancer - Saya bekas mahasiswa sastra yang malas cari kerja

Sudah saya bilang, saya bekas mahasiswa sastra yang malas cari kerja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

6 Kendati di Pelipis Matamu

5 Juni 2019   21:14 Diperbarui: 5 Juni 2019   21:25 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku bukan juru pijat berijazah"

"Iya sih..."

            Beberapa menit berselang ternyata aku sudah terseka di pangkuan nya, meskipun kuku - kukunya panjang dan berhias warna-warna keemasan, ia tidak ragu untuk meremas jambak halus ubun -- ubun ku. Lalu aku sedikit linglung, ia kembali meremas -- remas daun telingaku yang memerah dan meremah. Aku berkata jangan di lepaskan, namun sepertinya ia sudah terlanjur lelah.

            Di jatuhkan nya kepalaku pada sebuah bantal empuk berenda, agak geli menusuk belakang leher tapi masih cukup nyaman. Entah apa yang di carinya di kolong meja, aku memandanginya dari sudut sipit ku. Kolong meja itu begitu kecil, begitu heran nya aku melihat tangannya bisa masuk dan menyisir sekitaran alasnya. Tidak lama berselang kepalanya ikut masuk tersedot, mungkin aku halusinasi, setengah memicingkan mata aku tinggal melihat hanya tumit nya yang tersisa dan bulu renda bantal ini kembali membuatku tertidur. Magdalena sudah masuk dalam kolong sepenuhnya.

            Dan aku sepenuhnya masih di atas bantal berenda yang gatal, meremas sendiri kepalaku yang pening, tiba- tiba pelipis mataku berlendir cukup licin, semakin di pencet semakin licin. Lalu tak terasa seluruh wajahku sudah bermandikan lendir seperti liur paus. Jangan -- jangan aku ada di atas lidah paus. Tidak begitu masalah, lidah paus juga hangat walau berlendir, pantas banyak yang terpeleset dan terpelosok.

Jangan mengunjunginya di malam hari, itu yang selalu di ucapkan oleh Kang Sis berulang kali setiap kali aku menceritakan tentang gadis itu. Dan entah apa tujuan ia memberi nasihat seperti itu, tapi seakan tertanam dalam pikiranku, meskipun aku mengabaikan kata-katanya pada akhirnya aku merenunginya pagi hari setelah semalaman dengan gadis tersebut.

"Hilang sekujur nafsu sangka dan praduganya. Bila mana sebujur tombak melerai, sumbu jentera kembali ke porosnya semula, plafon dan konstruksi penyangga rongga mata kian roboh, kian sayu. Bangun tidurmu akan teringat, jikalau dia memang begitu cantik. Dan apabila tidak, akan menjadi siklus masturbasimu yang merugi."

Kang Sis Mc Gregor sudah aku anggap sebagai abangku sendiri, meskipun tidak pernah bersembahyang atau melakukan ibadah seperti apa yang di anjurkan dalam agamanya, ia selalu berbuat baik kepada sesamanya. Katanya aku belum pantas beragama, tapi cinta kasih di turunkan menjadi anugerah sekaligus dosa pertama manusia di bumi. Beberapa kalimatnya memang terdengan filosofis, meskipun ia tidak pernah tamat sekolah menengah atas sama sekali, jangankan membaca buku-buku berbau petuah dan nasihat hidup, cerita silat pun jarang.

Orang seperti Kang Sis entah mendapat kebijakan dari mana dan perjalanan seperti apa yang membuat pola pikirnya terbentuk. Kesehariannya hanya mengenakan kupluk sampai menutup daun telinganya, lalu membuat kandang jangkrik untuk di jual ke pasar. Atau barangkali Jangkrik yang mengembik adalah Jangkrik yang sedang mengadakan simposium tentang cara pandang dan cara hidup manusia modern.

Seberapa jauh dosa yang bisa diperbuat, bahwa tidak memungkiri apabila cinta merupakan kesalahan awal yang dialami manusia. Hal tersebut dimulai dari nafsu yang akhirnya bercabang dan menjadi ranting-ranting dosa berikutnya yang tidak pernah dibayangkan. Kecemburuan dapat beresonansi terhadap objek apapun, nasib dan takdir menjadi opsi unggulan dalam bidang kajian ini. Lima perihal lainnya akan segera menyusul seperti daun tumbuh dan jatuh lalu menjadi bahan dasar penggemburan tanah membuat dahan dan ranting semakin tinggi lalu bercabang menumbuhkan rangkaian daun yang baru.

Mungkin interval yang terbaik adalah ketika kelambu langit menahan teduh membuat jeda dapur helai daun, membuat rasa sejuk dan tenang tanpa terik berlebih. Lalu aku mendapati diriku ber-orasi di depan gedung kabupaten tanpa ragu mengunyah seisi ludah dan melontarkannya dengan amarah. Tidak ada Magdalena yang menunggu di kantin dan Fred yang membalas tatapan sinisnya. "Proyeksi" merupakan anugrah yang mengambang, tanpa jelas makna dosa dan eksistensinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun