Mohon tunggu...
Farobi Fatkhurridho
Farobi Fatkhurridho Mohon Tunggu... Freelancer - Saya bekas mahasiswa sastra yang malas cari kerja

Sudah saya bilang, saya bekas mahasiswa sastra yang malas cari kerja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Konon, Ingkar Konon

6 Januari 2019   14:00 Diperbarui: 6 Januari 2019   14:22 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Yakin serta tidak yakin, apa pula bedanya, tidak begitu berpengaruh, kata salah seorang sahabatku tiga hari yang lalu ketika mereka mencoba mengukur batas semesta pada suatu malam, ketika sama sekali tidak ada awan di musim kemarau dan bintang-bintang bagai biji-biji kaca berhamburan, sementara udara dingin dan angin berputar melingkar disekitar leher dan kemudian berhenti di sudut dan ahh.. klise.

Gadis ini, lama tak kujumpai dia berdesakan dalam kepal kepalaku. Duduk menyamping di sebelahku dengan sadar lahap menyantap kudapan makan siangnya, sekali dua melempar senyum kepada teman-teman seangkatannya lewat.

Aku mencoba beberapa kali melirik melihat beberapa bekas jerawat menempel di pipinya, lumayan cantik, tapi aku tidak begitu tertarik, ketertarikanku telah dicincang habis oleh gadis yang belakangan aku ketahui tidak ditakdirkan pasangan berganti busanaku.

Dan seorang pria dengan gaya rambut aneh hampir-hampir mirip kemoceng warna-warni yang dijual murah untuk keperluan beres-beres ibu-ibu desa ini mondar mandir membawa map merah tak jelas tujuannya. Aku tidak begitu suka gayanya, terlalu mencolok barangkali.

Hampir pukul empat sore hari ini, matahari sudah melonglong dari arah barat, hanya aku yang diam berkendara melindas siluet daun dari atas aspal tandus. Jalan raya amat berisik sore ini. Di persimpangan kampus kemacetan terjadi hanya karena mobil anak orang kaya yang ingin menerobos masuk lewat gerbang samping fakultas.

Arah kontrakan semakin mendekat, aku masih sibuk dengan pengeras suara di telinga yang memutar daftar lagu gerimis gundah dan resah belakangan ini. Geram rasanya mengetahui nasib yang tidak begitu juntrung, terlebih lagi soal asmara.

Hanya masa bodoh ku yang kekal. Tapi tidak dengan lelaki paruh baya duduk di atas sepeda motor bertransmisi matic dan helm lusuh yang masih melekat di ruas kepalanya. Berteduh di teras sebuah mini market yang lama tutup atau bahkan barangkali bangkrut. Menunduk mencubit-cubit jari tangannya sendiri hingga matanya tenggelam, tertidur pulas, belum tahu kapan akan terbangun.

Tidak ada orang tidur yang benar-benar tahu kapan ia akan terbagun. Mungkin benar kata filsuf dan ilmuwan belakangan ini, ada sebuah kesadaran lain yang memperhatikan dan mencubit pipimu supaya kelopak matamu naik. Tapi berteduh atas dasar apa, hujan pun tidak, matahari sore setahuku pun tidak akan membuat kemejanya basah.

Ya mungkin saja konstruksi definisi hari ini sudah terbiasa fleksibel bahkan saling silang tak sejajar pun tak masalah, tidak perlu hujan untuk berteduh, tidak perlu api untuk mendidih, tidak perlu air mata untuk menangis, tidak perlu tertawa untuk bahagia. Wajar saja beberapa anak muda keranjingan media sosial berkendara siang bolong mengenakan jas hujan panas.

Terkadang fokus terhadap sebuah batasan dan parameter untuk menilai sebuah fenomena justru akan membuatmu terpeleset terpelanting ke udara, membal dan tidak kembali mendarat. Batasan yang kita buat, kita kritik, kaji ulang lalu membuat struktur baru lagi, lagi dan lagi tanpa tahu batasan yang sesungguhnya.

Konstan dan dinamis pada skala tertentu dapat saling berpelukan erat satu sama lain untuk saling mengingatkan bahwa mereka berdua juga belum benar-benar konstan serta dinamis. Ah.. barangkali aku terlalu banyak ngelantur karena membaca buku dan menonton film yang tidak sanggup aku cerna.

Aku hanya ingin rebahan sebentar menunggu matahari benar-benar tenggelam di kamar kontrakan kecil ini yang dihuni setengah lusin pria rantau mengadu nasib di selasar jalan kota kecil ini. Aku tidak benar-benar ceria ketika sinar kuning besar itu dengan sombong membakar seluruh tubuhnya tanpa hangus dan menerangi tanah gersang ini, terkadang cuaca cerah juga merepotkan karena tidak ada agenda yang bisa aku tunda karena alasan hujan.

Lagi-lagi datang rayuan pemilik kontrakan untuk menambah fasilitas yang menggunakan arus listrik, ibu-ibu gila harta itu tidak segan untuk menaikkan harga kontrakannya sewaktu-waktu. Kalau kami berkelit, mudah saja katanya, tinggal usir, toh masih banyak pekerja dan mahasiswa rantau yang membutuhkan hunian nyaman dan adem seperti disini.

Bagaimanapun juga beliau harus membiayai kebutuhan keluarga dan sekolah kelima anaknya. Suaminya sudah lama meninggal karena kanker paru-paru, terlalu banyak merokok katanya, aku tidak mengindahkannya kami penghuni kontrakan adalah perokok berat.

Aku menjadi terlampau kritis akhir-akhir ini, mungkin karena proyek Dr. Timur yang benar-benar merenggut kapasitas otakku belakangan. Intensitas pertemuan kami dalam dua bulan ini memang sangat padat, hampir setiap hari aku memijat dahi kepala ku sendiri di lab nya karena terlampau terperas habis kinerja otak ini.

"jangan senyum-senyum sendiri, nanti juga nangis lagi"

"Hahahaha, ada-ada saja"

"Gravitasi tidak menarik tubuhmu, hanya kamu yang enggan berdiri !"

Pun aku membenci gravitasi layaknya aku membenci takdir urat nadiku yang menggariskan aku tidak bersamamu. Layaknya gravitasi, seketika lahir kita tak berdaya melawannya, tak ada pilihan selain jatuh merunduk kebawah, setinggi apapun puncak pencakar langit tertinggi, ketika kau mencoba melompat dari puncaknya seketika itu kau akan tahu akhir dari hidupmu, pastinya tak mungkin kau bisa terbang.

Aku ingin melawannya, aku ingin menjadi anti gravitasi, bukan makna sesungguhnya, hanya sebatas kiasan. Di bumi saja sudah ada penemuan untuk ruangan anti gravitasi, masa diriku tidak bisa mendapat hal yang terbaik yang aku inginkan. Apakah aku harus bertindak tunduk terhadap garis nasib yang tidak aku kehendaki.

Ada teori yang mengatakan bahwa sebelum kita terlahir dan dianugerahi ruh jiwa dan akal pikir, sebenarnya kita sudah menyetujui bagaimana kita akan dan takdir apa yang kita hadapi di bumi, tapi setelah menjadi bayi otomatis memori itu terhapus dan kita akan melupakan segalanya. Lalu setelah dewasa dijejali dengan dogma-dogma serta ajakkan untuk mempercayai teori itu ? 

Bukankah ada pemikiran yang lebih logis dan rasional. Aku hanya ingin bersamamu titik ! . aku tidak ingin perempuan lain yang menjadi takdirku, apalagi yang aku tidak kenal, bagaimana kalau dia tidak cantik ? perempuanku haruslah perempuan paling cantik dimuka bumi ini.

"kamu sudah mandi belum ?"

"Sudahh.."

"Sudah wangi ?"

"Sudahh..."

"Boleh aku cium ?"

"Tidak, kamu terlalu mesum, hanya pria yang tidak mesum yang boleh menciumku !"

"Olrait !"

Pekan lalu, aku diam-diam menyelinap masuk ke ruang kerja Tuhan, di meja kerjanya aku memanipulasi data takdir ku, mengganti nama di kolom jodohku yang tidak aku kenal dengan namamu. Barangkali hidup seperti mimpi bertubi-tubi tidak pernah membuat nyanyak sama sekali tidur lelapku, apalagi mengerti wanita yang sepenuhnya aku cintai di bumi adalah bukan yang Tuhan takdirkan untukku.

Tuhan tidak sedang berada di ruang kerjanya saat itu, entah mungkin Dia sedang melakukan studi banding atau karya wisata ke galaksi lain. Aku rasa Ia terlalu bosan memantau Bumi, toh banyak manusia yang berperan sebagai dirinya disana, setidakknya beban tugasnya sedikit lebih ringan.

Meja kerjanya sama sekali tidak canggih, hanya meja dengan empat kaki biasa namun terlihat sangat amat kokoh menimbang setumpukan berkas tentang hal-hal berat diatas mejanya. Maksudku berat bagi manusia pada umumnya, mungkin enteng dan remeh bagi diriNya.

Aku sudah melakukan hal sekeras itu, hal yang sangat mustahil dilakukan oleh umat manusia manapun dimuka bumi ini, kejahatan terbesar yang pernah ada di alam jagat semesta raya ini. Apakah sebuah kesalahan, berharap tidak melakukan perbuatan yang membuatku kecewa. Kau tidak akan pernah mengerti bagaimana kejamnya luar angkasa, preman, mafia, FBI, bahkan NASA pun tidak akan ada yang bisa menaklukannya.

Aku sendirian disana melewati sebuah jembatan panjang, gelap dan sempit, hampir-hampir kehabisan nafas. Bersyukur di bumi aku telah mendalami berbagai macam ilmu olah nafas, aku bisa menahannya agak jauh sampai tak terlihat pandang jarak mata, kecil yang paling kecil dari segala jenis mikrobakteria.

Aku sudah lelah merayumu, Dukun jaman sekarang hanya manjur temporer, ketika korban sadar, lalu hilang sudah semua akal-akalan yang dengan mahal aku keluarkan. Aku tidak mau tahu, bagaimanapun juga kau harus hidup denganku dimanapun itu, bahkan di galaksi atau dimensi lain dari semesta, bahkan ketika harus menghuni planet sebesar jupiter berdua. Aku tahu, kau tahu aku tidak mau tahu.

"Kamu tahu kalo aku tahu kamu gak tau gak ?"

"Hiilliihh ngomong apasi gajelas bet.."

Sampai akhir debu semesta dan partikel tuhan menyapu memori kita berdua, meskipun hanya kita berdua yang menyala di planet luas ini. Aku tidak begitu peduli ketika pasokan makanan kita berkurang atau tidak adanya lahan bercocok tanam. Meskipun harus bertukar air liur saat kekeringan, bagaimanapun rasanya aku menyukainya, liurmu. Kita tidak perlu tidur untuk menyimpan memori, pun kita tidak perlu memanjakan semesta mimpi dengan dalil limbonya yang terlampau dalam.

Semesta dengan lega menyediakan banyak ruang untuk kita menimbun memori, lagi pula kenanganku bersamamu hanya sebatas ciuman. Ciuman melintasi dimensi galaksi, berjuta tahun cahaya jaraknya dari bumi. Itu akan menjadi rekor ciuman terlama di semesta yang pernah dilakukan oleh makhluk Tuhan, pun apabila hal tersebut terjadi karena kehendakNya, berarti kita berdua berhasil memanipulasi nasib.     

"Ndak buk, fasilitas kamar saya sudah cukup dispenser satu ini ..."

"Bulan depan tagihan listrik naik ya mas .."

"Bulan depan saya cuman pengen ngalamun aja kok buk, ndak butuh listrik, cabut sekalian saja ...

Selesai 

Farobi Fatkhurridho

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun