Mohon tunggu...
Farobi Fatkhurridho
Farobi Fatkhurridho Mohon Tunggu... Freelancer - Saya bekas mahasiswa sastra yang malas cari kerja

Sudah saya bilang, saya bekas mahasiswa sastra yang malas cari kerja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Konon, Ingkar Konon

6 Januari 2019   14:00 Diperbarui: 6 Januari 2019   14:22 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku hanya ingin rebahan sebentar menunggu matahari benar-benar tenggelam di kamar kontrakan kecil ini yang dihuni setengah lusin pria rantau mengadu nasib di selasar jalan kota kecil ini. Aku tidak benar-benar ceria ketika sinar kuning besar itu dengan sombong membakar seluruh tubuhnya tanpa hangus dan menerangi tanah gersang ini, terkadang cuaca cerah juga merepotkan karena tidak ada agenda yang bisa aku tunda karena alasan hujan.

Lagi-lagi datang rayuan pemilik kontrakan untuk menambah fasilitas yang menggunakan arus listrik, ibu-ibu gila harta itu tidak segan untuk menaikkan harga kontrakannya sewaktu-waktu. Kalau kami berkelit, mudah saja katanya, tinggal usir, toh masih banyak pekerja dan mahasiswa rantau yang membutuhkan hunian nyaman dan adem seperti disini.

Bagaimanapun juga beliau harus membiayai kebutuhan keluarga dan sekolah kelima anaknya. Suaminya sudah lama meninggal karena kanker paru-paru, terlalu banyak merokok katanya, aku tidak mengindahkannya kami penghuni kontrakan adalah perokok berat.

Aku menjadi terlampau kritis akhir-akhir ini, mungkin karena proyek Dr. Timur yang benar-benar merenggut kapasitas otakku belakangan. Intensitas pertemuan kami dalam dua bulan ini memang sangat padat, hampir setiap hari aku memijat dahi kepala ku sendiri di lab nya karena terlampau terperas habis kinerja otak ini.

"jangan senyum-senyum sendiri, nanti juga nangis lagi"

"Hahahaha, ada-ada saja"

"Gravitasi tidak menarik tubuhmu, hanya kamu yang enggan berdiri !"

Pun aku membenci gravitasi layaknya aku membenci takdir urat nadiku yang menggariskan aku tidak bersamamu. Layaknya gravitasi, seketika lahir kita tak berdaya melawannya, tak ada pilihan selain jatuh merunduk kebawah, setinggi apapun puncak pencakar langit tertinggi, ketika kau mencoba melompat dari puncaknya seketika itu kau akan tahu akhir dari hidupmu, pastinya tak mungkin kau bisa terbang.

Aku ingin melawannya, aku ingin menjadi anti gravitasi, bukan makna sesungguhnya, hanya sebatas kiasan. Di bumi saja sudah ada penemuan untuk ruangan anti gravitasi, masa diriku tidak bisa mendapat hal yang terbaik yang aku inginkan. Apakah aku harus bertindak tunduk terhadap garis nasib yang tidak aku kehendaki.

Ada teori yang mengatakan bahwa sebelum kita terlahir dan dianugerahi ruh jiwa dan akal pikir, sebenarnya kita sudah menyetujui bagaimana kita akan dan takdir apa yang kita hadapi di bumi, tapi setelah menjadi bayi otomatis memori itu terhapus dan kita akan melupakan segalanya. Lalu setelah dewasa dijejali dengan dogma-dogma serta ajakkan untuk mempercayai teori itu ? 

Bukankah ada pemikiran yang lebih logis dan rasional. Aku hanya ingin bersamamu titik ! . aku tidak ingin perempuan lain yang menjadi takdirku, apalagi yang aku tidak kenal, bagaimana kalau dia tidak cantik ? perempuanku haruslah perempuan paling cantik dimuka bumi ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun